Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un, di Singapura menjadi perhatian dunia. Kedua pemimpin yang telah lama bersitegang ini, akhirnya bertatap muka pada Selasa (12/6).
Salah satu agenda utama pertemuan tersebut adalah membahas tentang denuklirisasi. AS meminta Korut untuk menghapus senjata nuklirnya dengan imbalan berupa jaminan keamanan dan bantuan ekonomi.
Terkait hal tersebut, berikut hal yang perlu Anda ketahui tentang Korea Utara dan senjata nuklirnya:
Warisan Perang Dingin
Jepang menguasai semenanjung Korea pada 1910. Negara tersebut menghabiskan waktu 35 tahun di bawah pemerintahan militer Jepang. Saat Jepang kalah dari AS pada Perang Dunia II, pasukan AS mulai menempati wilayah selatan semenanjung Korea, sementara Soviet menguasai bagian utara.
(Baca juga: Bukan Ilyushin 62M, Kim Jong Un Gunakan Pesawat Lain ke Singapura)
Ketika komunisme mengambil alih Korea Utara, Kim Il-Sung (kakek Kim Jong-Un), muncul sebagai perdana menteri pertama Republik Demokratik Rakyat Korea yang baru didirikan pada 1948.
Sementara itu, Majelis Umum PBB menyetujui pemilihan umum di Korea Selatan. Mereka membuat konstitusi dan meresmikan Republik Korea, dengan Seoul sebagai ibu kotanya.
Terpisah akibat Perang Korea
Ketegangan antara Utara dan Selatan mencapai puncaknya dengan meletusnya Perang Korea pada 1950. Kala itu, Soviet membantu pasukan Korea Utara untuk menyerang Selatan.
Perang Korea – yang menelan 2,5 juta korban – berakhir pada Juli 1953 dengan semenanjung yang tetap terbagi menjadi dua. Zona demiliterisasi seluas 2,5 mil memisahkan Korea Utara dengan Korea Selatan.
Didirikan sesuai ketentuan gencatan senjata, zona tersebut saat ini merupakan cagar alam yang tertutup oleh hutan, muara, dan lahan basah. Ia menampung ratusan spesies burung, ikan, dan mamalia.
Satu keluarga memimpin Korea Utara
Diusung oleh pemimpin Soviet, Joseph Stalin, pada 1948, Kim Il-Sung mengepalai Korea Utara hingga kematiannya di 1994. Selama hampir 50 tahun kepemimpinannya, kultus yang kuat muncul di sana. Kim Il-Sung diberikan berbagai macam julukan seperti “Pemimpin Hebat”, “Pemimpin Surgawi”, bahkan “Matahari”.
Setiap sekolah dasar di negara tersebut dilengkapi dengan ruang pelatihan khusus di mana anak-anak muda didoktrin dengan ajaran-ajaran rezim Kim Il-Sung dan keturunannya.
Korea Utara dijuluki sebagai “kerajaan pertapa”
Korea Utara terisolasi dari komunitas internasional. Sistem pemerintahan, ekonomi, dan operasionalnya dirahasiakan dari dunia luar. Adanya larangan bepergian ke luar negeri, serta pers yang dikontrol dengan ketat, membantu melanggengkan isolasi tersebut.
Kebijakan asing Korea Utara hanya ditandai oleh dua aliansinya, yaitu Tiongkok dan Soviet. Mereka dengan tegas menunjukkan sikap permusuhan kepada Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Runtuhnya Soviet pada awal 1990an, membuat Tiongkok menjadi satu-satunya sekutu penting bagi Korea Utara. Namun, baru-baru ini, Korea Utara juga mengembangkan hubungan diplomatik (dan ekonomi) yang semakin dekat dengan Rusia.
Senjata nuklir
Terlepas dari fakta bahwa Korea Utara merupakan negara miskin dan terisolasi, namun ia telah berhasil mengembangkan program nuklir selama beberapa dekade. Ide pembuatan senjata nuklir ini dimulai pada masa pemerintahan Kim Il-Sung dan dibantu oleh teknologi Soviet di era Perang Dingin.
(Baca juga: Gurkha, Pasukan yang Akan Amankan Pertemuan Trump dan Kim Jong Un)
Menurut para pengamat intelijen dan ahli roket, setelah Soviet runtuh, beberapa insinyur Rusia mencari pekerjaan ke Korea Utara dan turut memajukan program nuklir negara tersebut.
Tes nuklir yang mengancam
Di masa pemerintahan Kim Jong-Il (ayah Kim Jong-Un), tes nuklir diluncurkan pada 2006. Ini melanggar janji sebelumnya untuk mematuhi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). Sejak saat itu, beberapa nuklir diledakkan di situs pengujian bawah tanah, di Punggye-r.
Setiap nuklir terbaru, diketahui lebih kuat dari yang sebelumnya. Melihat hal ini, para ahli mengatakan, Korea Utara bisa membuat rudal senjata nuklir yang cukup kuat untuk menyerang Amerika Serikat.
Source | : | Sarah Pruitt/History |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR