Nationalgeographic.co.id - Umumnya, sebelum pernikahan berlangsung, mempelai pria bersama dengan keluarganya akan datang untuk melamar sang wanita. Namun, hal ini berbeda dengan cara yang dilakukan suku Sasak.
Suku yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat ini masih melakukan tradisi Merarik di mana sang calon mempelai wanita akan dilarikan untuk dijadikan istri.
Sang pria dan wanita biasanya telah berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Setelah itu, sang wanita akan dibawa oleh pihak pria di rumah keluarganya selama satu hingga tiga hari.
Baca Juga : Mengunjungi Air Terjun dan Makam 'Kakek Bodo' di Tretes Jawa Timur
Setelah melarikan calon mempelai wanita, tradisi akan dilanjutkan dengan proses besejati, di mana pihak dari mempelai pria mengirim utusan, yang biasanya adalah tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat dikirim untuk memberitahukan kepada kepala dusun mengenai "pelarian" yang telah dilakukan agar diteruskan kepada keluarga sang wanita.
Pemberitahuan ini bertujuan agar proses "pelarian" diterima oleh pihak keluarga wanita sehingga keduanya disetujui untuk dinikahkan.
Kemudian, setelah itu akan dilanjutkan dengan proses Selabar untuk membahas tentang Pisuke, jumlah uang atau barang yang akan diberikan pihak keluarga dari pria kepada sang wanita. Biaya tersebut akan digunakan sebagai biaya syukuran.
Apabila semua telah terpenuhi, maka akan segera dilakukan akad nikah. Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, maka akan segera dilakukan Sorong Serah, pengumuman resmi pernikahan, dengan menyerahkan seserahan keluarga pria kepada wanita sebelum arak-arakan Nyongkolan sampai ke keluarga sang wanita.
Sayangnya, tradisi Merarik ini kerap disalahgunakan karena beberapa orang menggunakan cara ini untuk menikah dengan anak-anak.
Salah satu warga Sasak dan juga Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Sekotong Timur, Maeson mengatakan bahwa dirinya khawatir karena anak-anak yang belum bisa memutuskan keinginannya untuk harus menikah. Secara tradisi, bila anak perempuan yang sudah dilarikan terpaksa harus menikah dan memang sulit untuk ditolak.
Baca Juga : Ke Manakah Perginya Kotoran Manusia yang Kita Buang diToilet Pesawat?
Apabila ditolak, masyarakat setempat akan menganggapnya sebagai sebuah aib karena gagal menikah. Pihak dari sang pria juga akan berusaha mempertahankan agar pernikahan tetap berlangsung.
“Nah, kami concern terhadap kondisi tersebut sehingga berusaha menghentikan pernikahan anak,” kata Maeson, dilansir dari Kompas.com.
Untuk anak perempuan harus diberikan pemahaman secara holistik mengenai pernikahan usia dini. Mereka harus didukung untuk melanjutkan sekolah, walaupun sudah terlanjur sudah dinikahkan.
Selain itu, strategi lain yang digunakan adalah dengan meningkatkan kesadaran anak laki-laki mengenai risiko pernikahan usia anak karena peran laki-laki cukup besar di mana sang pria kelak akan menjadi "pelaku" merarik.
Karena itu, pemahaman mengenai pernikahan harus ditanamkan sehingga mereka tidak akan melakukan tindakan tersebut di usia yang dini. Anak perempuan maupun laki-laki harus didorong untuk ikut serta mencegah pernikahan usia anak.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR