Nationalgeographic.co.id - Human Metapneumovirus atau virus HMPV bukanlah virus baru. Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kedokteran Praklinis dan Klinis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Telly Purnamasari Agus, mengatakan virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 2001 oleh ilmuwan virologi dari sampel pasien yang menderita penyakit saluran pernapasan.
"HMPV dikategorikan sebagai penyakit re-emerging karena sudah ada sebelumnya. Nah untuk karakteristiknya sendiri ini merupakan virus RNA tunggal, bentuk strukturnya adalah struktur helix seperti bola begitu dan di luarnya memiliki membran protein yang ini terkait nanti dengan infeksi," ungkap Telly dalam acara Media Lounge Discussion (MELODI) di Gedung BJ Habibie, Jakarta, pekan ini.
Telly menjelaskan virus ini memiliki dua subtipe utama, yaitu subtipe A dan B, masing-masing dengan dua subgrup. Subtipe A lebih sering dikaitkan dengan wabah dan menunjukkan gejala gangguan pernapasan yang lebih berat dibandingkan subtipe B. “Subtipe B biasanya lebih banyak ditemukan pada musim dingin atau gugur,” tambahnya, sebagaimana dikutip dari laman BRIN.
Sebagaimana diketahui, HMPV menjadi perhatian baru-baru ini. Peningkatan kasus infeksi virus HMPV di beberapa negara, termasuk laporan WHO, telah memicu kewaspadaan global.
“Meskipun fatality rate-nya kecil, kita tidak bisa meremehkan penyakit ini. Waspada dan menerapkan langkah pencegahan seperti menjaga kebersihan dan memperkuat imunitas sangat penting untuk mencegah penyebaran,” tegas Telly.
Lebih jauh, Telly juga menambahkan bahwa surveilans epidemiologi perlu diperkuat di tingkat sekolah dan puskesmas untuk melacak penyebaran HMPV. “Kita memerlukan surveilans yang berkesinambungan agar dapat memantau data secara real-time. Hal ini penting untuk merancang kebijakan pencegahan berbasis data,” jelasnya.
Meneliti Virus HMPV
Telly juga menjelaskan bahwa secara global, penelitian tentang HMPV sudah berlangsung lama. Di luar negeri, riset mencakup studi epidemiologi, klinis, dan pengembangan vaksin, meskipun hingga kini vaksin HMPV belum tersedia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa HMPV sering menyebabkan infeksi saluran pernapasan berat, terutama pada anak-anak dan kelompok rentan lainnya.
Penelitian di negara-negara seperti Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia menunjukkan bahwa HMPV adalah salah satu penyebab utama infeksi saluran napas berat setelah TBC. Sebagian besar anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi saluran napas diketahui terinfeksi HMPV.
Studi di Jepang mengungkapkan bahwa HMPV sering ditemukan bersamaan dengan virus lain pada pasien. Sampai saat ini, belum ada pengobatan khusus atau vaksin untuk HMPV.
Baca Juga: Mulai Terdeteksi di Indonesia, HMPV Bukan Virus Baru dan Tidak Mematikan?
Kini terapi yang digunakan bersifat sintomatik, seperti pemberian antibiotik untuk demam atau rehidrasi untuk mengatasi dehidrasi. Penelitian di Australia sedang mengevaluasi efektivitas terapi sintomatik untuk HMPV serta kemungkinan pengembangan terapi spesifik.
Di Indonesia, penelitian mengenai HMPV masih terbatas. Menurut Telly, terdapat peluang besar untuk mengembangkan riset dalam berbagai aspek.
“Kita perlu meneliti faktor risiko, prognosis, hingga pola penyebarannya dengan mempertimbangkan karakter geografi Indonesia. Selain itu, penelitian klinis terkait efektivitas terapi simptomatik atau pengembangan obat dan vaksin sangat diperlukan,” ujarnya.
Terkait vaksin, Telly menyebutkan bahwa saat ini belum ada vaksin khusus HMPV yang dikembangkan di Indonesia. Namun, ia optimistis bahwa BRIN dapat memimpin upaya ini.
“Belajar dari pengembangan vaksin COVID-19, kita bisa mempercepat prosesnya jika ada dukungan dan kolaborasi yang kuat. Selain vaksin, pengembangan alat diagnostik seperti rapid test juga diperlukan agar daerah terpencil dengan fasilitas kesehatan terbatas dapat mendeteksi HMPV secara cepat,” tambahnya.
Telly menyoroti pentingnya penelitian terkait HMPV di Indonesia. Menurutnya, penelitian ini masih sangat minim. “Kita perlu mengetahui apakah subtipe HMPV yang beredar di Indonesia adalah tipe A, tipe B, atau bahkan ada mutasi baru. Penelitian ini akan membantu kita mengidentifikasi faktor risiko dan merancang langkah pencegahan yang lebih efektif,” ujarnya.
Maka dari itu, Telly juga menjelaskan bahwa penelitian kolaboratif antara fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dengan unit penelitian (CRU), dan peneliti BRIN dapat menjadi langkah strategis untuk memahami lebih jauh tentang HMPV. Ia pun mendorong adanya kolaborasi antara BRIN dan berbagai pihak, baik nasional maupun internasional, untuk mendalami penelitian HMPV.
“Potensi penelitian masih sangat luas, termasuk dampak ekonomi dan psikososialnya," ujarnya. "Ini peluang besar bagi peneliti di Indonesia untuk berkontribusi."
Idulfitri dan Kesehatan Mental: Ketika Kumpul Keluarga Malah Memicu Stres, Apa yang Salah?
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR