Nationalgeographic.co.id—Selasa (18/3/2025), diselenggarakan BRWA Exhibition 2025. Tema pameran ini adalah "Mengabadikan Jejak, Menggerakkan Aksi".
Acara ini memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan 15 tahun usia Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Pameran ini menjadi momentum refleksi dan aksi nyata untuk mendorong pengakuan wilayah adat di Indonesia.
BRWA Exhibition 2025 menampilkan perjuangan dan kearifan masyarakat adat dalam menjaga wilayahnya. Sorotan utama adalah foto-foto yang menunjukkan cara masyarakat adat mempertahankan wilayah dan identitas mereka. Pengunjung juga dapat menyaksikan film dokumenter "Harmoni di Lembah Grime" tentang hubungan manusia dan alam di Jayapura, Papua.
Kegiatan ini juga mengadakan gelar wicara. Tema gelar wicara adalah "Strategi Penguatan Hak Masyarakat Adat Melalui Kebijakan Satu Peta". Para pemangku kepentingan membahas langkah-langkah percepatan pengakuan wilayah adat. Puncaknya adalah peluncuran BRWA Update Edisi Maret 2025: Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia.
Pengakuan wilayah adat masih lamban. BRWA telah meregistrasi 1.583 wilayah adat seluas 32,3 juta hektar di seluruh Indonesia. Namun, pemerintah daerah baru menetapkan 302 wilayah adat seluas 5,3 juta hektar. Capaian ini hanya sekitar 19,08% dari total wilayah adat yang diregistrasi BRWA.
Proses pengakuan lambat karena kompleksitas persyaratan dan minimnya dana. Tanpa komitmen pemerintah, masyarakat adat menghadapi ketidakpastian hukum atas wilayahnya.
Kepala BRWA, Kasmita Widodo, mengatakan lambatnya pengakuan meningkatkan potensi konflik tenurial. Proyek Strategis Nasional dan perizinan berbasis lahan juga mengancam keanekaragaman hayati, sumber pangan lokal, dan kebudayaan masyarakat adat.
Penetapan hutan adat juga belum sesuai harapan. Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK-35) menyatakan hutan adat bukan bagian dari kawasan hutan negara.
Namun, Kementerian Kehutanan baru menetapkan 156 wilayah adat seluas 322.505 hektar sebagai hutan adat. Padahal, potensi hutan adat mencapai 24,5 juta hektar berdasarkan data BRWA. Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam menjalankan mandat MK-35.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat juga masih stagnan. RUU ini telah diperjuangkan lebih dari satu dekade. Padahal, RUU ini penting untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk kepastian hukum atas wilayahnya. Proses legislasi RUU Masyarakat Adat masih terhambat di parlemen. Tahun 2025 adalah momen yang tepat untuk mengesahkan RUU ini.
BRWA bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyerukan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Ketua Tim Kampanye Koalisi, Anggi Putra, meyakini UU ini dapat membantu Indonesia keluar dari krisis pangan, energi, dan air global.
Baca Juga: Kain Tenun Gringsing: Nilai Spiritual Masyarakat Adat di Balik Wastra
KOMENTAR