Lonjakan Jumlah Satelit
Peningkatan jumlah satelit yang sangat pesat ini sebagian besar disebabkan oleh munculnya "megakonstelasi"—yakni jaringan satelit raksasa yang dibangun oleh perusahaan swasta untuk menyediakan layanan komunikasi global. Salah satu yang paling menonjol adalah konstelasi Starlink milik SpaceX.
Sebagai contoh, per Mei 2025, sekitar 7.400 satelit Starlink aktif telah mengorbit Bumi. Jumlah ini mencakup lebih dari 60% dari seluruh satelit aktif yang ada, menurut Jonathan McDowell. Seluruh satelit tersebut diluncurkan hanya dalam kurun waktu enam tahun, sejak Mei 2019.
Meskipun SpaceX saat ini memimpin, perusahaan lain tidak ketinggalan mengejar. Di antaranya ada konstelasi OneWeb milik Eutelsat, jaringan SpaceMobile dari AST, proyek Kuiper milik Amazon yang akan datang, serta konstelasi "Thousand Sails" milik Tiongkok, dan beberapa lainnya.
Sulit untuk memprediksi dengan pasti berapa banyak satelit yang akan diluncurkan dan kapan itu akan terjadi. Namun para peneliti dapat memperkirakan batas maksimum jumlah satelit yang dapat mengorbit Bumi secara aman.
Batas ini dikenal sebagai "daya dukung" (carrying capacity), yaitu jumlah maksimum satelit aktif yang dapat eksis bersamaan tanpa menimbulkan tabrakan yang terus-menerus.
Menurut McDowell, Aaron Boley, serta para astronom lain seperti Federico Di Vruno dari Square Kilometer Array (SKA) Observatory dan Benjamin Winkel dari Max Planck Institute for Radio Astronomy di Jerman, daya dukung orbit rendah Bumi (LEO) kemungkinan bisa mencapai hingga 100.000 satelit aktif.
Jika jumlah ini tercapai, maka peluncuran satelit baru kemungkinan besar hanya akan dilakukan untuk menggantikan satelit lama yang sudah tidak berfungsi dan jatuh kembali ke Bumi.
Belum jelas kapan batas ini akan tercapai. Namun, melihat laju peluncuran saat ini, sejumlah pakar memperkirakan bahwa daya dukung tersebut bisa tercapai sebelum tahun 2050.
Potensi Masalah
Jumlah satelit yang terus meningkat diperkirakan akan menimbulkan sejumlah dampak serius. Salah satu masalah utama adalah sampah antariksa.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR