Che Wei pernah menunjukkan sebuah buklet saku lawas bertajuk “DE OLVEH VAN 1879” kepada para jurnalis pada suatu kesempatan. Isinya semacam jatidiri perusahan, keunggulannya, dan cara untuk menjadi nasabah asuransi Belanda itu.
Belakangan saya mengetahuinya bahwa sampul sisi dalam buklet itu menampilkan tiga sosok lelaki berbusana tradisi Cina, salah satunya sedang menggendong anak. Saya menanyakan temuan ini kepada Agni Malagina, sinolog dari Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
“Itu bertiga Fu-Lu-Shou,” ungkap Agni. “Tiga bintang.” Kemudian dia menerangkan simbol berikutnya, “Kelelawar itu lambang kesejahteraan. Bangau lambang hidup baik.”
Agni menjelaskan kepada saya tentang sosok tiga lelaki misterius yang ada di sampul dalam buklet saku itu. Fu, digambarkan sebagai seorang lelaki terpelajar yang sering menggendong anak atau dikelilingi oleh anak-anak. “Fu adalah dewa kekayaan atau kesejahteraan, bintang Fu, konon mengacu pada Planet Jupiter.” Dewa ini paling banyak disembah dan dipercaya memberikan kekayaan dan uang banyak. “Fu juga dianggap sebagai dewa keberuntungan.”
“Itu bertiga Fu-Lu-Shou,” ungkap Agni. “Tiga bintang.” Kemudian dia menerangkan simbol berikutnya, “Kelelawar itu lambang kesejahteraan. Bangau lambang hidup baik.”
Sosok kedua adalah Lu, “dewa kesejahteraan,” ungkap Agni. Lu kerap digambarkan berbusana jubah kebesaran pejabat masa dinasti. Dewa ini biasanya disembah orang Cina supaya karir dan pekerjaan mereka selalu baik. Mereka menganggap Lu akan membawa keberuntungan karir dan meningkatkan status sosial, ungkapnya.
“Shou dewa panjang umur,” papar Agni merujuk sosok ketiga yang paling sepuh. “Bintang shou. Bintang ini jika muncul atau terlihat di suatu wilayah maka dianggap membawa kedamaian di wilayah tersebut. Dewa ini digambarkan sebagai orang tua, kepala besar, berjenggot dan memegang tongkat kayu. Ia juga memegang buah pantao yang berkembang setiap 3000 tahun sekali, demikian kisah Agni kepada saya.
Namun, mengapa perusahaan asuransi Belanda menggunakan sosok dewa-dewa Cina dalam buklet penawarannya?
Agni mengungkapkan bahwa tampaknya kemunculan dewa-dewa kekayaan, kesejahteraan, dan panjang umur merupakan kiat OLVEH. Perusahaan itu menyadari dengan sungguh-sungguh untuk menyasar orang-orang Cina kaya di Batavia, yang pada umumnya masih lekat dengan budaya dan kepercayaannya. “Kemungkinan taipan-taipan yang mereka tuju adalah kaum Cina atau peranakan yang masih kental budayanya,” tuturnya.
Sebenarnya masih ada misteri lagi yang patut disingkap tentang OLVEH. Banyak pengunjung berlalu lalang sepanjang koridor utama yang menghubungkan pintu masuk dan ruangan perkantoran gedung mungil itu. Namun, sepertinya ada yang luput dari perhatian mereka.
Saya mengamati tiga poster yang menampilkan replika iklan lawas perusahaan asuransi ini. Ketiganya terpajang di dinding lantai dasar. Poster pertama menampilkan induk dan piyik pelikan. Kemudian di bagian tengah menampilkan poster nakhoda yang menerobos badai laut nan ganas. Poster terakhir menggambarkan nakhoda handal sehingga penumpang kapalnya merasa sangat aman.
Apa kaitan simbol pelikan dan nakhoda dengan misi perusahaan asuransi jiwa? Saya memotret ketiga poster tadi, dan mengirimkannya lewat surat elektronik kepada Lilie Suratminto, seorang yang menekuni makna simbol-simbol dalam tradisi Eropa. Dia merupakan pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang juga menjabat sebagai dekan pada fakultas tersebut.
Suatu pagi, tanda ikonis pada layar gawai cerdas saya menunjukkan surat elektronik yang masuk. Lilie membalas pertanyaan saya dengan pemaparan terperinci.
Perihal iklan pertama, Lilie mengungkapkan, “Perusahaan asuransi ini mengibaratkan dirinya sebagai seorang ibu yang ingin melindungi anaknya.” Lilie merujuk gambar seekor burung pelikan bersama piyiknya.
“Maknanya,” ungkap Lilie Suratminto, “di bawah perlindungan asuransi jiwa OLVEH, orang akan lebih terjamin dan penuh kepastian.”
Saya teringat sebuah legenda Eropa Kuno, yang berlanjut juga dalam tradisi Kekristenan. Ketika piyiknya kelaparan dan tidak ada makanan, seekor induk pelikan melukai dadanya sendiri dengan paruhnya, hingga berdarah. Dari jaringan dada yang tercabik dan berdarah itulah sang induk memberi makanan darurat kepada piyiknya. Saya pikir, inilah yang menjadi alasan orang Eropa menggunakan simbol pelikan sebagai tanda rasa kasih sayang dan perlindungan.
Kemudian, Lilie memaparkan makna iklam kedua dengan merujuk tulisan “EEN GOED STUURMAN”. Kapal OLVEH merupakan bahtera yang aman karena dijalankan oleh nakhoda yang baik, ungkapnya. Seorang nakhoda yang handal akan dapat melawan berbagai macam badai di lautan yang ganas.
Baca Juga : Cita Rasa Hilang dalam Penerbangan, Mengapa Hal ini Bisa Terjadi?
“Maksudnya agar nasabah tidak perlu khawatir karena OLVEH 'dinakhodai' oleh seorang 'stuurman' yang handal,” ungkap Lilie. Perusahaan asuransi jiwa ini mempunyai manajemen yang tidak perlu diragukan kehandalannya. Sang nakhoda tampak sangat geram menyaksikan pelikan yang tak berdaya lantaran tergulung ombak besar. Sebagai seorang yang penyayang binatang—mungkin—ia merasa kesal karena tidak dapat menolong burung tersebut, demikian paparnya.
Sementara untuk poster terakhir, Lilie merujuk sosok ibu dan anak yang wajahnya damai menatap ke depan. Mereka berdiri di belakang sang nakhoda yang gagah dan berwajah serius.
“Maknanya,” ungkap Lilie, “di bawah perlindungan asuransi jiwa OLVEH, orang akan lebih terjamin dan penuh kepastian.” Kemudian dia menambahkan, perusahaan asuransi ini akan menjamin kehidupan nasabahnya karena dikelola secara profesional.
Ketiga iklan tadi bertujuan membangun mitos perusahaan ini. Kesuksesan pengiklan adalah membuat suatu produk mencapai tingkatan mitos, demikian hematnya. Banyak pesaing akan berusaha mati-matian untuk saling mematahkan mitos pesaingnya.
“Jadi intinya,” tulis Lilie, “kalau mau hidup kita terjamin, masuklah asuransi OLVEH.” Kemudian dia menutup suratnya, “Ini adalah makna konotasi dari tampilan ketiga fragmen iklan tersebut.”
Di Balik Jendela Gedung Tua
Dari jendela ruang direktur di lantai dua, tampak pemandangan Stasiun BEOS, Jakarta Kota, yang dirancang oleh F.J.L. Ghijsels dan diresmikan pada 1929. Sementara OLVEH diresmikan pada 1922, ketika kawasan sekitarnya masih sepi, bahkan Stationsplein (kawasan antara Stasiun BEOS, NHM, dan NIH) belum dibangun. Kini, gedung itu berada dalam belitan gelumat kemacetan kota.
Saya berjumpa dengan Suci Khairunnisa Nabbila, salah seorang karyawan Sarasvati Art and Communication and Publication. Dia mengajak saya ke sudut-sudut ruangan yang menguarkan suasana lawas. Dari ruang kerjanya dengan jendela bukaan lebar, kami berlanjut ke ruang atasannya yang berpanorama suasana Stationplein, hingga ke lemari besi OLVEH.
Awalnya, Sarasvati Art berkantor di Gedung Kantor Pos Cikini, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sejak Gedung OLVEH selesai dipugar, mereka boyongan ke bangunan yang berusia hampir seabad itu.
Takdir mempertemukan OLVEH dengan para pelestari dan penyingkap misteri. Setelah ditemukan kembali, OLVEH tak lagi rebeh dan leceh. Tampaknya gedung-gedung pusaka Kota Tua Jakarta mendamba suratan serupa.
“Yang pasti harus berangkat lebih pagi karena OLVEH cukup macet. Naik kereta atau sepeda motor sama-sama lama,” ujar Nabbila yang tinggal di Kalibata. Kini, dia harus berangkat satu jam lebih awal supaya tidak terlambat ke kantor.
Selain soal macet, tempat makan menjadi perkara baru bagi Nabbila. “Terpaksa di fastfood dalam stasiun atau beradu nasib dengan makanan pinggir jalan yang kadang bikin seram.”
Baca Juga : Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita
Namun, Nabbila mengungkapkan kepada saya bahwa berkantor di gedung tua itu sesungguhnya menimbulkan kekaguman tersendiri. Dia menyebutnya sebagai “gedung yang anti-mainstream”. Jika umumnya orang-orang bekerja di gedung pencakar langit atau menara terkenal, Nabbila menikmati berkantor di gedung tua dan bersejarah. Kadang teman-temannya yang berkantor di gedung modern merasa heran: kenapa dia berkantor di sana, atau menanyakan seluk beluk nama gedungnya. Pada akhirnya, ungkap Nabbila, mereka justru kagum saat menyaksikan tempatnya bekerja sekarang.
Takdir mempertemukan gedung ini dengan para pelestari dan penyingkap misteri. Setelah ditemukan kembali, OLVEH tak lagi rebeh dan leceh. Suratan OLVEH telah menerbitkan kerinduan bagi berbagai bangunan pusaka Kota Tua Jakarta yang menantikan upaya penyelamatan dan pelestarian serupa. Semoga banyak bangunan pusaka yang menjumpai takdirnya sebagai bagian denyut peradaban hari ini. Semoga pula Kota Tua Jakarta menemukan jiwa kotanya kembali.
“Gedung-gedung tua menjadi bagus setelah direnovasi,” kata Nabbila. “Otentik dan artistik—Instagramable juga.”
(Kisah "OLVEH Simbol Jakarta yang Tenggelam" ini terbit pertama kali pada Maret 2016 dengan judul "Merindu Suratan OLVEH". Karya ini terpilih sebagai nomine dalam Hoesni Thamrin Award 2016)
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR