Nationalgeographic.co.id—Kendati sejarah maritim mencatat berbagai insiden kapal karam yang merenggut nyawa dan meninggalkan duka mendalam, kisah mengenai RMS Titanic memiliki resonansi yang unik dan abadi dalam benak masyarakat dunia.
Lebih dari seabad setelah tragedi di Samudra Atlantik Utara itu, cerita tentang kemewahan kapal yang diklaim tak mungkin tenggelam, tabrakan fatal dengan gunung es, dan perjuangan dramatis para penumpangnya terus diceritakan dan diinterpretasikan ulang melalui berbagai medium, mulai dari buku dan film dokumenter hingga adaptasi fiksi yang memukau.
Lantas, di tengah banyaknya catatan kelam dalam sejarah pelayaran, faktor-faktor spesifik apa saja yang menjadikan narasi Titanic begitu kuat mencengkeram imajinasi publik lintas generasi?
Apakah kombinasi antara kemegahan dan kehancuran, kisah cinta tragis di tengah malapetaka, ataukah pelajaran tentang kesombongan dan keterbatasan manusia yang terus membuat kita terpukau oleh tragedi ini?
Dimulai dari Reruntuhan di Dasar Samudra
Ketertarikan publik terhadap Titanic mulai memuncak setelah penemuan reruntuhan kapal pada 1 September 1985 di dasar samudra, serta insiden tragis pada Juni 2023 lalu ketika sebuah kapal selam wisata meledak saat menuju lokasi bangkai kapal tersebut.
Peristiwa-peristiwa ini menyoroti tidak hanya sejarah kelam Titanic, tetapi juga industri pariwisata bawah laut yang berisiko tinggi dan eksklusif yang muncul di sekitarnya.
Selama beberapa dekade terakhir, ekspedisi ke situs Titanic telah dilakukan untuk berbagai tujuan, mulai dari mengumpulkan artefak, mempelajari proses peluruhan kapal, hingga sekadar menyaksikan langsung sisa-sisa legenda yang telah menginspirasi begitu banyak karya seni dan hiburan.
Menurut Robert Thompson, pendiri dan direktur Bleier Center for Television and Popular Culture di Syracuse University, Titanic telah tertanam kuat dalam budaya populer sejak malam tenggelamnya. Ia mencatat bahwa film bisu pertama tentang bencana ini dirilis hanya sebulan setelah kejadian, meskipun kini karya tersebut telah hilang.
Thompson dengan cepat menyebutkan beberapa karya terkenal lainnya yang merujuk pada Titanic, termasuk drama "Cavalcade" karya Noel Coward tahun 1931 (yang diadaptasi menjadi film peraih Oscar tahun 1933), buku non-fiksi "A Night to Remember" karya Walter Lord tahun 1955 (yang kemudian menjadi drama televisi langsung pada 1956 dan film dokumenter dua tahun kemudian), musikal "The Unsinkable Molly Brown" tahun 1960 (dan filmnya tahun 1964), novel "Raise the Titanic!" karya Clive Cussler tahun 1976 (dan filmnya tahun 1980), film dokumenter IMAX "Titanica" tahun 1992, serta film pemenang Oscar James Cameron tahun 1997, "Titanic."
Thompson, seperti dilansir ABC News, berpendapat bahwa kisah ini terus diceritakan kembali di setiap dekade karena berbagai elemen dramatis di dalamnya: penumpang kelas atas, kecepatan kapal yang luar biasa pada masanya, tingginya jumlah korban jiwa, dan klaim yang salah bahwa kapal itu "tidak dapat tenggelam."
Baca Juga: Mengapa di dalam Kapal Titanic Tidak Pernah Ditemukan Jasad Manusia?
Ia menambahkan, "Jika seseorang bertanya kepada orang-orang di jalan tentang bangkai kapal lain... yang akan diingat adalah yang telah diubah dari catatan sejarah dan jurnalistik menjadi pengalaman abadi melalui film, televisi, novel, dan musikal." Bagaimana kisah-kisah penting ini diingat, menurutnya, sangat bergantung pada bagaimana mereka disajikan.
Ole Varmer, seorang senior fellow di The Ocean Foundation, menyoroti peran telegraf Marconi di Titanic sebagai faktor kunci penyebaran cepat berita bencana tersebut. "Peristiwa ini mungkin merupakan kecelakaan pertama dengan jumlah korban jiwa yang besar, banyak di antaranya adalah orang terkenal dan kaya, dan beritanya menyebar ke seluruh dunia karena telegraf," jelas Varmer.
Thompson juga sepakat, menggambarkan malam tenggelamnya sebagai "salah satu momen penting dalam sejarah awal radio." Ia menyimpulkan, "Itu adalah kisah yang sangat besar di abad ke-20, yang memiliki banyak kisah lainnya."
Sulitnya untuk Tidak Terpikat oleh Kisah Kapal Ini
Sejak tenggelamnya, ada beberapa momen yang signifikan membangkitkan kembali minat publik terhadap Titanic, ujar Craig Sopin, seorang sejarawan Titanic dan pengacara di Philadelphia. Momen-momen penting tersebut termasuk penemuan bangkai kapal pada tahun 1985, ketika ditemukan terbelah dua di dasar laut, lebih dari 2 mil di bawah permukaan.
Film blockbuster James Cameron tahun 1997 dan peringatan 100 tahun tenggelamnya pada tahun 2012 juga menjadi titik kebangkitan minat yang besar. Sopin mengamati bahwa banyak orang memiliki titik kontak dengan kisah Titanic melalui film atau buku.
Sopin sendiri mengaku ketertarikan awalnya dipicu oleh "sebuah berita utama lama di surat kabar" saat kecil. Ia kemudian membeli tanda tangan Millvina Dean, penumpang terakhir yang selamat, yang menjadi awal dari koleksi sekitar 400 memorabilia Titanic miliknya.
"Setiap kali mendapatkan sesuatu yang baru, saya mempelajari sesuatu yang baru tentang kapal itu, dan hal itu terus menarik saya," katanya.
Titanic, menurut Sopin, memiliki begitu banyak aspek yang memikat—mulai dari pembangunannya, iklannya, kapal itu sendiri, para penumpang dan awak kapal, radio nirkabelnya, hingga petugas posnya. Ia merasa, "Ada begitu banyak kisah menarik sehingga sulit untuk tidak merasa tertarik pada kapal tersebut."
Sebagai wali amanat di Titanic International Society, yang berdedikasi melestarikan sejarah dan memajukan penelitian tentang kapal tersebut, Sopin menekankan bahwa masih banyak hal baru yang terus terungkap.
Baca Juga: Charles Joughin: Penyintas Titanic dalam Ingatan Sejarah Dunia
Sesuatu yang baru selalu muncul tentang kapal, penumpangnya, atau awaknya. Michael Poirier, wali amanat lain di organisasi tersebut, baru-baru ini menemukan dua catatan saksi mata dari para penyintas yang diterbitkan di surat kabar Inggris saat itu.
Salah satunya adalah kisah Joseph Duquemin yang melompat ke laut dalam "bencana mengerikan" dan berhasil berenang ke perahu penyelamat, sementara temannya tenggelam. Poirier mengingatkan, ada 712 orang yang selamat, dan masing-masing memiliki kisah pribadi mereka.
Upaya Melestarikan Jejak Sejarah
Minat publik yang berkelanjutan terhadap Titanic telah berkontribusi pada upaya pelestariannya, menurut Ole Varmer. Saat masih menjadi pengacara di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ia memainkan peran kunci dalam negosiasi Agreement Concerning the Shipwrecked Vessel RMS Titanic pada tahun 1990-an.
Perjanjian internasional ini lahir dari rekomendasi RMS Titanic Maritime Memorial Act tahun 1986 yang disahkan oleh Kongres AS setahun setelah bangkai kapal ditemukan. Tujuannya, menurut NOAA, adalah untuk "mengatasi penjarahan, penyelamatan yang tidak diinginkan, dan kegiatan lain yang ditujukan pada RMS Titanic serta meningkatkan perlindungan situs bangkai kapal."
Varmer merasa kagum bahwa Kongres AS mengambil tindakan secepat itu—dalam waktu satu tahun—untuk melindungi kapal berbendera Inggris yang terletak di lereng landas kontinen Kanada, di perairan internasional. Ia percaya bahwa kepedulian publik yang luaslah yang mendorong Kongres untuk bertindak.
Undang-undang tambahan juga telah disahkan untuk memperkuat perlindungan situs bangkai kapal. Selain itu, pada 15 April 2012, tepat 100 tahun setelah tenggelamnya, Titanic ditempatkan di bawah Konvensi UNESCO 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air. Varmer mengajukan pertanyaan retoris, "Berapa banyak undang-undang yang hanya mengatur satu bangkai kapal?"
Ia menyimpulkan bahwa ini terjadi karena "Titanic tidak seperti yang lain di dunia dan memiliki tempat yang istimewa." Peristiwa ini, katanya, secara berkala menarik perhatian karena berbagai alasan—pertarungan antara manusia dan alam, pertarungan antarmanusia, dan pemikiran tentang kisah-kisah yang ingin kita lestarikan dan wariskan kepada generasi mendatang. "Dan menurut saya," kata Varmer, "ini adalah salah satu kisah tersebut."
Perjalanan Berisiko ke Dasar Laut
Masa depan Titanic di dasar laut masih menjadi misteri, dengan beberapa perkiraan, termasuk dari UNESCO, yang memprediksi kapal itu akan menghilang pada tahun 2050. Sementara ekspedisi penelitian telah berlangsung sejak penemuannya, pariwisata ke situs ini adalah kesempatan yang relatif baru dan sangat mewah.
OceanGate, perusahaan di balik kapal selam Titan yang meledak tragis pada Juni 2023, sebelumnya menawarkan ekspedisi ke bangkai kapal menggunakan kapal selam berkapasitas lima orang untuk mendokumentasikan tingkat pembusukan.
Mereka juga menawarkan kesempatan kepada "penjelajah warga" untuk melakukan perjalanan dengan biaya sekitar AS$250.000, sebelum menghentikan semua operasi eksplorasi dan komersial pasca-insiden yang menewaskan lima penumpangnya, termasuk CEO Stockton Rush.
Bagi sebagian orang, kesempatan unik inilah yang menjadi motivasi utama untuk mengikuti ekspedisi berisiko ini. Penulis "The Simpsons," Mike Reiss, berpartisipasi dalam ekspedisi OceanGate tahun lalu. Ia memberi tahu ABC News bahwa itu adalah impian istrinya, meskipun istrinya tidak bisa ikut karena positif COVID-19.
Reiss, yang memiliki podcast "What Am I Doing Here?", menjelaskan bahwa istrinya sangat suka bepergian dan ia sangat mencintainya, sehingga pilihan liburan ekstrem mereka termasuk Korea Utara, Kutub Utara, atau Titanic.
Pada September 2000, Michael Guillen, fisikawan dan mantan editor sains untuk ABC News, diundang dalam ekspedisi yang dijalankan oleh kelompok Rusia untuk menjadi jurnalis pertama yang melapor langsung dari lokasi bangkai kapal. Meskipun sangat takut air, Guillen merasa tidak bisa menolak tawaran tersebut.
Selama ekspedisi, kapal selamnya sempat tersangkut di baling-baling Titanic, momen di mana Guillen benar-benar mengira ia akan tewas di sana sebelum pilot berhasil membebaskan kapal. Mengingat risikonya, Guillen mengaku pernah memberi tahu Barbara Walters di acara "20/20" bahwa ia mungkin tidak akan merekomendasikan perjalanan tersebut kepada warga sipil. Ia melakukan itu, katanya, karena diundang sebagai koresponden pertama dalam sejarah yang turun ke Titanic.
"Koresponden mana yang berani menolak undangan seperti itu?" tanyanya. Meskipun menggambarkan pengalamannya "menarik," Guillen menekankan "risiko nyata" yang terlibat dalam perjalanan semacam itu—bahkan jika itu dipasarkan sebagai wisata. "Ini bukan Disneyland," ia memperingatkan, "ini dunia nyata di mana alam sangat tidak kenal ampun."
Craig Sopin mengungkapkan bahwa ia memiliki beberapa kesempatan untuk mengikuti ekspedisi Titanic di masa lalu—bukan dengan OceanGate—namun menolaknya karena khawatir akan merasa klaustrofobia di dalam kapal selam kecil.
Setelah insiden OceanGate, masa depan industri pariwisata ke Titanic masih belum pasti. Sopin berpendapat, jika penyebab pasti masalah tersebut tidak teridentifikasi, ia tidak yakin seberapa kuat industri pariwisata Titanic akan bertahan.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
KOMENTAR