Nationalgeographic.co.id—Bayangkan betapa rentannya benda-benda logam di sekitar kita—dari rangka bangunan, kendaraan, hingga peralatan rumah tangga—terhadap karat. Sedikit saja terpapar udara lembap atau air, besi langsung bereaksi membentuk karat yang perlahan merusak kekuatan dan tampilannya.
Bahkan baja, paduan keras antara besi dan karbon yang banyak digunakan dalam konstruksi, juga tak luput dari ancaman oksidasi ini.
Namun, berbeda dengan baja biasa, baja tahan karat atau stainless steel dikenal karena ketahanannya terhadap karat. Apa sebenarnya rahasia di balik kemampuannya ini?
Secara sederhana, kandungan kimia dalam stainless steel mampu mencegah oksigen dari udara maupun lingkungan sekitar untuk bereaksi langsung dengan unsur besi di dalamnya. Hal ini membuat proses oksidasi yang merusak dapat dicegah.
Pada baja biasa, reaksi kimia antara besi dan oksigen akan membentuk besi oksida atau karat. Meski tidak membahayakan kesehatan manusia, karat bisa merusak struktur besi secara perlahan, membuatnya rapuh, tidak aman, dan tampak usang.
Dilansir Live Science, baja biasa merupakan paduan dari 99% besi dan sekitar 0,2% hingga 1% karbon, sedangkan stainless steel biasanya mengandung 62% hingga 75% besi, hingga 1% karbon, dan lebih dari 10,5% kromium. Stainless steel juga biasanya mengandung beberapa persen nikel, yang membuatnya lebih kuat dan lebih mudah dibentuk.
Kromium adalah kunci ketahanan stainless steel terhadap karat, ujar Tim Collins, ilmuwan material sekaligus Sekretaris Jenderal Worldstainless — organisasi nirlaba berbasis di Belgia yang berafiliasi dengan asosiasi industri World Steel Association — kepada Live Science.
Kromium dalam stainless steel bereaksi dengan oksigen di lingkungan—baik di udara maupun di bawah air—untuk membentuk lapisan pelindung yang disebut "lapisan pasif" berupa kromium oksida (Cr₂O₃) di permukaan logam.
Lapisan ini berfungsi sebagai penghalang yang mencegah oksigen menembus hingga ke bagian besi dalam baja, sehingga proses pembentukan karat dapat dicegah, jelas Collins.
Hal yang menarik, lapisan pasif ini sangat tipis, hanya beberapa nanometer dan tidak terlihat oleh mata manusia, tambahnya. Meski begitu, kemampuannya luar biasa karena bisa memperbaiki diri sendiri jika mengalami kerusakan, menjaga permukaan logam tetap terlindungi.
Selain itu, kromium oksida bersifat inert atau tidak bereaksi secara kimia dengan zat lain dan tidak larut keluar dari permukaan logam. Inilah yang membuat stainless steel aman digunakan dalam berbagai aplikasi penting seperti produksi makanan, peralatan bedah, dan keperluan lainnya, lanjut Collins.
Penemuan Stainless Steel Modern yang Tidak Sengaja
Stainless steel modern pertama kali dikembangkan pada tahun 1912 oleh Harry Brearley, seorang ahli metalurgi asal Inggris yang tengah meneliti paduan baja untuk mencegah korosi pada laras senapan.
Dalam penelitiannya, Brearley menciptakan paduan yang terdiri dari besi, karbon, kromium, dan nikel. Namun, paduan tersebut ternyata tidak cocok digunakan untuk laras senapan, sehingga ia membuangnya ke halaman belakang rumahnya, jelas Collins.
Beberapa minggu kemudian, Brearley melihat bahwa potongan paduan logam yang terbuang di halaman rumahnya itu tidak berkarat. Temuan ini membuatnya sadar akan potensi besar dari material tersebut.
Akhirnya, Brearley mengembangkan lebih lanjut paduan tersebut dan secara resmi memperkenalkannya ke dunia pada tahun 1915 sebagai material baru yang tahan karat.
Collins mengatakan bahwa stainless steel yang tahan karat kini mencakup sekitar 4% dari total baja yang digunakan di seluruh dunia setiap tahunnya — hampir 2 miliar ton.
Namun, stainless steel adalah material yang rumit dan mahal untuk diproduksi — biasanya tiga hingga lima kali lebih mahal dibandingkan baja biasa — dan penambahan elemen logam khusus dalam paduan (seperti molibdenum untuk aplikasi bawah air) bisa membuat harganya semakin mahal.
Akibatnya, kebanyakan aplikasi yang membutuhkan baja tetap menggunakan baja biasa atau baja karbon, baik dalam kondisi yang tidak membuatnya berkarat, atau dengan melapisinya menggunakan cat atau pelapis lain.
Meski begitu, penggunaan stainless steel kini lebih luas dari sebelumnya, kata Collins, termasuk dalam produksi dan keamanan pangan.
Ahli pangan dari Johns Hopkins University, Kantha Shelke, menjelaskan kepada Live Science bahwa stainless steel memiliki banyak keunggulan dibandingkan material lainnya. Material ini tahan terhadap korosi yang disebabkan oleh asam dalam makanan maupun bahan kimia dari pembersih — berbeda dengan aluminium dan tembaga yang lebih rentan.
Selain itu, stainless steel juga tidak mencemari atau mengubah rasa makanan yang bersentuhan langsung dengannya.
Tak hanya itu, stainless steel dikenal sangat tahan lama dan memiliki kekuatan lebih dibanding aluminium. Permukaannya yang tidak berpori membuat material ini mudah dibersihkan, dan disterilkan, sehingga sangat ideal untuk digunakan dalam industri makanan dan kesehatan.
Dengan keunggulan tersebut, tak heran jika stainless steel menjadi material andalan dalam berbagai peralatan dapur, peralatan medis, hingga konstruksi. Keistimewaan utamanya terletak pada ketahanannya dan kemampuannya menjaga kualitas makanan serta keamanan pengguna — sebuah inovasi yang terus bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari hingga kini.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR