Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda membayangkan melihat hewan-hewan purba yang hidup puluhan ribu tahun yang lalu? Misalnya mamut berbulu.
Lewat rekayasa genetik, para ilmuwan sukses “membangkitkan” serigara dire (dire wolf) dari kepunahan. Menurut ilmuwan yang bergerak di bidang de-extinction, mamut berbulu, burung dodo, dan harimau tasmania dapat segera hidup kembali di planet ini.
De-extinction dimulai dari sampel DNA dari spesies yang telah punah. Terkadang ini adalah genom lengkap.
Di lain waktu, ilmuwan dapat menyatukan gen dari spesies yang telah punah ke genom hewan hidup yang masih berkerabat dekat. Kemudian, selanjutnya adalah proses nuclear transfer.
Peneliti menanamkan urutan ini ke dalam sel telur yang diambil dari spesies hidup yang berkerabat sama. Hewan yang dihasilkan secara genetik mirip dengan hewan yang telah punah.
Para ilmuwan telah "menghidupkan kembali" setidaknya tiga spesies yang telah punah. Pada tahun 2003, para peneliti di Spanyol melakukan nuclear transfer untuk subspesies Pyrenean ibex yang disebut bucardo (Capra pyrenaica pyrenaica). Spesies ini punah pada tahun 2000. Seekor bayi bucardo lahir, tetapi mati beberapa menit kemudian karena cacat paru-paru.
Pada tahun 2013, tim ilmuwan lain menciptakan embrio katak lambung selatan (Rheobatrachus silus) melalui nuclear transfer. Katak lambung selatan adalah katak air endemik Australia yang melahirkan melalui mulut mereka.
Katak lambung punah pada tahun 1980-an karena penyebaran penyakit jamur. Nuclear transfer berhasil menciptakan sel-sel katak lambung yang membelah dan bereplikasi. Namun tidak ada embrio yang berkembang menjadi kecebong, yang mengakhiri percobaan tersebut.
Ilmu de-extinction telah berkembang sejak saat itu. Pada bulan April 2025, para ilmuwan mengumumkan kelahiran tiga anak serigala dire berkat rekayasa genetika. Serigala dire (Aenocyon dirus) hidup selama zaman es terakhir (2,6 juta hingga 11.700 tahun lalu) dan punah lebih dari 10.000 tahun lalu.
Dengan teknologi dan penelitian yang terus berkembang, beberapa ilmuwan mengeklaim bahwa spesies ikonik seperti mamut berbulu dapat dihidupkan kembali dalam satu dekade.
Baik atau buruk, berikut adalah enam hewan punah yang sedang dipertimbangkan para ilmuwan untuk dihidupkan kembali.
Baca Juga: Serigala Purba yang Sudah Punah Lahir Kembali Lewat Rekayasa Genetik
1. Harimau tasmania atau thylacine
Harimau tasmania, atau thylacine (Thylacinus cynocephalus), adalah marsupial karnivora yang mirip serigala. Hewan ini memiliki garis-garis di punggung bawahnya. Dahulu, harimau tasmania berkembang biak di seluruh wilayah yang sekarang disebut Australia.
Spesies ini menghilang dari daratan utama antara 3.000 dan 2.000 tahun yang lalu, tetapi populasinya tetap ada di Pulau Tasmania. Pada akhir abad ke-19, para pemukim Eropa pertama di Tasmania memperkenalkan “hadiah besar” untuk harimau tasmania.
Harimau ini dianggap oleh banyak orang sebagai predator ternak yang rakus. Pembunuhan berikutnya menyebabkan harimau tasmania punah, dengan hewan terakhir mati di kebun binatang pada tahun 1936.
“Harimau tasmania merupakan kandidat yang baik untuk pemulihan kepunahan karena ada banyak spesimen utuh untuk diambil DNA-nya,” ujar Andrew Pask. Pask adalah seorang profesor genetika dan biologi perkembangan di Universitas Melbourne.
“Setiap museum besar menginginkan satu harimau tasmania dalam koleksi mereka, jadi ada ratusan sampel di seluruh dunia. Dan beberapa di antaranya terawetkan dengan sangat baik,” kata Pask.
Namun, DNA tersebut sangat terfragmentasi, yang berarti banyak penyuntingan diperlukan untuk mendapatkan urutan fungsional. Pask dan rekan-rekannya mengurutkan genom harimau tasmania lengkap pada tahun 2017.
Pada tahun 2023, para peneliti mengekstrak RNA dari harimau tasmania. Namun, masih banyak tantangan yang harus diatasi sebelum bayi harimau tasmania lahir, kata Park.
2. Mamut berbulu
Mamut berbulu (Mammuthus primigenius) hidup antara 300.000 dan 10.000 tahun lalu, selama zaman es terakhir. Populasi spesies ini kecil dan terisolasi, tetapi hewan ini mampu bertahan hidup di Pulau Wrangel hingga sekitar 4.000 tahun lalu.
Populasi utama menjelajahi tundra yang membentang di seluruh Asia, Eropa, dan Amerika Utara saat ini. Perubahan iklim di akhir zaman es, perburuan manusia dan berkurangnya keragaman genetik dalam populasi mungkin menyebabkan kepunahan mamut berbulu.
Permafrost di Arktik telah mengawetkan bangkai mamut berbulu dan bahkan struktur 3D genom mereka. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk mengekstraksi DNA yang terpelihara dengan baik. Ilmuwan juga dapat menyusun urutan genetik yang menyerupai hewan aslinya.
Pada akhirnya, hal itu memungkinkan peneliti untuk melakukan nuclear transfer dengan sel telur gajah modern. Semua proses tersebut mungkin akan menghasilkan spesies yang mirip dengan mamut berbulu.
Terobosan baru-baru ini menunjukkan bahwa pemulihan kepunahan mamut berbulu semakin dekat. Colossal Biosciences mengeklaim akan menghasilkan anak “mamut” pertamanya pada tahun 2028.
Pada bulan Maret 2025, Colossal meluncurkan “tikus berbulu”. Tikus tersebut hasil rekayasa genetik dan memiliki bulu tebal berwarna cokelat keemasan. Bulu tebal itu terinspirasi oleh mamut berbulu.
Untuk menciptakan tikus itu, para ilmuwan mengidentifikasi enam gen pada tikus yang mengendalikan tekstur, panjang, dan warna rambut. Dalam beberapa kasus, para peneliti hanya “mematikan” gen-gen ini. Dalam kasus lain, mereka menyalin dan menempelkan mutasi yang ada pada mamut berbulu ke dalam genom tikus.
Tikus berbulu adalah “bukti konsep” bagi Colossal bahwa mereka dapat membuat beberapa modifikasi yang ditargetkan pada genom hewan sekaligus. Juga memperkenalkan karakteristik seperti mamut ke spesies lain.
Namun, lompatan dari tikus berbulu ke “gajah berbulu” sangat besar. Artinya, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum perusahaan dapat “menghidupkan kembali” mamut berbulu.
3. Aurochs
Aurochs (Bos primigenius) adalah nenek moyang liar semua sapi modern, termasuk sapi domestik (Bos taurus).
Aurochs adalah hewan bertanduk raksasa yang jangkauannya meluas. Dari Afrika Utara, Asia, dan hampir seluruh Eropa selama ribuan tahun. Spesies ini memiliki fosil paling awal yang diketahui berasal dari sekitar 700.000 tahun yang lalu.
Aurochs adalah mamalia darat terbesar yang tersisa di Eropa setelah zaman es terakhir berakhir. Ironisnya, manusia menjadi penyebab kepunahannya, melalui perburuan berlebihan dan perusakan habitat. Aurochs terakhir yang diketahui mati pada tahun 1627 di Hutan Jaktorów, Polandia.
Upaya yang sedang berlangsung untuk “menghidupkan kembali” auroch berbeda dari upaya untuk spesies punah lainnya. Pasalnya, spesies ini tidak memerlukan rekayasa genetika. Sebagian besar DNA auroch hidup dalam ras sapi modern. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencoba metode alternatif yang disebut perkawinan silang.
Perkawinan silang melibatkan pemilihan dan pembiakan sapi yang memiliki ciri fisik dan perilaku yang menyerupai auroch. “Salah satunya adalah ras sapi Eropa Selatan yang dipelihara dalam kondisi yang relatif liar,” ungkap Ronald Goderie, ahli ekologi dan direktur Yayasan Taurus. Yayasan tersebut mengawasi proyek auroch.
Proyek tersebut berpusat di Belanda dan telah menghasilkan lebih dari enam generasi sapi. Mereka “hampir” menghasilkan sapi yang mirip aurochs.
4. Quagga
Quagga (Equus quagga quagga) adalah subspesies zebra dataran (Equus quagga) yang telah punah. Mereka adalah spesies zebra yang paling banyak tersebar.
Quagga merupakan hewan endemik Afrika Selatan. Spesies ini memiliki lebih sedikit belang di bagian belakang tubuhnya dibandingkan zebra lainnya. Mereka menjadi incaran para pemburu karena bulunya yang tidak biasa. Para petani juga memburunya karena ingin menggembalakan ternak tanpa persaingan dari hewan lain.
Penganiayaan yang tak henti-hentinya pada abad ke-19 membuat quagga punah di alam liar. Quagga terakhir yang dipelihara mati pada tahun 1883. Hanya tujuh kerangka quagga yang masih ada, menjadikannya kerangka paling langka di dunia, menurut University College London (UCL).
Seperti halnya pengembangbiakan aurochs, upaya untuk menghidupkan kembali quagga tidak melibatkan rekayasa genetika. Sejak tahun 1987, The Quagga Project di Afrika Selatan telah secara selektif mengembangbiakkan zebra dataran. Hewan itu memiliki garis-garis yang lebih sedikit dari biasanya. Tujuannya adalah untuk mengambil setidaknya gen yang bertanggung jawab atas pola garis-garis khas quagga.
Namun, proyek tersebut kontroversial. Para kritikus berpendapat bahwa hewan yang dihasilkan akan tetap menjadi zebra dataran. Mereka berpendapat bahwa semua dana akan lebih baik digunakan untuk proyek konservasi lainnya.
Sebaliknya, mungkin saja untuk melakukan kloning dengan mengekstraksi DNA dari sumsum tulang kerangka atau dari spesimen taksidermi. Lalu kemudian menyuntikkannya ke dalam sel telur zebra.
5. Dodo
Burung dodo (Raphus cucullatus) adalah burung besar yang tidak bisa terbang. Spesies ini merupakan hewan endemik di Mauritius. Burung dodo punah pada abad ke-17 sebagai akibat langsung dari penjajahan Eropa. Dodo menjadi lambang kepunahan yang disebabkan oleh manusia.
Para penjajah tiba di Mauritius pada tahun 1598, membawa serta berbagai spesies non-asli. Termasuk tikus, kucing, dan bahkan monyet. Hewan-hewan yang dibawa itu menjarah sarang telur dan anak burung dodo.
Pada akhirnya, berbagai spesies asing tersebut mengurangi jumlah burung di pulau itu hingga ke tingkat kritis hanya dalam beberapa dekade. Bersama dengan penggundulan hutan dan perburuan dodo oleh manusia, pemangsaan oleh spesies asing invasif pada akhirnya menyebabkan spesies tersebut punah pada tahun 1681.
Saat ini, DNA dodo bertahan dalam spesimen museum sejarah alam. Pada tahun 2022, ilmuwan menyusun genom dodo pertama. Mereka menggunakan spesimen yang diawetkan secara luar biasa yang disimpan dalam sebuah koleksi di Denmark.
Namun, masih ada beberapa rintangan sebelum spesies tersebut dapat dihidupkan kembali. “Misalnya kebutuhan untuk merekayasa keragaman genetik ke dalam urutan DNA dodo sehingga tidak berakhir dengan populasi klon,” ujar Ben Lamm, CEO Colossal Biosciences.
Di sisi positifnya, kata Lamm, jauh lebih cepat dan mudah untuk membawa dodo kembali daripada mamut berbulu atau harimau Tasmania. Pasalnya, DNA burung itu terkandung sendiri dalam telur.
6. Merpati penumpang (passanger pigeon)
Merpati penumpang (Ectopistes migratorius) pernah menjadi spesies burung yang paling melimpah di Amerika Utara. Jumlahnya antara 25% dan 40% dari total populasi burung di wilayah yang sekarang menjadi Amerika Serikat sebelum abad ke-17.
Pemukim Eropa memburu merpati untuk diambil dagingnya. Mereka secara bertahap menghancurkan habitat burung tersebut, yang akhirnya menyebabkan kepunahan spesies ini.
Merpati penumpang bepergian dalam kawanan besar dan berkembang biak secara komunal. Hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap perburuan, menurut Audubon Society.
Merpati penumpang terakhir yang diketahui, seekor betina bernama Martha untuk menghormati Martha Washington, mati pada tahun 1914.
Museum menyimpan lusinan spesimen merpati penumpang yang diawetkan. DNA-nya telah diekstraksi dan diurutkan oleh para ilmuwan. Namun, DNA tersebut sangat terfragmentasi. Hal ini membuat para peneliti tidak mungkin membawa kembali merpati penumpang dalam bentuk aslinya.
Perusahaan bioteknologi Revive & Restore berencana untuk memasukkan potongan DNA merpati penumpang ke dalam genom merpati ekor pita (Patagioenas fasciata). Tindakan tersebut akan menghasilkan burung yang tampak seperti spesies yang telah punah.
Perusahaan tersebut bermaksud untuk menetaskan generasi pertama merpati pada 2025 dan segera memulai uji coba pelepasan ke alam liar setelahnya. Jika berhasil, proyek tersebut akan menunjukkan potensi intervensi genomik. Juga membantu memulihkan ekologi hutan timur Amerika Utara.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR