Meskipun berbeda pendapat, namun mereka sepakat soal sebuah temuan fantastis di gedung OLVEH. Mereka menggali terasnya, dan menjumpai bahwa lantai dasar gedung itu berada di kedalaman nyaris satu meter dari muka tanah sekarang. Penyebabnya, banjir yang datang setiap tahun telah direspon oleh pemangku kebijakan kota lewat peninggian jalan. Bonusnya, keduanya menyingkap lantai mozaik rupa-rupa warna bertuliskan “OLVEH van 1879” di teras pintu masuk gedung itu. Sungguh cantik!
Celakanya, peninggian jalan sebagai tanggul dengan dalih solusi banjir menjadi potret umum permukiman rawan banjir di Jakarta. Selama 95 tahun (1921-2016), gedung ini telah berulang kali digilas zaman sehingga kini tapak dasarnya berada 95 sentimeter di bawah permukaan jalan. Banjir merupakan bencana tak berkesudahan yang mendera Jakarta, sejak zaman kolonial hingga zaman pembangunan. Solusinya pun tak pernah manjur dan terkesan asal-asalan—lewat proyek peninggian jalan.
“Ketika diresmikan pada 1922,” ujar Candrian, “jalanan depan OLVEH mungkin sekitar 20 hingga 30 centimeter di bawah permukaan teras OLVEH.”
Satu dekade silam, Candrian turut mengobservasi pembangunan jalur Tempat Penyeberangan Orang di bawah tanah plaza atau Stationsplein, yang berlokasi beberapa jengkal dari OLVEH. Berdasarkan pengamatannya, Candrian menduga bahwa permukaan jalan saat Kota Batavia dibangun VOC, sekitar abad ke-17, kini telah terbenam sekitar tiga meter lebih di bawah permukaan tempat kita berpijak sekarang. “Ketebalan aspal seperti lapis legit,” ujarnya. “Setiap banjir dinaikkan, setiap banjir dinaikkan lagi.”
Bagi warga Jakarta yang menyadarinya, OLVEH telah menjelma sebagai tengara zaman. Gedung ini seolah ingin mengisahkan kepada warga Jakarta tentang petaka serius yang mengancam metropolitan delta ini: Tenggelamnya Jakarta.
Baca Juga : Melawan Infeksi Saluran Kemih dengan Ekstrak Cranberry, Apakah Bisa?
Dalam kesempatan berbeda, Firdaus Ali selaku Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Pengairan, mengungkapkan bahwa Jakarta tengah dilanda krisis air yang tak berkesudahan. Warga Jakarta hidup dalam risiko bencana ekologi perkotaan.
“Jakarta tidak dibanjiri air, tetapi dibanjiri manusia, dan kita yang mengambil ruang air tadi,” ujar Firdaus Ali. “Untuk kota besar di atas lima juta jiwa, Jakarta paling buruk di dunia soal kondisi tata kelola airnya.”
Metropolitan itu kekurangan air baku karena terjadi penyedotan air baku secara besar-besaran yang telah mempercepat amblesnya Jakarta. Akibatnya, ketika musim hujan, air sulit terlimpas sehingga genangan meluas dan menambah panjang kemacetan lalu lintas.
Kita kerap menganggap air sebagai bencana, kendati sejatinya air merupakan berkah dari Sang Kuasa. Menurut hemat Firdaus, permasalahan Jakarta adalah pada manusianya. “Jakarta tidak dibanjiri air, tetapi dibanjiri manusia, dan kita yang mengambil ruang air tadi,” ujar Firdaus. “Untuk kota besar di atas lima juta jiwa, Jakarta paling buruk di dunia soal kondisi tata kelola airnya.”
Selain banjir yang tak berkesudahan, Jakarta juga terancam hilang dari peta. Data dari Kementerian PUPR mengungkapkan bahwa Jakarta sedang mengalami penurunan muka tanah sekitar 3 hingga 7,5 sentimeter per tahun, ambles. Sementara petaka lain juga mengancam dalam waktu bersamaan: Muka air laut merambat naik 0,7 sentimeter per tahunnya. Lengkaplah petaka metropolitan ini. Kini, perubahan iklim semakin memaksa warga Jakarta untuk menyikapinya dengan arif.
Denyut Babak Baru
“Sejak 1961 Gedung OLVEH sudah dinasionalisasi dan menjadi bagian dari Jiwasraya—saat itu Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera,” kata Agustin Widhiastuti, Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT Asuransi Jiwasraya. Terdapat sembilan perusahaan asuransi milik Belanda yang melebur menjadi satu ketika kebijakan nasionalisasi di Indonesia, salah satunya adalah OLVEH.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR