Nationalgeographic.co.id—Saya menggemari teh. Setiap menyesap teh hangat, minuman ini membangkitkan perasaan tenang dan tidak meninggalkan rasa bersalah.
Ketika saya kanak-kanak, ibu selalu menyiapkan teh untuk kami di meja makan keluarga. Setiap hari, jelang sarapan dan jelang matahari terbenam. Sampai hari ini, meski ayah telah tiada, ibu masih menyajikan teh.
Pun, ketika saya pulang ke rumah ibu untuk liburan atau sekadar singgah, ibu menyambut dengan teh hangat. Bedanya, dahulu ibu menyeduh daun-daun teh di dalam teko, kini ia menyeduh kantung teh di cangkir atau gelas. Lebih praktis, katanya.
Tradisi teh di keluarga kami diwariskan oleh kakek dan nenek. Saya ingat, setiap pagi dan sore, nenek menyiapkan sejumput daun-daun teh yang diseduh dalam gelas bening berkuping untuk kakek. Teh dekokan, demikian nenek menyebutnya, kental dan disajikan tanpa gula. Biasanya kakek menunggu teh yang siap disesap sembari membaca koran atau majalah di pendapa. Saya mengamati daun-daun teh yang mengapung, menantinya jatuh satu per satu ke dasar gelas, sampai warnanya berubah dari kuning lamat-lamat ke cokelat gelap.
Pun, teh sudah dianggap sebagai obat segala penyakit anak-anak. Ketika saya meriang atau pencernaan terganggu, ibu kerap menyuapkan air teh hangat. Ajaibnya, saya sembuh.
Hampir setiap sore, saya menyeduh teh dari penjuru bumi untuk dinikmati bersama desainer majalah ini di kantor. Kami meyakini, teh mampu menghentikan keributan dunia.
Saya sering bertanya-tanya mengapa sore hari menjadi waktu yang pas untuk minum teh? Di beberapa kebudayaan di Nusantara—juga penjuru dunia—sore merupakan waktu genting jelang datangnya kekuatan jahat yang menguasai malam.
Royal Samuel Copeland (1868-1938), seorang dokter homeopati di New York, Amerika Serikat, pernah mengungkapkan hal serupa. "Waktu yang paling rawan dalam hidup adalah antara pukul empat sore sampai waktu makan malam," tulisnya. "Secangkir teh pada waktu ini akan memberikan kenyamanan dan kebahagiaan besar."
Majalah National Geographic Magazine Indonesia edisi Januari 2025 menampilkan kisah sampul tentang hutan teh Warisan Dunia. Kita diajak memasuki hutan terbaik di dunia yang membudidayakan teh.
Tampak dua petani teh Dai memetik daun di Da Ping Zhang, satu dari lima hutan teh di Gunung Jingmai di Provinsi Yunnan, Tiongkok. Orang-orang di sana telah menggunakan metode pertanian alami selama lebih dari satu alaf.
Sejarah teh melampaui sejarah kopi. Namun, keduanya tercatat tiba hampir bersamaan di Nusantara. Saya bertanya kepada pengamat sejarah kuliner Fadly Rahman, mengapa narasi teh kita seolah senyap? Jawabannya ia sampaikan dalam edisi ini.
Kami juga menjumpai Iriana Ekasari, pendiri Sila Agri Inovasi, yang mengungkapkan gagasannya dalam edukasi petani teh perempuan. Ia bercita-cita, petani teh perempuan bisa hidup sejahtera, bisa menyekolahkan anak, dan menikmati kehidupan yang sehat.
Meski sekarang kita bisa menjumpai beragam teh artisan, kedai teh boleh dibilang langka sekalipun di kota-kota besar. Pun, saya kerap menjamu tetamu di kedai kopi. Bagi saya, kedai kopi terbaik adalah kedai yang menyajikan teh terbaiknya untuk para pelanggan.
Angkat lagi cangkir tehmu, Kawan. Mari kita bersulang!
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR