Selama Perang Dunia II, Inggris menerapkan pembatasan ketat terhadap gula dan permen yang bisa dibeli masyarakat. Rasio ini berlangsung hingga tahun 1953, jauh setelah efek kesehatan yang berkaitan dengan perang berlalu.
Para peneliti kemudian membandingkan anak-anak yang lahir tepat sebelum pembatasan dicabut dengan mereka yang dikandung atau lahir setelahnya.
Karena konsumsi gula langsung meningkat dua kali lipat setelah pembatasan dicabut, mereka bisa berasumsi bahwa kelompok kedua mengonsumsi lebih banyak gula di tahun-tahun pertama mereka.
Dengan menggunakan database kesehatan pemerintah Inggris, mereka melacak sekitar 60.000 anak ini selama beberapa dekade.
Hasilnya, mereka yang tumbuh dengan asupan gula terbatas memiliki risiko diabetes 35 persen lebih rendah dan risiko tekanan darah tinggi 20 persen lebih rendah saat dewasa dibandingkan mereka yang lahir setelah gula tersedia tanpa batas.
Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kondisi dalam kandungan dan awal kehidupan berperan besar dalam menentukan kesehatan di masa depan.
Dampak Gula pada Anak Sejak Dini
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebihan berdampak buruk bagi anak-anak bahkan sebelum mereka mencapai usia dewasa.
Makanan manis mengandung kalori yang tinggi, yang berkontribusi pada meningkatnya angka obesitas anak.
Saat ini, 1 dari 5 anak di Amerika Serikat mengalami obesitas, termasuk 13 persen anak usia 2 hingga 5 tahun. Obesitas ini berkaitan dengan berbagai masalah kesehatan, seperti diabetes dan penyakit jantung.
Sebuah laporan ilmiah yang dirilis Desember lalu oleh komite pemerintah yang mengkaji pedoman gizi menyimpulkan bahwa membatasi konsumsi minuman manis, camilan bergula, makanan asin, serta daging merah dan olahan dapat menurunkan risiko obesitas pada anak dan remaja.
Baca Juga: Kisah di Balik Kue-Kue Kering yang Disajikan setiap Hari Natal
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR