Nationalgeographic.co.id—Secara global, luas perkebunan kelapa sawit meningkat dari 5 juta hektare pada tahun 1980 menjadi lebih dari 20 juta hektare pada tahun 2018. Sebagian besar perluasan ini terjadi di Malaysia dan Indonesia.
Meskipun ada sekitar 240 juta hektare lahan yang cocok untuk budidaya kelapa sawit, sebagian besar lahan tersebut sebaiknya tidak digunakan karena berperan penting dalam menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati termasuk hutan utuh, area konservasi dengan keanekaragaman hayati tinggi, kawasan stok karbon tinggi, dan daerah yang dilindungi.
"Secara ekonomi, kelapa sawit memiliki kapasitas untuk memberantas kelaparan dan kemiskinan," ungkap Dickson Osei Darkwah dan Meilina Ong-Abdullah dalam Sustainability of the Oil Palm Industry yang dimuat dalam buku Elais Guineensis.
"Di Indonesia, mata pencaharian 25 juta orang bergantung pada budidaya kelapa sawit, sementara di Malaysia, jumlah orang yang bekerja meningkat dari 92.352 pada tahun 1980 menjadi 570.000 pada tahun 2009," lanjutnya.
Produksi minyak sawit didominasi oleh Indonesia dan Malaysia yang bersama-sama menyumbang 85–90% dari total produksi minyak sawit.
Indonesia, produsen dan eksportir minyak sawit teratas memiliki lebih dari 14 juta hektare perkebunan kelapa sawit pada tahun 2018, yang mana 55,09% berasal dari perusahaan swasta besar, 40,62% dari perkebunan petani kecil dan 4,39% dari perkebunan besar negara.
Indonesia memproduksi 48,3 juta metrik ton minyak sawit pada tahun 2020. Malaysia, produsen minyak sawit kedua memiliki lebih dari 5 juta hektare perkebunan kelapa sawit dan juga memproduksi 19,14 juta ton minyak sawit pada tahun 2020.
"Meskipun kelapa sawit merupakan pendorong pertumbuhan sebagian besar ekonomi negara-negara yang berproduksi dalam skala besar, perluasan ini juga menyebabkan berbagai dampak," kata mereka.
"Misalnya saja deforestasi tropis dan hilangnya keanekaragaman hayati terkait, emisi gas rumah kaca, degradasi lahan, kebakaran hutan dan lahan gambut serta polusi udara dan air" lanjutnya.
Dampak lingkungan jangka panjang dari perkebunan kelapa sawit skala besar sangat signifikan dan beragam dan ekspansi budidaya kelapa sawit telah menyebabkan konversi area hutan tropis primer yang luas.
Selain itu, jejak lingkungan dari produksi minyak sawit mencakup polusi dari limbah pabrik minyak sawit serta pengeringan dan pembakaran lahan gambut, yang semakin memperburuk perubahan iklim.
Baca Juga: Mengapa Pohon Sawit Sebanyak Apa pun Tidaklah Sama dengan Hutan?
Hilangnya keanekaragaman hayati
Dampak lingkungan utama yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit skala besar adalah hilangnya keanekaragaman hayati secara langsung terkait dengan hilangnya hutan alam. Struktur habitat yang berkurang sebagai akibat dari perluasan kelapa sawit menyediakan lebih sedikit relung bagi flora dan fauna.
Spesies yang terancam punah seperti harimau, gajah, dan orangutan berada di ambang kepunahan. Ketika lahan baru ditebang dari hutan, ada peningkatan akses ke lahan yang mengarah pada peningkatan tekanan perburuan serta tempat tinggal oleh manusia yang mengakibatkan peningkatan konflik antara manusia dan hewan-hewan ini.
"Contohnya adalah dataran banjir Sungai Kinabatangan di Sabah, Malaysia dan di provinsi Riau dan Bengkulu di Indonesia," papar mereka.
Populasi dan kelangsungan hidup spesies ini sangat terancam karena degradasi hutan dan penggundulan hutan, penebangan liar, perburuan dan perdagangan ilegal, kebakaran hutan, pertanian subsisten dan pembangunan perkebunan pertanian terutama perkebunan kelapa sawit, karet dan akasia.
Keanekaragaman spesies, kepadatan dan biomassa komunitas invertebrata diperkirakan mengalami penurunan setidaknya 45% dari transformasi penggunaan lahan hutan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit.
Deforestasi dan emisi gas rumah kaca
Sebuah penilaian deforestasi dan degradasi hutan dari tahun 1982 hingga 2007 menunjukkan hilangnya tutupan hutan sebesar 65% selama periode 25 tahun terakhir atau hilangnya sekitar 4,2 juta ha hutan.
Sementara pembangunan perkebunan kayu berkontribusi hingga 24%, budidaya kelapa sawit berkontribusi sekitar 29% hilangnya hutan setelah eksploitasi awal sumber kayu.
Deforestasi memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan pola dan distribusi curah hujan karena perubahan retensi presipitasi dan tingkat curah hujan. Estimasi proporsi deforestasi terhadap perluasan budidaya kelapa sawit di Indonesia berkisar antara 11–16%.
Selain pemanasan global yang awalnya difokuskan pada pembakaran bahan bakar fosil untuk panas dan transportasi dan pelepasan CO2 berikutnya, aktivitas antropogenik lainnya juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pelepasan CO2 dan bahwa konversi hutan tropis padat Karbon kemungkinan menjadi bagian penting dari ini.
Baca Juga: Benarkah Kelapa Sawit Bisa Gantikan Fungsi Pohon yang Ditebang di Hutan?
Nicholas Herbert Stern, seorang ekonom Inggris, dalam The Economics of Climate Change: The Stern Review melaporkan bahwa deforestasi berkontribusi terhadap sekitar 18% dari emisi gas rumah kaca (GRK) global. Pengembangan perkebunan di lahan gambut tropis yang dikeringkan menyebabkan oksidasi yang menghasilkan pelepasan CO2 yang signifikan selama periode yang panjang.
Penggunaan api untuk pembukaan lahan dan emisi gas metana dari kolam pengolahan limbah minyak sawit semuanya berkontribusi terhadap emisi GRK.
Pencemaran lingkungan dan perairan
POME adalah air limbah yang dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit yang memiliki kebutuhan oksigen biokimia (BOD) dan kebutuhan oksigen kimia (COD) yang lebih tinggi dan mengandung konsentrasi nitrogen organik, fosfor, dan berbagai zat suplemen yang lebih tinggi.
Batang kelapa sawit, pelepah kelapa sawit, tandan buah kosong, serat kelapa sawit yang ditekan dan cangkang inti kelapa sawit, bahan yang kurang berserat seperti bungkil inti kelapa sawit dan cairan buangan adalah produk limbah yang dihasilkan selama pengolahan minyak. Ledakan dalam industri kelapa sawit telah mengakibatkan berdirinya banyak pabrik minyak untuk pengolahan mesokarp dan inti kelapa sawit.
POME dihasilkan terutama dari proses ekstraksi minyak, pencucian dan pembersihan di pabrik dan ini mengandung bahan selulosa, minyak dan lemak.
Limbah berminyak yang merupakan bagian dari POME adalah polutan berbahaya bagi lingkungan perairan karena sangat beracun bagi organisme perairan ketika dibuang dalam jumlah besar ke aliran air misalnya sungai, aliran air.
Ini sangat berkontribusi terhadap bahaya kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan. Di Afrika, banyak orang bergantung pada sungai sebagai sumber air.
Penyekatan POME ke aliran air ini menciptakan bahaya besar bagi mereka yang hanya bergantung pada badan air ini sebagai sumber air minum dan keperluan rumah tangga dan irigasi lainnya.
POME mengandung sejumlah besar minyak dan lemak (4000 mg/L), COD (5000 mg/L), BOD (25000 mg/L) dan total padatan (40, 500 mg/L). Perlu diketahui bahwa di Malaysia, sekitar 44 juta ton POME diproduksi dan meningkat setiap tahunnya.
Jadi secara global, dampak ekonomi kelapa sawit tidak dapat diremehkan. Meskipun demikian, ada tantangan lingkungan yang mengancam keberlanjutan kelapa sawit, khususnya penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, peningkatan emisi gas rumah kaca, serta polusi lingkungan dan perairan.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR