Penjelajahan saya tentang Islam di Amerika mempertemukan saya dengan para mualaf Sufi, yang kebanyakan berkulit putih, di pedesaan Pennsylvania yang bermeditasi, menyembah Tuhan, dan bertani bersama di sebuah tempat peristirahatan spiritual. Tempat ini dinamakan Farm of Peace yang memiliki atmosfer yoga dan alami. Sang imam, sering melakukan terapi bekam dan akupunktur. Dia juga peternak dan jagal di pertanian seluas 42 hektare ini.
Saya berkenalan dengan sejumlah Muslim Bosnia di Chicago yang sedang mendengarkan paduan suara anak perempuan yang menyanyikan pujian untuk Nabi Muhammad. Saya masuk ke masjid yang selalu didatangi ayah saya, sebuah majelis Syiah Asia Tenggara, di sebelah mal di daerah pinggiran Chicago. Di pintunya terdapat kunci digital baru untuk keamanan tambahan. Imam di sana mendorong jemaah untuk menggunakan hak pilih, mencalonkan diri dalam pemilu, dan terlibat dalam organisasi dan layanan masyarakat. Dan saya mengunjungi komunitas besar Muslim Arab di Dearborn, Michigan, tempat tinggal sebagian besar keluarga ayah saya. Di sana, orang menggunakan campuran bahasa Arab dan Inggris dalam bahasa slang setempat, rambu ditulis dalam dua bahasa, dan masakan Timur Tengah lebih lazim daripada piza.
Di Houston, saya menghabiskan waktu di masjid pertama di Amerika yang menggunakan bahasa Spanyol, Centro Islamico. Masjid itu mulai digunakan pada 2016. Latino adalah salah satu populasi Muslim yang paling cepat berkembang. Pendiri masjid ini, Mujahid Fletcher, mengatakan bahwa Islam adalah jalannya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik setelah sebelumnya pernah terlibat dalam geng. Dia menjadi mualaf tepat sebelum peristiwa 11 September, jadi sulit baginya untuk menjelaskan agama barunya kepada keluarganya yang menganut Katolik Roma. Saat itu, tidak banyak buku berbahasa Spanyol tentang Islam atau ulama berbahasa Spanyol untuk menghilangkan ke-salahpahaman. Masjidnya sekarang menerbitkan buku-buku tersebut dan menyi-arkan khotbah melalui Internet dalam bahasa Spanyol, Inggris, dan Arab.
Setiap penggambaran Muslim AS harus menyertakan penganut kulit hitam Amerika. Mereka berjumlah setidaknya seperlima dari keseluruhan Muslim Amerika. Islam sering disebut sebagai agama tidak resmi hip-hop. Praise to Allah, sebutan untuk Tuhan dalam bahasa Arab, dan sejumlah frasa lain, disisipkan dalam lirik seniman terkenal. Harlem di New York City masih dihuni oleh komunitas historis Muslim Kulit Hitam dengan plang di sejumlah restoran yang berbunyi, “No Pork on My Fork, Tidak Ada Babi di Garpu Saya.” Di Los Angeles Selatan, Jihad Saafir, seorang imam dan putra ulama Muslim Kulit Hitam, mengubah masjid di toko ayahnya menjadi pusat komunitas dan sekolah yang dinamis yang mengajarkan sejarah Islam melalui kacamata pemberdayaan dan sejarah bangsa Afrika dan orang AS asal Afrika.
Di masjid Saafir-lah, Hamidah Ali duduk di sebelah saya saat berbuka puasa Ramadan dengan makanan Cina yang halal. Saya bertanya padanya tentang apa arti Islam di Amerika baginya. “Islam itu keren,” jawab Muslim Amerika keturunan Afrika generasi kedua yang berusia 27 tahun itu. Anting-anting bulat besar menyembul dari balik kerudung turbannya, dan dia menyebutkan beberapa orang idolanya, mulai dari artis hip-hop hingga muslim Amerika paling terkenal, almarhum Muhammad Ali. Ali memang sosok kontroversial selama kariernya—penentang sejati Perang Vietnam, Muslim Kulit Hitam yang bangga, yang populer di kalangan aktivis hak-hak sipil—tetapi perjuangannya untuk keadilan sosial di kemudian hari membuatnya menjadi ikon budaya. Pemakamannya secara Islam disiarkan di setiap jaringan besar TV AS.
Saat Canon, pendakwah dari California, berbicara di hadapan ratusan jemaah yang kebanyakan generasi milenial di daerah pinggiran Houston di Maryam Islamic Center—dia dengan lancar berpindah-pindah dari istilah slang ke lelucon ke kutipan Alquran. Mereka bertanya kepadanya tentang cara menangani kebiasaan yang membuat mereka kesal: wanita dihakimi karena mengenakan rias wajah di ruang salat atau orang tua imigran yang mengharapkan Anda menikah dengan orang yang berbudaya sama. Jawaban darinya dikemas dalam aneka cerita apa adanya, yang menggabungkan antara pengalaman pribadi dengan ajaran Islam tentang belas kasih, cinta, dan rasa hormat.
Itulah landasan organisasinya, Ta’leef Collective. Dengan dua kampus di Freemont, California, dan Chicago, Canon berusaha menciptakan ruang penerimaan yang terutama melayani generasi muda Muslim dan mualaf.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR