Sebaliknya, semua tipe perahu tradisional dan historis dirancang dengan mengikuti pola disain yang dalam bahasa penduduk Bontobahari, Konjo, dinamakan tatta atau 'potongan'.
Sistem rancang bangun tatta itu mensyaratkan berbagai kriteria utama konstruksi lambung, mulai dari letak pasak yang menautkan seluruh lambung perahu sampai ke jumlah, posisi, panjang dan bentuk masing-masing papannya serta letak gading-gading dan senta yang memperkuatnya.
Sampai sekarang dua pola tatta diidentifikasikan: Perahu berukuran kecil sampai sedang bisa menggunakan pola tatta tallu, ‘potongan tiga’; yang lebih besar dapat mengikuti tatta appa, ‘potongan empat’.
Tatta tallu itu konon ‘milik’ para panrita lopi asal Lemo-Lemo, dan sampai sekarang masih digunakan untuk membangun perahu nelayan jenis pajala, pagai atau patorani.
Pola tatta appa diciptakan oleh ahli pembuat perahu Ara, dan dikhususkan untuk tipe lambung palari, pilihan utama untuk pemasangan tiang dan layar jenis pinisi.
Ciri khas lain dari proses pembuatan perahu tradisional ini adalah penggunaan pasak kayu yang menautkan papan-papannya dan menyambungnya dengan gading-gading tidak saling berbenturan. Jadi, dalam perahu-perahu yang tradisional, fungsi baut digantikan oleh pasak tersebut.
Tertarik menyimak kisah tentang pinisi secara lebih mendalam? Anda bisa mendapatkannya melalui sisipan Edisi Khusus Desa Budaya: Desa Merawat Warisan Dunia dalam majalah National Geographic Indonesia Edisi Januari 2025. Klik tautan ini untuk mendapatkannya.
KOMENTAR