Teknokrasi bisa ada dalam demokrasi perwakilan dan otoritarianisme. Bank sentral memiliki kekuasaan besar. Teknokrasi melengkapi demokrasi, bukan menggantikannya. Epistokrasi mengutamakan keputusan "benar". Teknokrasi hanya memberi tahu cara mencapai tujuan.
Menurut David Runciman di laman The Guardian, sulit menentukan siapa yang ahli. Teknokrasi lebih mudah diidentifikasi. John Stuart Mill, filsuf abad ke-19, mengusulkan sistem pemungutan suara berbeda berdasarkan pekerjaan.
Profesional mendapat enam suara atau lebih. Petani dan pedagang mendapat tiga atau empat. Pekerja terampil mendapat dua. Pekerja tidak terampil mendapat satu. Mill juga mendukung hak suara perempuan. Ia percaya beberapa perempuan lebih unggul dari kebanyakan laki-laki.
Di abad ke-21, sistem Mill dianggap tidak demokratis. Jason Brennan, filsuf abad ke-21, menghidupkan kembali epistokrasi dalam bukunya Against Democracy (2016). Brennan berpendapat banyak pertanyaan politik terlalu kompleks bagi pemilih. Pemilih sering salah dan tidak sadar akan ketidaktahuan mereka.
Brennan tidak yakin pekerjaan menentukan kemampuan. Ia mengusulkan tes pengetahuan sosial dasar. Ia juga menyarankan pemberian suara lebih banyak berdasarkan tingkat pendidikan: lima suara tambahan untuk lulus SMA, lima untuk sarjana, dan lima untuk pascasarjana.
Larry Bartels dan Christopher Achen dalam buku Democracy for Realists (2016) menyatakan orang terpelajar juga bisa salah. Bias kognitif tidak menghormati gelar.
Brennan berpendapat kasus epistokrasi menguat setelah 100 tahun lebih demokrasi. Menurutnya, pemungutan suara tidak membuat orang lebih terinformasi. Brennan menyatakan partisipasi politik tidak berharga bagi kebanyakan orang dan cenderung membodohkan.
Risiko dan Alternatif Epistokrasi
Epistokrasi berisiko menetapkan standar terlalu tinggi. Terkadang menghindari yang terburuk lebih penting. Demokrasi mungkin buruk dalam jawaban benar, tetapi baik dalam membongkar yang salah.
Keragaman demokrasi melindung kita dari ide buruk. Epistokrasi berisiko menciptakan kekuasaan yang tidak terkoreksi. Ketidaktahuan dalam demokrasi tidak menindas seperti pengetahuan dalam epistokrasi.
Jawaban Brennan (dari buku David Estlund tahun 2007, Democratic Authority) adalah bahwa demokrasi juga kekuasaan. Namun, kekuasaan ketidaktahuan berbeda. Max Weber pada pergantian abad ke-20 menganggap hak pilih universal berbahaya, tetapi tidak mungkin dicabut setelah diberikan.
Ada cara lain untuk meningkatkan kebijaksanaan dalam politik demokratis. Kita bisa mensimulasikan pilihan pemilih dalam kondisi tenang. Misalnya, mengekstrapolasi keinginan pemilih jika mereka memiliki akses pengetahuan yang dibutuhkan.
KOMENTAR