Nationalgeographic.co.id—"Ketika seorang dokter melakukan kesalahan, dialah penjahat pertama. Dia punya keberanian dan pengetahuan," kata Sherlock Holmes dalam The Adventure of the Speckled Band karya Sir Arthur Conan.
Dokter adalah sebuah profesi kuno yang pernah menjadi cita-cita hampir semua anak-anak di penjuru dunia. Di negara sedang berkembang, seperti negeri kita, masyarakatnya memandang dokter sebagai salah satu profesi terhormat. Selain sebagai sosok di balik misi penyelamat nyawa, para dokter juga dianggap manusia-manusia yang tercerahkan dan berani mengambil keputusan saat kritis.
Jalan hidup sebagai dokter tidak hanya menjadi simbol pencapaian pendidikan tinggi, tetapi juga dipandang salah satu karier yang menjanjikan kesejahteraan ekonomi. Pandangan ini lazim sejak kita masih bagian dari negeri koloni, bahkan sampai hari ini. Singkat kata, dokter adalah kelas sosial bergengsi.
Sederet kisah tentang dokter dan tenaga medis lainnya telah digubah oleh para sastrawan penjuru dunia. Namun, kisah tentang dokter-dokter jahat tampak lebih menggugah minat insani untuk membacanya. Karya sastra bertema kejahatan dokter terbukti mengusik sisi kemanusiaan.
Kejahatan dokter bukanlah kejahatan biasa. Kita seolah tidak terima ketika dokter yang seharusnya mewakili sosok manusia tercerahkan justru berubah menjadi dalang kejahatan. Kontradiksi inilah yang merangsang rasa penasaran pembaca untuk menyelami konflik dalam karakter dokter.
Sejatinya, kisah dokter-dokter jahat ini merupakan cermin bagi dilema moral dan etika dalam profesi dokter. Situasi yang mengajak kita berada pada batas tipis antara kejahatan dan kemuliaan. Kisah genre ini membangkitkan kesadaran kita akan rapuhnya nilai moral dalam tatanan dunia yang kabarnya semakin budiman.
Boleh jadi, kemunculan kisah fiksi bertema dokter-dokter jahat merupakan cerminan betapa peradaban kita begitu khawatir akan penyalahgunaan kepercayaan publik. Singkat kata, sastra telah mendorong sebuah refleksi mendalam terhadap kondisi dokter dan pelayanan kesehatan yang sepatutnya bertujuan demi kebaikan bersama.
"Fiksi itu mengajak kita masuk ke satu possible world, dunia yang mungkin, yang tidak ada di sini," kata Karlina Leksono Supeli, filsuf dan astronom perempuan pertama dari Indonesia. "Sehingga imajinasi itu bisa begitu liar mengembara. Dan, ketika masuk kembali ke dunia nyata, imajinasi ini membantu kita untuk memahami dunia yang begitu karut-marut."
Dokter berkepribadian ganda dalam The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde, terbit 1886
Novel klasik ini merupakan karya Robert Louis Stevenson (1850-1894). Karyanya yang berjudul Treasure Island, yang terbit pada 1883, telah menginspirasi kisah-kisah bajak laut dalam imaji anak-anak, sastra, teater, dan sinema.
Baca Juga: Kepercayaan Dikoyak, Kala Polah Dokter di Bandung Khianati Sumpah Hippocrates nan Mulia
The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde berkisah tentang seorang dokter yang terkenal karena dia bijak dan berempati terhadap sesama. Gara-gara eksperimen untuk memisahkan sisi baik dan jahat dalam dirinya, si dokter justru memunculkan sosok penjahat. "Saya telah kehilangan kepercayaan pada diri saya sendiri," kata Dokter Henry Jekyll.
Jekyll meracik ramuan untuk memisahkan dua sisi kepribadian dalam dirinya—baik dan jahat. Namun, setelah meneggak ramuan itu, dia justru berubah menjadi Tuan Edward Hyde, sosok yang sepenuhnya amoral dan kejam.
"Seluruh manusia, sebagaimana yang kita temui, adalah campuran antara kebaikan dan kejahatan; dan Edward Hyde, sendirian di antara umat manusia, adalah kejahatan murni," ungkap Dokter Jekyll.
Celakanya, sejak kehadiran Tuan Hyde, lingkungan sosial London justru menjadi kacau balau dalam sekejap. Dia melakukan serangkaian tindakan kejahatan tanpa belas kasihan. Sisi gelap Dokter Jekyll ini semakin menciptakan jurang antara kebaikan dan keburukan dalam satu tubuh.
Tidak ada batas lagi antara kehidupan dua pribadi itu. Jekyll mulai kesulitan mengendalikan dirinya, sementara kehadiran Hyde kian mendominasi. Akhirnya, Jekyll menyadari bahwa eksperimen yang ia ciptakan telah mengubah hidupnya.
Kisah ini meninggalkan pesan tentang betapa rapuhnya batas antara moralitas dan kemunafikan, serta bahaya ambisi untuk mengontrol sifat manusia yang tak terpisahkan.
"Saya belajar untuk mengenali dualitas manusia yang menyeluruh dan primitif; aku menyadari bahwa, di antara kedua sifat yang bersaing dalam ranah kesadaranku, meskipun aku dapat dengan tepat dikatakan sebagai salah satunya, itu hanyalah karena aku secara radikal merupakan keduanya," kata Jekyll.
Rela membunuh pasien akibat kasih tak sampai dalam Dokter Kambudja, 1952
Karya sastra ini merupakah naskah drama gubahan Trisno Sumardjo (1916-1969). Dia dikenal sebagai sastrawan, pelukis, penerjemah, dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama. Sebagai penerjemah, ia gemar menerjemahkan sandiwara-sandiwara mancanegara, seperti Hamlet, Pangeran Denmark dan drama sohor Romeo dan Julia karya William Shakespeare.
Drama Dokter Kambudja terdiri atas empat babak dan terbagi dalam 29 adegan. Latar waktu peristiwanya adalah masa awal kemerdekaan Indonesia, sedangkan latar utama adalah ruang perawatan sebuah rumah sakit darurat di medan perang.
Baca Juga: Achmad Nawir: Dokter yang Berlaga di Piala Dunia Prancis 1938
Pada masa perang kemerdekaan, Indonesia membutuhkan dokter, baik untuk merawat dan mengobati pejuang yang terluka maupun untuk melayani masyarakat. Atas alasan itulah masyarakat senantiasa memandang dokter sebagai profesi yang mulia, terhormat, dan tercerahkan.
Tokoh antagonis utama dalam drama ini adalah Dokter Kambudja. Sosoknya mewakili kaum intelektual muda dalam pendidikan yang rasionalistik ala Belanda. Asalnya dari keluarga berada, sehingga mampu mengantarkannya lulus dari Sekolah Tabib Tinggi—atau Geneeskundige Hooge School (GHS).
Dokter Kambudja digambarkan sebagai seseorang yang perangainya kebarat-baratan, sosok yang kehilangan jatidirinya sebagai orang Indonesia. Pun, sebagai lulusan Sekolah Tabib Tinggi, ia merasa lebih mulia dari orang lain, angkuh, dan menganggap rendah bawahannya. Di rumah sakit darurat ini ia bertugas sebagai asisten Dokter Sardjono.
Dokter Sardjono adalah tokoh protagonis dalam drama ini, seorang ahli bedah dan pemimpin rumah sakit darurat. Dia digambarkan berperangai tenang dan bertanggung jawab atas keselamatan pasiennya. Pengamatan sekilas perihal si asisten bernama Kambudja, Sardjono berkata, "Sayang sedikit, kadang-kadang aksi kebarat-baratan masih tampak padanya. Tapi tak apa itu pembawaan usia muda."
Perang kemerdekaan tak kunjung padam. Dokter Kambudja jatuh hati kepada seorang gadis, namanya Setiawati. Gadis ini bertugas sebagai perawat di Palang Merah Indonesia. Namun sejatinya Setiawati telah memiliki pujaan lain yakni Santoso, opsir muda yang gagah. Belakangan, si dokter menyimpan dendam kepada si opsir muda atas cinta yang tak kesampaian itu.
Suatu ketika Santoso hampir tewas karena ledakan granat saat lari meninggalkan posnya yang diserang Belanda. Kemudian, dia kehilangan banyak darah segera mendapat perawatan di rumah sakit darurat.
Sejatinya, golongan darah Dokter Kambudja memiliki kesamaan dengan golongan darah Santoso. Namun, atas kebencian kepada si pasien, Kambudja justru mengatakan bahwa golongan darahnya berbeda. Alih-alih mencari golongan darah yang dibutuhkan pasien, Kambudja justru mencari golongan darah yang berbeda untuk ditransfusikan kepada Santoso.
Aksi jahatnya telah terendus Gunawan, seorang juru rawat. "Tuan berbuat curang. Tuan tahu bahwa darah Santoso masuk golongan B. Tuan katakan pada Dokter Sardjono bahwa darah Santoso itu darah A [...]," kata Gunawan. "Rahasia Tuan saya genggam! Teranglah bagi saya bahwa Tuan mencoba membunuh Santoso! Tuan berdosa besar!"
Dokter Kambudja mengambil keputusan tragis dan tak berperikemanusiaan: ia menghilangkan nyawa Santoso, pasien yang seharusnya ia sembuhkan. Semua itu dilakukannya demi mengejar gadis yang ia dambakan, Setiawati.
"Selama Santoso masih ada di dunia ini , selama itu Satiawati tak akan melihat kepadaku...," kata Kambudja. "Santoso! Aku benci namamu, lenyaplah dari bumi ini!
Kemudian, dia menusukkan alat injeksi ke dalam dada prajurit itu. Santoso bergerak kesakitan tanpa bersuara, kemudian lemas. Beberapa detik, selesailah perbuatan jahat itu. Sang dokter melarikan diri, kemudian bekerja di rumah sakit militer di pihak Belanda.
Baca Juga: Heroisme Achmad Mochtar, Dokter Berjasa yang Dipenggal Jepang
Adegan pada babak terakhir, Satiawati melangkah ke arah Kambudja, sembari berkata, "Ya, tiap-tiap perintang revolusi dia harus pergi! Apalagi kau, yang sudah terbukti membunuh seorang pahlawan seperti Santoso. Kau harus mati! ... Ayo, serukanlah: Merdeka!"
Akhir cerita, Dokter Kambudja tewas di tangan gadis pujaannya sendiri. Kejahatannya bukan sekadar pelanggaran terhadap hukum, tetapi juga pengkhianatan kode etik yang menjadi fondasi kedokteran.
Moral cerita dari drama karya Sumardjo ini relevan sampai hari ini. Dia mengkritik penyalahgunaan kekuasaan dan ambisi pribadi. Kedua perkara itu bisa mengotori nilai-nilai luhur dalam profesi medis. Kemuliaan sebagai manusia tidak ditentukan oleh pencapaian pendidikan, melainkan pencapaian akhlak. Kita sepatutnya berterima kasih kepada dokter-dokter yang senantiasa memuliakan kemanusiaan, bukan yang mengorbankan pasien demi keinginan pribadinya.
Kejahatan berjamaah di rumah sakit dalam Coma, terbit 1977
Karya sastra ini merupakan gubahan penulis asal Amerika Serikat, Robert Brian Cook—atau bekennya Robin Cook. Sang sastrawan ini sohor sebagai seorang dokter dan penulis novel mencekam bergenre medis. Setahun setelah novel ini terbit, sebuah film yang menampilkan kisah dan judul yang sama dirilis di Amerika Serikat.
Coma mengeksplorasi praktik ilegal dalam dunia medis. Sekelompok dokter dan pihak rumah sakit terlibat sebagai dalang kejahatan. Mereka secara sistematis mengambil organ dalam secara paksa. Bahkan, mereka melakukan rekayasa medis tanpa meminta persetujuan pasien. Ada upaya investigasi dengan dilema etis. Cook ingin menunjukkan betapa kepercayaan terhadap institusi medis bisa disalahgunakan untuk tujuan jahat.
Sekonyong-konyong Boston General Hospital berubah menjadi kacau. Sejumlah pasien yang melewati tindakan operasi itu berada dalam kondisi koma. Mereka mengalami keadaan tidak sadar yang berkepanjangan.
"Salah satu fakta yang paling mengherankan, hanya lima puluh persen dari kasus itu yang pernah didiagnosis. Saya merasa itu luar biasa; bukankah kamu setuju? Artinya, lima puluh persen dari kasus itu tidak pernah didiagnosis. Para pasien itu begitu saja masuk ke ruang gawat darurat dalam keadaan koma dan meninggal. Begitu saja," kata Susan.
Para tenaga medis pun mencium teka-teki. Pada awalnya mereka kira kejadian koma itu merupakan komplikasi medis yang lumrah. Namun, mereka menemukan pola yang tidak lumrah. Keanehan ini memicu penyelidikan, apakah ada tim medis yang memiliki agenda tersembunyi.
Tokoh utamanya adalah Dokter Susan Wheeler. Seorang tenaga medis muda yang melihat kejanggalan dalam kasus-kasus pasien koma. Kendati demikian, rekan-rekan sejawatnya memandang Susan terlalu berlebihan dalam melihat kasus ini.
Baca Juga: Kuak Pendidikan Sekolah Dokter Djawa di Hari Kebangkitan Nasional
Susan menggali data medis, menelusuri rekam medis, dan mewawancarai rekan-rekannya. Kasus-kasus itu tampaknya memiliki pola, sehingga dia tiba pada kesimpulan bahwa ada tindakan yang disengaja sehingga pasien-pasien itu menjadi korban.
"Demi Tuhan, Susan, kau sudah terobsesi dengan hal ini. Kau bekerja lembur dan mulai mengalami delusi," kata Bellow, rekan sejawatnya, yang pura-pura prihatin.
"Ketika seseorang meninggal, maka Anda melakukan otopsi dan mencari tahu apa penyebab kematian itu supaya Anda bisa lebih memahami," ujar Susan. "Nah, dalam kasus koma, Anda tidak dapat melakukan otopsi karena pasien berada di antara hidup dan mati." Bahkan, dia menemukan indikasi adanya konspirasi internal yang melibatkan beberapa dokter dan pejabat rumah sakit. Tampaknya, mereka rela melakukan segala cara demi keuntungan pribadi.
Akhirnya Susan menemukan sebuah kejahatan sistematis di balik rumah sakit tempatnya bekerja. Ada perdagangan organ vital para pasien yang dilakukan oleh para dokter. Jadi, mereka memang sengaja membuat pasien-pasien itu koma sehingga memudahkan mereka mengambil organ-organ vitalnya. Temuan ini membuka tirai kejahatan sistematis.
Susan membuka tabir para penjahat. Dia mengumpulkan bukti-bukti yang memandunya pada siapa saja pihak-pihak yang terlibat. Tindakan Susan terhitung berbahaya dan bukannya tanpa perlawanan balik. Atas nama kemanusiaan, penyelidikan Susan membuahkan hasil.
Karya sastra ini menginspirasi kita untuk mewaspadai kekuasaan yang korup, sekaligus mengingatkan bahwa kejujuran dan etika dalam dunia medis merupakan perkara utama.
Tirai kekejaman dokter bedah dalam The Surgeon, terbit 1996
Sebuah novel penuh ketegangan berlatar medis yang menggabungkan unsur-unsur kriminal dengan intrik dunia kedokteran. Identitas dokter jahat yang menjadi antagonis utama sengaja diselimuti misteri sepanjang novel. Tess Gerritsen, sang sastrawan, mengajak pembaca untuk bertumpu pada metode keji dan kecerdasan klinisnya daripada nama pribadinya.
Cerita dimulai dengan serangkaian pembunuhan mengerikan. Para korban ditemukan dengan bekas operasi yang mencurigakan dengan metode pembunuhan dengan sayatan bedah yang presisi dan menata letak korban. Penegak hukum pun menengarai bahwa kasus-kasus ini tampaknya didalangi oleh tenaga medis yang memiliki keterampilan.
Seiring berjalannya penyelidikan, para detektif mengungkap sosok di balik kekejaman ini. Mereka menduga pelakunya adalah seorang dokter berkredibilitas, yang menyamar rapi di tengah masyarakat.
Baca Juga: Histori Kampus NIAS Jadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Di balik jas putih dan sikap tenangnya, tersembunyi seorang individu dengan sisi gelap. Sang dokter begitu terobsesi dengan kekejaman. Metodenya yang terstruktur dan detail dalam praktik keji menjadi ciri khasnya. Gerritsen membawa kita pada pertanyaan, bagaimana keahlian kedokteran bisa disalahgunakan untuk tujuan kriminal?
Para penegak hukum—ahli forensik dan detektif—menyelesik dan mengurai teka-teki di balik rangkaian pembunuhan ini. Mereka menggali jejak yang ditinggalkan pelaku melalui data rekam medis, jejak digital, dan menganalisis polanya. Keterlibatan unsur dunia medis membuat investigasi ini menjadi semakin kompleks. Batas antara prosedur klinis yang sah dan penyimpangan etika kian kabur.
"Persis seperti yang kupelajari. Kejahatan tampak begitu lazim," kata Dokter Catherine Cordell, tokoh yang menyelidiki kasus pembunuhan berantai. Penuturannya seolah menunjukkan ketidakmampuan kita dalam membaca penjahat yang tersamar dalam sosok biasa, tetapi bisa memiliki petaka.
The Surgeon mengisahkan para penegak hukum yang berupaya mengungkap kasus kejahatan, sekaligus sosok sang dokter pembunuh yang misterius. Paranoia, rasa takut, dan kebingungan moral membalut setiap babak, menciptakan atmosfer yang mencekam.
"Kita tidak pernah tahu sampai binatang buas kesempatan menatap kita di muka," kata detektif Jane Rizzoli.
Pada akhirnya, para penegak hukum bersinggungan juga dengan sang dokter misterius itu. Identitas sang dokter mulai terungkap. Pemecahan kasus ini tidak hanya memberikan aspek keadilan bagi para korban, tetapi juga buah pikiran mendalam tentang betapa bahayanya hasrat atau ambisi liar dalam dunia medis.
The Surgeon menekankan, betapapun mulia sebuah profesi, sosok di baliknya bisa melakukan penyimpangan bila tidak ada kontrol moral. Kejadian-kejadian dalam karya sastra ini mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap seorang yang ahli dan berkompeten dibidangnya harus selalu didasari pada kejujuran dan tanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Dokter Catherine Cordell seolah mengingatkan kepada kita. "Kejahatan tidak pernah mati. Kejahatan tak pernah menghilang. Kejahatan hanya mengenakan wajah baru, nama baru," ujarnya. "Hanya karena kita pernah tersentuh olehnya sekali, bukan berarti kita kebal untuk sekali lagi terluka. Petir bisa menyambar dua kali."
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Simak ragam ulasan jurnalistik tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan pengetahuan yang mendalam!
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR