Nationalgeographic.co.id—Indonesia memiliki kawasan mangrove sekitar 3,1 juta hektare, atau 22,6% dari luas mangrove di dunia. Salah satu kabupaten dengan kawasan mangrove terluas di Indonesia adalah Kabupaten Berau di Kalimantan Timur, yaitu sekitar 80 ribu hektare.
Sayangnya, kawasan mangrove di Berau terus menghadapi tekanan akibat pembukaan tambak, pembalakan ilegal, pariwisata tidak berkelanjutan, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya. Guna mengatasi situasi tersebut, diperlukan keterlibatan para pihak dalam menjaga dan melindungi kawasan mangrove di Kabupaten Berau agar tetap bertahan pada kondisi yang baik.
Demi mewujudkan hal tersebut, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Pemerintah Kabupaten Berau dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menyelenggarakan pelatihan pengelolaan dan penguatan sistem basis data kawasan mangrove. Kegiatan yang digelar pada Jumat, 8-10 Januari 2025, ini bertujuan untuk menguatkan pengelolaan kawasan mangrove di Kabupaten Berau secara kolaboratif dan berkelanjutan.
“Kawasan mangrove di Kabupaten Berau adalah aset penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Melalui kegiatan ini, kami ingin memastikan pengelolaan mangrove dilakukan dengan pendekatan berkelanjutan yang tidak hanya melindungi ekosistem, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Sekretaris Daerah Kabupaten Berau, Muhammad Said, seperti dikutip dari keterangan pers YKAN.
Dalam kegiatan ini, para pihak, terutama masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem pesisir, menyusun perencanaan aksi terpadu terhadap pengelolaan kawasan mangrove yang mutakhir dan mengikuti tren perkembangan. Hal ini sejalan dengan metode Restorasi Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat atau Community Based Ecological Mangrove Rehabilitation (CBEMR).
Metode CBEMR memungkinkan masyarakat lokal memimpin restorasi mangrove dengan pendekatan sistematis dan standar yang terukur. Pelibatan masyarakat menjadi sangat penting karena mereka lebih memahami situasi di daerah tersebut.
Bersama pemangku kepentingan lainnya, seperti pemerintah dan dinas terkait, masyarakat dapat menganalisis fenomena atau permasalahan yang terjadi di kawasan mangrove di sekitar tempat tinggal mereka. Selain itu, mereka juga bisa mengasah keterampilan untuk melakukan pemantauan dan pendataan mangrove menggunakan beberapa perangkat hingga praktik pendugaan biomassa dan karbon hutan mangrove.
“Melalui pelatihan ini, kami lebih memahami bagaimana mangrove dapat menjadi aset penting untuk masa depan, baik untuk lingkungan maupun perekonomian masyarakat. Ini memberikan harapan baru bagi masyarakat pesisir. Kami berharap, sinergi antara masyarakat dan pemerintah dapat terus terjaga,” kata Ketua Tabalar Mangrove Lestari (TML) Kampung Tabalar Muara, Harjo.
Memulihkan Fungsi Ekologis Mangrove dan Membangkitkan Fungsi Ekonominya
Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan 52 ribu hektare kawasan mangrove, atau 1- 2% setiap tahunnya. Menurut data dari Center for International Forestry Research (CIFOR), deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk kerusakan mangrove, berkontribusi antara 8–20% terhadap total emisi karbon dioksida global yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Baca Juga: Mengapa Hutan Mangrove Penting bagi Ketahanan Pangan dan Perekonomian?
Di Indonesia, dalam luasan yang sama, hutan mangrove menyimpan lima kali lebih banyak karbon dibandingkan hutan daratan, dan mencakup sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan dalam ekosistem mangrove global.
"Ekosistem mangrove yang merupakan bagian dari sektor kehutanan dan perubahan lahan, berpotensi memberikan kontribusi sebesar 8% dari target penurunan emisi nasional tahun 2030. Kontribusi ini dapat dicapai melalui pencegahan degradasi dan deforestasi hutan mangrove, serta intervensi ekosistem mangrove yang rusak," jelas Direktur Program Kelautan YKAN, Muhammad Ilman.
Maka dari itu, perlindungan dan pengawasan kawasan mangrove membutuhkan fokus dan komitmen yang kuat dari para pihak. Selain memulihkan fungsi ekologi, keberadaan kawasan mangrove juga harus mampu menjawab isu ekonomi. Sebab, kesejahteraan adalah isu utama yang paling mendasar dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat pesisir.
Melalui kegiatan ini, YKAN berupaya untuk mensinergikan kedua isu tersebut dan memberikan jalan tengah dalam pengelolaan kawasan mangrove. "Kegiatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang potensi mangrove sebagai ekosistem yang dapat mendukung pendanaan alternatif dan manfaat finansial yang berkelanjutan," tutup Ilman.
Saat ini, YKAN sedang mendampingi lima kelompok pengelola mangrove di lima kampung yang berbeda di Kabupaten Berau. Kelimanya adalag Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Pegat Batumbuk di Kampung Pegat Batumbuk, Tim Pengelola Mangrove (TPM) Teluk Semanting di Kampung Teluk Semanting, Khatulistiwa Kampung di Kampung Suaran, Konservasi Mangrove di Kampung Karangan, dan Tabalar Mangrove Lestari (TML) di Kampung Tabalar Muara.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR