Nationalgeographic.co.id—Demokrasi saat ini seringkali mengecewakan, dengan politik yang tak terduga dan hasil yang mengkhawatirkan seperti Brexit dan kebangkitan populisme memicu pertanyaan mendasar: bisakah kita melakukan yang lebih baik?
Gagasan untuk mengganti politisi yang dipilih dengan para ahli, sebuah konsep yang dikenal sebagai epistokrasi, muncul sebagai alternatif yang menarik bagi sebagian orang yang frustrasi dengan inefisiensi dan kesalahan yang dirasakan dalam sistem demokratis.
Namun, apakah menyerahkan kendali pemerintahan kepada mereka yang dianggap paling berpengetahuan benar-benar solusi yang lebih baik, ataukah tindakan ini justru akan membawa kita pada serangkaian masalah baru yang lebih kompleks?
Pertanyaan tentang siapa yang berhak mendefinisikan keahlian, bagaimana kekuasaan akan dipertanggungjawabkan di tangan para ahli yang tidak dipilih, dan apakah mengabaikan suara rakyat demi "kebenaran" yang diklaim oleh segelintir orang akan mengkhianati prinsip-prinsip dasar keadilan dan kesetaraan adalah beberapa dari sekian banyak pertimbangan penting yang perlu diurai dalam artikel ini.
Epistokrasi dan kemuakan masyarakat
Belakangan, banyak masyarakat yang merasa muak dengan polah para politisi. Mereka pun merasa bahwa demokrasi saat ini terasa lelah dan tidak efektif. Beberapa pihak yang kemudian merasa bahwa pemerintahan sebaiknya tidak diisi oleh politisi, melainkan oleh para ahli.
Alternatif radikal itu sendiri sebenarnya sudah muncul dari abad ke-19 dengan istilah epistokrasi. Ini adalah pemerintahan oleh para ahli. Epistokrasi menentang demokrasi yang memberikan suara kepada semua orang tanpa melihat pengetahuan.
Di Athena kuno, jabatan dipilih melalui undian. Kritikus demokrasi, seperti Plato, menganggapnya sebagai pemerintahan orang bodoh. Setelah Brexit, argumen ini muncul di Cambridge. Dominic Cummings mendengar langsung kritikan bahwa Brexit terjadi karena kebohongan kepada orang bodoh.
Demokrasi tidak menganggap kebodohan sebagai kebajikan. Namun, ia tidak membedakan berdasarkan pengetahuan. Yang utama adalah keterlibatan dalam hasilnya. Epistokrasi bertanya mengapa kita tidak membedakan berdasarkan pengetahuan.
Argumen ini sudah ada lebih dari 2.000 tahun. Hingga akhir abad ke-19, demokrasi dianggap ide buruk oleh intelektual. Pada abad ke-20, pandangan berubah. Namun, peristiwa abad ke-21 menghidupkan kembali keraguan. Epistokrasi kini relevan lagi.
Epistokrasi adalah pemerintahan oleh yang paling tahu. Teknokrasi adalah pemerintahan oleh mekanik dan insinyur. Pada November 2011, demokrasi Yunani ditangguhkan. Pemerintah diganti oleh kabinet ahli ekonomi untuk menstabilkan ekonomi. Ini adalah teknokrasi. Ekonom sering tidak tahu solusi terbaik. Teknokrasi fokus pada menjaga mesin berjalan.
Baca Juga: Kenapa para Politisi Sangat Suka Berbohong? Ini Jawaban Ilmiahnya
Teknokrasi bisa ada dalam demokrasi perwakilan dan otoritarianisme. Bank sentral memiliki kekuasaan besar. Teknokrasi melengkapi demokrasi, bukan menggantikannya. Epistokrasi mengutamakan keputusan "benar". Teknokrasi hanya memberi tahu cara mencapai tujuan.
Menurut David Runciman di laman The Guardian, sulit menentukan siapa yang ahli. Teknokrasi lebih mudah diidentifikasi. John Stuart Mill, filsuf abad ke-19, mengusulkan sistem pemungutan suara berbeda berdasarkan pekerjaan.
Profesional mendapat enam suara atau lebih. Petani dan pedagang mendapat tiga atau empat. Pekerja terampil mendapat dua. Pekerja tidak terampil mendapat satu. Mill juga mendukung hak suara perempuan. Ia percaya beberapa perempuan lebih unggul dari kebanyakan laki-laki.
Di abad ke-21, sistem Mill dianggap tidak demokratis. Jason Brennan, filsuf abad ke-21, menghidupkan kembali epistokrasi dalam bukunya Against Democracy (2016). Brennan berpendapat banyak pertanyaan politik terlalu kompleks bagi pemilih. Pemilih sering salah dan tidak sadar akan ketidaktahuan mereka.
Brennan tidak yakin pekerjaan menentukan kemampuan. Ia mengusulkan tes pengetahuan sosial dasar. Ia juga menyarankan pemberian suara lebih banyak berdasarkan tingkat pendidikan: lima suara tambahan untuk lulus SMA, lima untuk sarjana, dan lima untuk pascasarjana.
Larry Bartels dan Christopher Achen dalam buku Democracy for Realists (2016) menyatakan orang terpelajar juga bisa salah. Bias kognitif tidak menghormati gelar.
Brennan berpendapat kasus epistokrasi menguat setelah 100 tahun lebih demokrasi. Menurutnya, pemungutan suara tidak membuat orang lebih terinformasi. Brennan menyatakan partisipasi politik tidak berharga bagi kebanyakan orang dan cenderung membodohkan.
Risiko dan Alternatif Epistokrasi
Epistokrasi berisiko menetapkan standar terlalu tinggi. Terkadang menghindari yang terburuk lebih penting. Demokrasi mungkin buruk dalam jawaban benar, tetapi baik dalam membongkar yang salah.
Keragaman demokrasi melindung kita dari ide buruk. Epistokrasi berisiko menciptakan kekuasaan yang tidak terkoreksi. Ketidaktahuan dalam demokrasi tidak menindas seperti pengetahuan dalam epistokrasi.
Jawaban Brennan (dari buku David Estlund tahun 2007, Democratic Authority) adalah bahwa demokrasi juga kekuasaan. Namun, kekuasaan ketidaktahuan berbeda. Max Weber pada pergantian abad ke-20 menganggap hak pilih universal berbahaya, tetapi tidak mungkin dicabut setelah diberikan.
Ada cara lain untuk meningkatkan kebijaksanaan dalam politik demokratis. Kita bisa mensimulasikan pilihan pemilih dalam kondisi tenang. Misalnya, mengekstrapolasi keinginan pemilih jika mereka memiliki akses pengetahuan yang dibutuhkan.
Brennan menyarankan survei untuk melacak preferensi dan pengetahuan politik. Kemudian, simulasikan hasil jika semua warga negara mendapat skor sempurna dalam tes pengetahuan politik.
Pada tahun 2017, Kimera Systems mengumumkan AI bernama Nigel. Nigel membantu pemilih menentukan pilihan berdasarkan preferensi pribadi. Nigel mencoba memahami tujuan dan realitas pemilih untuk mengarahkan mereka ke arah yang benar.
Ini adalah versi personal dari ide Brennan. Namun, sistem pembelajaran mesin berisiko menciptakan lingkaran umpan balik dan memperburuk perpecahan. Perbaikan teknis bisa menyuntikkan sudut pandang alternatif.
Namun, epistokrasi abad ke-21 berisiko kembali menjadi teknokrasi karena para insinyur yang membangun sistem akan memiliki kekuasaan. Gambaran Mark Zuckerberg di Kongres menunjukkan masa depan teknokratik yang membingungkan. Ini bukanlah alternatif radikal, melainkan distorsi demokrasi.
Baca Juga: Pemilu Yunani Kuno: Politisi yang Banyak Diprotes Akan Diasingkan
KOMENTAR