Nationalgeographic.co.id—Hujan turun dengan sangat derasnya secara tiba-tiba di halaman Istana Siak Sri Indrapura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Minggu (12/1/2025), ketika saya dan rombongan kegiatan Siak Innovation Challenge 2025 baru akan mulai berjalan kaki menuju Sebiji Coffee.
Di kedai kopi tersebut, kami akan berkumpul sejenak untuk mendengarkan arahan sebelum melakukan tur ekosistem lestari di wilayah Siak. Arahan yang kami dengarkan sambil menikmati beragam hidangan yang tersaji.
Ada satu hal yang menarik dari jajaran minuman dan kudapan yang disajikan, beberapa produk menggunakan nanas, baik sebagai bahan pokok maupun pelengkapnya. Dalam perbincangan singkat, diketahui bahwa nanas, khususnya yang berjenis Nanas Mahkota Siak, merupakan komoditas unggulan dari Kabupaten Siak.
Setidaknya saya menemukan lima jenis makanan dan minuman yang menggunakan Nanas Mahkota Siak sebagai bahan dasarnya di Sebiji Coffee, yaitu enjoy pina frape, chicken fried rice with dry pina, ragam, pina toast, serta happines pinaloka.
Lebih menarik lagi, ternyata kehadiran menu-menu berbahan dasar nanas ini seolah menjadi perkenalan awal dari tempat yang akan segera kami tuju. Bahkan, sudah tersurat dari kata yang tertera pada menu terakhir yang saya sebutkan di atas, yaitu “pinaloka”.
Menyantap kudapan, melindungi lahan
Pernahkah Anda membayangkan bahwa dengan membeli kudapan berbahan dasar nanas, Anda telah membantu menyelamatkan sebuah wilayah dari kebakaran lahan? Rasa-rasanya sulit untuk dilakukan bukan?
Namun, faktanya, itulah yang terjadi jika Anda membeli produk Nanas Mahkota Siak dari kawasan Kabupaten Siak. Termasuk beragam produk yang dihasilkan oleh Pinaloka, kelompok usaha perempuan dari Desa Tanjung Kuras, Kabupaten Siak, Riau.
Sebab, nanas-nanas tersebut ditanam di lahan gambut yang sangat rawan akan munculnya titik api, terutama saat musim kemarau. Dengan daunnya yang tebal, maka nanas yang ditanam dalam kerapatan tertentu mampu meredam sebaran api.
Kondisi ini berbeda jika lahan gambut dibiarkan “menganggur” seperti yang umumnya terjadi di berbagai wilayah lain di Indonesia. Apalagi jika sampai “lahan nganggur” tersebut ditumbuhi oleh semak-semak. Dengan kondisi akar serabut dan daunnya yang tipis, maka semak-semak tersebut akan sangat mudah terbakar dan kemudian menyebar dengan cepat.
Baca Juga: Siak Innovation Challenge 2025: Ajang Inovasi Demi Gambut yang Kian Lestari
Kondisi mengerikan itulah yang terjadi di wilayah Kabupaten Siak pada 2015. Kondisi yang membuat Siak dikepung oleh asap dari kebakaran lahan selama berbulan-bulan. Sebuah titik awal yang membuat awal para anak muda di Siak bergerak untuk secara swadaya melakukan pelbagai usaha untuk mencegah terjadinya kembali kebakaran di lahan gambut.
Selain mencegah kebakaran lahan, penanaman nanas juga membuat kelembapan lahan gambut dapat terjaga. Hal ini terjadi terutama jika teknik tumpang sari bersama tanaman lain dilakukan di kebun nanas.
Maka tidak salah rasanya jika kemudian saya menemukan kalimat “Membeli Produk Pinaloka (=) Membeli Masa Depan yang Lebih Baik!” di laman Instagram @pinaloka.id. Terlebih, pinaloka juga turut memberdayakan masyarakat lokal, khususnya para petani, dalam usahanya.
Pilanoka sendiri menyajikan banyak sekali jenis produk yang berbahan dasar nanas, antara lain: selai nanas, sirup nanas, nastar nanas, nanas kering, minuman nanas, serta selai isian nastar.
Bahkan, dengan tujuan untuk memanfaatkan semua bagian dari nanas, Pinaloka juga kemudian mengembangkan serat alam yang berbahan dasar daun nanas. Serat alam inilah yang kemudian diolah menjadi tas tumbler atau aksen kain yang semuanya diproduksi secara lokal.
“Melalui Pinaloka, selain ramah gambut, nanas ini menjadi sumber pendapatan baru masyarakat yang sebelumnya masih menjadikan sawit sebagai sumber pendapatan utama,” Cindi Shandoval, Chief Executive Officer Pinaloka saat menjelaskan kepada kami.
Berakar budaya, hasilkan miliaran
Usai membuat nastar yang dicetak sendiri di Pinaloka, saya dan rombongan kemudian bergegas menuju PT. Alam Siak Lestari (ASL). Tentu saja dengan hujan yang masih turun, meski kini sudah tak sederas sebelumnya.
“Ide ASL itu pada dasarnya membuat gambut tetap basah,” ujar Musrahmad Igun, salah satu pendiri perusahaan milik masyarakat (community based enterprise) tersebut, saat pertama kali menyambut kami.
Bang Gun, sapaan Igun, kemudian menceritakan bahwa ide membuat kolam ikan serta merta muncul untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Hanya saja, Gun dan rekan-rekannya masih bingung, “Ikan apa yang mau dipelihara?”
Baca Juga: Gambut dan Mangrove Jadi Kunci Pengurangan Emisi Karbon di Asia Tenggara
Mengingat wanita Melayu memiliki budaya memakan ikan gabus setelah melahirkan, makan ikan inilah yang kemudian dipilih. Terlebih, ikan gabus sendiri merupakan endemik lahan gambut.
Proses selanjutnya setelah penentuan tersebut adalah riset mendalam untuk menggali potensi apa yang bisa dikembangkan dari ikan gabus tersebut. Dari situlah lahir Albugo, yaitu kapsul albumin yang dihasilkan dari ekstrak ikan gabus.
Albumin dalam kapsul Albugo ini memiliki banyak sekali khasiat untuk kesehatan. Beberapa di antaranya adalah mempercepat regenerasi sel hingga penyembuhan luka. Fungsi terakhir inilah yang ternyata menjadi penjelasan ilmiah dari budaya memakan ikan gabus usai melahirkan oleh wanita Melayu.
Manfaat besar ikan gabus dari sisi ekonomi ini pada akhirnya mendorong masyarakat setempat untuk lebih merawat lahan gambut. Sebab, untuk bisa memperoleh ikan gabus yang sehat, yaitu dengan mengandung protein yang sangat tinggi, maka diperlukan ekosistem lahan gambut yang terjaga kualitasnya.
Atas keberhasilannya tersebut, ASL mampu menjadi finalis pada MIT Solve Challenge 2021 (MIT SOLVE) yang diselenggarakan oleh universitas asal Amerika Serikat, Massachusetts Institute of Technology (MIT) untuk tema Resilient Ecosystems.
Kemudian pada 2022, Bappenas memberikan SDGs Action Awards kategori pelaku usaha kecil dan menengah kepada ASL. Bahkan, ASL berhasil menempati posisi pertama pada kategori tersebut.
Selain kapsul albumin, produk-produk lain berbahan dasar gabus juga turut dikembangkan seperti sisa tepung albumin bisa menjadi high protein food untuk mengatasi stunting, ada produk yang berfungsi sebagai ASI booster (yang dipadukan dengan daun kelor), ada tepung kulit yang diambil dari limbah kulit ikan gabus, dan lain sebagainya.
Saat ditanya tentang rupiah yang berputar dalam kegiatan ASL, Gun dengan lantang menyebut kata “miliar”. Luar biasa.
Hadirkan inovasi lewati diskusi
Selepas dari ASL, setelah sempat melakukan tur wisata Siak dengan mengunjungi Istana Siak Sri Indrapura dan menyusuri Sungai Siak menggunakan kapal kayu (dipandu oleh Irham Temas Sutomo), kami bergerak menuju Skelas.
Baca Juga: Hari Gerakan Sejuta Pohon Sedunia: Restorasi Lahan Gambut melalui Agroforestri
Akronim dari Sentra Kreatif Lestari Siak itu bisa disebut merupakan tuan rumah dari acara inti dari kunjungan saya ke Siak, yaitu Siak Innovation Challenge 2025, yang digelar di Gedung Tengku Maharatu, Senin (13/1/2025).
Lomba inovasi yang bertema tentang pemberdayaan segala hal terkait ekosistem gambut tersebut memilih 3 pemenang dari 8 tim yang berhasil lolos menjadi finalis. Seperti apa keseruan Siak Innovation Challenge 2025? Silakan klik tautan berikut.
Kembali ke Skelas, tim yang dipimpin oleh Cerli Febri Ramadani tersebut menyebut diri mereka sebagai, “Pusat inkubasi yang diinisiasi oleh orang muda Kabupaten Siak untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lewat solusi kreatif yang berbasis Ekonomi Lestari serta Pelestarian Budaya Lokal.”
Skelas menjadi semacam ruang kolaborasi dan gotong royong antara komunitas yang ada di Siak dengan pihak pemerintah, yang tentu saja ada di Siak juga. Tujuannya adalah untuk bisa bersama-sama menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di Kabupaten Siak.
Pelbagai kegiatan tentunya dilakukan oleh Skelas dalam rangka mewujudkan tujuan mulia mereka tersebut. Salah satunya adalah Skelas Beselo. Dalam budaya masyarakat Melayu, beselo identik dengan duduk bersama di lantai sembari melipatkan kaki untuk kemudian berdiskusi.
Beselo yang juga merupakan akronim dari “bebual” (bahasa Melayu untuk berdiskusi), “semangat,” dan “lokal” itu kemudian dimaknai sebagai wujud kesetaraan dan kebersamaan antara anak muda dan para orang tua, tanpa membedakan status sosial dan jabatan, dari warga Melayu.
Beragam kelas, baik secara daring maupun secara luring, diadakan dalam payung Beselo. Tema yang diangkat, mulai dari kesehatan jiwa, upaya menggali potensi lokal dan UMKM, hingga pengembangan diri.
Kegiatan lain yang juga ada di Skelas adalah Kubisa yang merupakan akronim dari Inkubasi Bisnis Lestari Siak. Sesuai namanya, Kubisa menjadi pusat inkubasi bisnis lestari bagi seluruh masyarakat Siak. Bisnis-bisnis yang terpilih dalam Kubisa akan mendapatkan pelatihan secara intensif.
Skelas sendiri menjadi penutup perjalanan saya mengunjungi beragam titik penting dalam ekosistem lestari di Kabupaten Siak. Waktu menunjukkan pukul 10 malam ketika saya baru tersadar satu hal, sejak siang pakaian saya basah kuyup. Ah, mungkin gara-gara saya terlalu terpesona oleh ekosistem ini.
KOMENTAR