"Lihat, atap kubah pada menara itu," kata Boy Bhirawa sembari menunjuk foto Gedung OLVEH di ruang pamer. "Atap kubah itu persis dengan kubah Gereja Bethel di Bandung, karya Wolff Schoemaker."
Boy mengajak saya menuju tangga. Sebuah tangga marmer didesain dengan keamanan yang baik untuk menghubungkan lantai ke lantai. Cahaya dari atap kaca jatuh menerangi area tangga. Sang perancang gedung ini sadar bahwa OLVEH berada di permukiman Cina yang rapat, sehingga satu-satunya akses cahaya adalah dari atas.
Kemudian, kami memperhatikan struktur kolom yang menjulang dari lantai dasar hingga lantai ketiga, yang seolah dibelit anak-anak tangga. Boy mencium keanehan dari struktur kolom yang justru menghalangi cahaya dari atap kaca tadi. Sembari menunjuk arah datangnya cahaya, Boy berkata, "Harusnya skylight itu tembus ke bawah."
Baca Juga : Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'
Seiring perjalanan waktu, tampaknya telah terjadi perubahan pada ruangan dalamnya. Mungkin saja permasalahan itu merupakan perubahan yang mematikan jiwa gedung.
“Bangunan ini sangat misterius,” ujar Boy kepada peserta diskusi panel di Gedung OLVEH. “Kondisi saat ditemukan memang menyeramkan.”
Salah satu elemen Gedung OLVEH yang menarik baginya adalah balkon pada bagian belakang di lantai tiga. Bahwasanya gedung ini mendapat tempat di depan Rumah Abu Setia Dharma Marga, salah satu tempat yang disucikan warga Cina di Batavia hingga menjadi Jakarta kini. Kedekatan itu merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan.
Setiap bangunan memiliki jiwa, dan Boy juga berharap bahwa Jakarta dan Kota Tuanya juga masih memiliki jiwa. “Membangun kembali itu tidak susah,” ungkapnya. “Tetapi memberi jiwa pada bangunan itulah yang berat.”
“Balkon ini berfungsi sebagai wajah juga,” ujar Boy, sehingga OLVEH tidak memunggungi rumah abu tadi. Demikianlah kiat sang arsitek menghormati kawasan yang sudah ada sebelum membangun gedung.
“Ini adalah cara bangunan ini dalam merespon lingkungan,” Boy berujar sembari menunjuk balkon yang membentang sebagai teras pada lantai ketiga gedung ini.
Kemudian, Boy memperlihatkan serangkaian foto-foto udara awal 1920-an. Bukti foto menunjukkan bahwa OLVEH dibangun di tepian kawasan pecinan kota. Ketika gedung tersebut selesai dibangun pada 1922, kawasan plaza atau Stationsplein (kini kawasan terminal bus Transjakarta dan sekitarnya) belum terbentuk—mungkin sedang direncanakan.
Saya takjub menyaksikan foto-foto udara tadi. Gedung OLVEH yang mungil bercat putih telah menjadi tengara pada 1922, namun bangunan penanda di sekeliling pusat Stationsplein belum dibangun—seperti Stasiun BEOS, Nederlandsche Handel Maatschappij (kini Museum Bank Mandiri), dan Nederlandsch-Indische Handelsbank (kini Bank Mandiri).
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR