Nationalgeographic.co.id - Pada tahun 1926, pemerintah kolonial Belanda melakukan pengeboran dangkal antara 60 – 128 meter di lapangan panas bumi Kawah Kamojang. Hingga dua tahun kemudian, lima sumur eksplorasi panas bumi pun tersedia di sana. Dari lima sumur itu, sumur KMJ-3 dengan kedalaman 66 meter sampai saat ini masih menyemburkan uap.
Peristiwa saat itu dipandang sebagai upaya pertama dalam pembuktian energi panas bumi di Hindia Belanda. Tidak sia-sia, panas bumi di Kamojang bahkan kemudian dikenal sebagai yang terbaik di dunia. Uap panas bumi yang kandungannya didominasi oleh uap, yang membuat bumi Kamojang unggul. Sayangnya pengusahaan panas bumi tidak berkembang sejak saat itu hingga tahun 1960-an.
Tidak berlangsung lama, keadaan ini berbalik ketika pemerintah Indonesia menggelar pengamatan panas bumi Kamojang pada tahun 1971 hingga 1979. Saat itu eksplorasi dilakukan bersama Selandia Baru.
Baca Juga : Suka Duka Para Perawat Elang di Pusat Konservasi Kamojang Garut
Pada 1978, potensi panas bumi di lapangan Kamojang terbukti mampu dimanfaatkan dengan dibangunnya monoblok/pembangkit dengan kapasitas 0,25 MW. Tidak ingin menyia-nyiakan hal tersebut, pengeboran pun dilakukan di 14 titik. Kamojang pun mendapat predikat lapangan panas bumi pertama di Indonesia. Kapasitas produksinya mencapai 1.752 Gwh per tahun.
Di tempat ini, masyarakat awam bisa memanfaatkan panas bumi secara praktis, seperti merebus telur ataupun mandi di sumber air panas yang dipercaya dapat menghilangkan penyakit kulit dan membugarkan badan. Tidak hanya itu, sebagai sarana hiburan, beberapa orang juga memainkan bunyi-bunyian di kawah kereta api.
Kawasan konservasi yang melindungi keanekaragaman hayati Jawa bagian Barat ini membuktikan panas bumi juga dapat menjadi daya tarik wisata. Berkaca pada fenomena vulkanik ini, masyarakat sekitar tergugah untuk membangkitkan pariwisata desanya.
Dulu, desa ikut mengelola Taman Wisata Alam Kamojang. Bahkan sebagian pendapatan dapat digunakan untuk membeli tanah desa,” terang Ahmad Saiful Rahman, sekretaris Kelompok Penggerak Wisata Desa Geothermal Laksana, Ibun, Kabupaten Bandung.
Desa Laksana memang bersentuhan langsung dengan berbagai pihak yang mengelola dan memanfaatkan panas bumi Kamojang. Selain bekal sumber daya alam, Laksana juga punya modal sosial dalam pengembangan desa wisata geotermal. Potensi inilah yang mendorong desa mengembangkan pariwisata.
Dampak nyata dari berkembangnya pariwisata di tempat ini adalah adanya usaha pengembangan wisata Danau Pangkalan.
Revitalisasi Danau Pangkalan memang sedang dilakukan oleh pemerintah dan Pertamina Geothermal Energy sebagai bagian dari pengembangan desa wisata geotermal. “Telah diinisiasi pengerukan telaga,” lanjut Saiful.
Revitalisasi dilakukan karena danau ini sempat "hilang" beberapa tahun belakangan. Sebagian bahkan sudah berubah fungsi menjadi sawah. Hal ini pun berdampak pada merosotnya jumlah kunjungan wisatawan ke tempat yang pernah terkenal di Bandung dan Garut ini. Saat ini juga sedang dilakukan pembuatan Detail Engineering Design danau pangkalan oleh Pertamina dan Pemda Kabupaten Bandung.
Geliat Danau Pangkalan ini pun diharapkan mampu menjadi tanda atas berkembangnya wisata desa Laksana.
Baca Juga : Breaking News: Temuan Harta Karun Koin Cina Abad Ketujuh di Lasem
Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat setempat mulai menata rumah mereka untuk difungsikan sebagai homestay. Sejauh ini tercatat sudah 10 rumah yang menyediakan 18 kamar khusus bagi wisatawan untuk bermalam.
Sudah siap dengan konsekuensi sampah
Peningkatan kegiatan wisata suatu daerah biasanya juga diikuti dengan beberapa hal yang dapat merusak tempat itu sendiri. Salah satunya adalah masalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari.
Namun hal tersebut nampaknya tidak akan menjadi hal yang merugikan bagi masyarakat Kamojang, maupun lingkungan di sana—bahkan menjadi hal yang menguntungkan. Bukan tanpa sebab, mereka memiliki biodigester yang siap mengolah sampah organik menjadi energi.
Biodigester ini tidak tampak menyeramkan, bahkan lebih mirip dengan tempat bermain anak karena dicat penuh warna.
Dari biodigester, menjuntai jaringan pipa menuju plastik penampung gas di atap teras. Dari penampung, gas disalurkan ke kompor. “Aman. Gas ditampung dulu agar apinya bisa besar," ucap Acep, warga yang juga berperan sebagai pegiat ecovillage.
Seakan sudah satu visi, masyarakat setempat bahkan rutin menyetor sampah mereka ke bank sampah. Ada 134 nasabah yang menyetor semua jenis sampah, terutama sampah anorganik, seperti plastik, aluminium, kertas, botol beling, dan sampah lainnya. Tidak hanya bebas dari sampah, masyarakat yang menjadi nasabah justru mendapatkan penghasilan tambahan dari sampah mereka.
Baca Juga : Tato di Tubuh Ötzi Si Manusia Es Ternyata Berasal dari Akupuntur
Sebelum adanya bank sampah ini, masyarakat setempat masih membuang sampah di sembarang tempat, sehingga berdampak pada lingkungan. Namun sejak adanya bank sampah, perilaku masyarakat pun berangsur berubah. Lingkungan juga semakin sehat.
Dataran tinggi Kamojang memang menjadi kawasan hulu bagi Sungai Citarum. Sehingga dengan adanya bank sampah, selain masyarakat mendapat penghasilan tambahan, mereka juga turut serta dalam program konservasi Citarum.
Geotermal dalam kehidupan sehari-hari
Berbicara mengenai pelestarian lingkungan, masyarakat Kamojang juga memiliki satu lagi aksi nyata, yakni pengurangan polusi zat kimia dari area budidaya kentang. Budidaya kentang dipandang tidak ramah lingkungan, karena para petani terbiasa menggunakan pupuk kimia untuk menyuburkan lahan mereka.
Untuk mencegah tanaman dan hasil panen terbebas dari penyakit, masyarakat juga terbiasa menggunakan obat-obatan kimia. Padahal hal tersebut membawa dampak pada lingkungan dan juga air sungai Citarum.
Mengakali hal tersebut, Caca Cahyadi, seorang warga yang berprofesi sebagai pembudidaya bibit kentang ini pun melakukan berbagai hal. Ia membuat pupuk kompos yang lebih aman bagi lingkungan untuk digunakan dalam menanam kentang. Tidak main-main, hasil panen kentang pun mengalami peningkatan kualitas.
Ayah tiga anak ini pun menggunakan geotermal sebagai bagian dari usaha pelestarian lingkungan. "Geotermal tidak hanya untuk energi listrik, tapi juga bisa bermanfaat untuk pertanian," ungkapnya.
Suhu panas dari uap bumi ini pun dimanfaatkan untuk mencuci hama pada serabut kelapa, sebagai media tanam. "Dengan suhu hingga 170—secara teknis cukup pada 120 derajat Celcius—derajat Celcius, bakteri bisa mati tanpa menghilangkan unsur hara yang dibutuhkan bibit," ucap Caca lebih lenjut. Serabut kelapa pun dapat digunakan hingga empat kali. Dampaknya? Limbah yang dihasilkan dari proses penanaman pun jauh berkurang.
Tidak hanya itu, suhu tinggi ini juga dimanfaatkan untuk mengeringkan biji kopi.
Baca Juga : Teknologi Semakin Berkembang, Generasi Z Pilih YouTube Untuk Belajar
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR