Kedua Schoemaker bersaudara itu memang merupakan guru besar dari Technische Hoogeschool, Bandung. Namun, sambungnya, Wolff baru menerima gelar guru besar pada 1922. Sementara adiknya, Richard, telah menerima gelar tersebut lebih dahulu pada akhir 1920.
Dari dokumen milik Aegon NV, kantor yang mewarisi aset OLVEH di Den Haag, juga memberikan pernyataan senada. Dokumen itu bertajuk "Overeenkomst" dan bertanggal 12 Maret 1921 yang merupakan surat persetujuan antara Direktur OLVEH di Batavia J.P. Peereboom Voller, dan Richard L.A. Schoemaker yang mewakili C.P. Schoemaker en Associatie-Architecten & Ingenieurs.
Baca Juga : Pentingnya Membatasi Waktu Bermain Gadget Anak dan Remaja, Mengapa?
Sebagai ahli sejarah arsitektur Hindia, demikian ungkap Pauline, dirinya tidak begitu tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang cerita seseorang yang berkaitan dengan OLVEH. “Saya lebih tertarik dengan sejarah bangunan,” ujarnya, “seperti kaitan gedung ini dengan lingkungan, apa fungsinya pada masa lalu, dan siapa saja yang pernah menghuninya, dan gaya arsitektur yang berkaitan dengan semangat zaman itu.”
Bagi Pauline, beberapa sumber informasi tadi masih memerlukan kajian yang mendalam untuk bisa menyimpulkan siapa arsitek sejati OLVEH. Pada akhir diskusi dia mengatakan, “Kasus selesai dan saya masih tidak tahu.”
Diskusi ini digelar dalam rangka peresmian Gedung OLVEH oleh Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC), Jakarta Endowment for Arts and Heritage (JEFORAH), dan Sarasvati Art and Communication and Publication. Saya menyaksikan beragam lapisan warga Jakarta dan sekitarnya—dari mahasiswa, komunitas pegiat pusaka dan sejarah, hingga sejarawan dan arsitek sohor— bersemangat menyimak pemaparan narasumber.
OLVEH dan Lingkungan Kota Batavia
“Saya pro-Wolff,” ujar Boy Bhirawa kepada saya. Dia menduga bahwa arsitek yang merancang OLVEH di Batavia adalah Wolff Schoemaker. Salah satu yang menguatkan dugaannya adalah desain menara kembar yang menghias wajah gedung ini. "Lihat, atap kubah pada menara itu," kata Boy sembari menunjuk foto Gedung OLVEH masa silam di ruang pameran. "Atap kubah itu persis dengan kubah Gereja Bethel di Bandung, karya Wolff Schoemaker."
Boy merupakan arsitek yang memugar dan melestarikan Gedung OLVEH sejak akhir 2014. Kendati gedung itu sudah diresmikan pada 17 Maret 2016 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tampaknya upaya Boy untuk melestarikan gedung ini masih berlanjut hingga kini. Boy juga pernah memugar bangunan cagar budaya Gedung PLN di Merdeka Timur. Namun, pemugaran terbesar untuk revitalisasi adalah pemugaran Gedung OLVEH, ujarnya. Sayangnya, penanda lanskap Kota Batavia awal 1920-an ini belum masuk dalam daftar Benda Cagar Budaya.
Selain dari bentuk kubah kembarnya, menurut Boy, menara kembar gedung itu didesain bersusun yang mirip dengan teknik perspektif bangunan candi. Kedua Schoemaker bersaudara itu memang bekerja dalam firma yang sama, ungkapnya, namun yang serius dan berminat memerhatikan candi adalah Wolff. “Kita tidak bisa membandingkannya dengan Richard—terutama level of humanity-nya.”
Kehidupan Wolff memang sungguh menarik minat insani. Lahir di Banyubiru, Jawa Tengah pada 1882. Dia arsitek, pelukis, pematung, memelihara serangga dan reptil. Mungkin lantaran dia lahir di Jawa, kedekatan dengan budaya setempat telah menarik minatnya pada arsitektur candi. Pada awal 1930-an dia dikabarkan masuk agama Islam, lalu teman-temannya memanggilnya dengan nama Kemal C.P. Wolff Schoemaker. Dia wafat pada 1948. Namun, entahlah, pada akhirnya Wolff dimakamkan secara Kristiani di permakaman Pandu, Bandung.
Sementara itu gaya hidup sang adik, Richard, boleh dikata lempeng-lempeng saja. Lahir di Roermond, Belanda, pada 1886. Setelah menjabat sebagai guru besar di Bandung beberapa tahun, dia kembali ke Belanda. Saat pecah Perang Dunia Kedua, dia turut berjuang mempertahankan negerinya dari cengkeraman Nazi Jerman. Malangnya, dia tertangkap dan dihukum mati pada 1941.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR