Pada masa perang kemerdekaan, Indonesia membutuhkan dokter, baik untuk merawat dan mengobati pejuang yang terluka maupun untuk melayani masyarakat. Atas alasan itulah masyarakat senantiasa memandang dokter sebagai profesi yang mulia, terhormat, dan tercerahkan.
Tokoh antagonis utama dalam drama ini adalah Dokter Kambudja. Sosoknya mewakili kaum intelektual muda dalam pendidikan yang rasionalistik ala Belanda. Asalnya dari keluarga berada, sehingga mampu mengantarkannya lulus dari Sekolah Tabib Tinggi—atau Geneeskundige Hooge School (GHS).
Dokter Kambudja digambarkan sebagai seseorang yang perangainya kebarat-baratan, sosok yang kehilangan jatidirinya sebagai orang Indonesia. Pun, sebagai lulusan Sekolah Tabib Tinggi, ia merasa lebih mulia dari orang lain, angkuh, dan menganggap rendah bawahannya. Di rumah sakit darurat ini ia bertugas sebagai asisten Dokter Sardjono.
Dokter Sardjono adalah tokoh protagonis dalam drama ini, seorang ahli bedah dan pemimpin rumah sakit darurat. Dia digambarkan berperangai tenang dan bertanggung jawab atas keselamatan pasiennya. Pengamatan sekilas perihal si asisten bernama Kambudja, Sardjono berkata, "Sayang sedikit, kadang-kadang aksi kebarat-baratan masih tampak padanya. Tapi tak apa itu pembawaan usia muda."
Perang kemerdekaan tak kunjung padam. Dokter Kambudja jatuh hati kepada seorang gadis, namanya Setiawati. Gadis ini bertugas sebagai perawat di Palang Merah Indonesia. Namun sejatinya Setiawati telah memiliki pujaan lain yakni Santoso, opsir muda yang gagah. Belakangan, si dokter menyimpan dendam kepada si opsir muda atas cinta yang tak kesampaian itu.
Suatu ketika Santoso hampir tewas karena ledakan granat saat lari meninggalkan posnya yang diserang Belanda. Kemudian, dia kehilangan banyak darah segera mendapat perawatan di rumah sakit darurat.
Sejatinya, golongan darah Dokter Kambudja memiliki kesamaan dengan golongan darah Santoso. Namun, atas kebencian kepada si pasien, Kambudja justru mengatakan bahwa golongan darahnya berbeda. Alih-alih mencari golongan darah yang dibutuhkan pasien, Kambudja justru mencari golongan darah yang berbeda untuk ditransfusikan kepada Santoso.
Aksi jahatnya telah terendus Gunawan, seorang juru rawat. "Tuan berbuat curang. Tuan tahu bahwa darah Santoso masuk golongan B. Tuan katakan pada Dokter Sardjono bahwa darah Santoso itu darah A [...]," kata Gunawan. "Rahasia Tuan saya genggam! Teranglah bagi saya bahwa Tuan mencoba membunuh Santoso! Tuan berdosa besar!"
Dokter Kambudja mengambil keputusan tragis dan tak berperikemanusiaan: ia menghilangkan nyawa Santoso, pasien yang seharusnya ia sembuhkan. Semua itu dilakukannya demi mengejar gadis yang ia dambakan, Setiawati.
"Selama Santoso masih ada di dunia ini , selama itu Satiawati tak akan melihat kepadaku...," kata Kambudja. "Santoso! Aku benci namamu, lenyaplah dari bumi ini!
Kemudian, dia menusukkan alat injeksi ke dalam dada prajurit itu. Santoso bergerak kesakitan tanpa bersuara, kemudian lemas. Beberapa detik, selesailah perbuatan jahat itu. Sang dokter melarikan diri, kemudian bekerja di rumah sakit militer di pihak Belanda.
Baca Juga: Heroisme Achmad Mochtar, Dokter Berjasa yang Dipenggal Jepang
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR