Nationalgeographic.co.id - Sabtu pagi yang cerah, 7 Januari 1922 di Voorrij Zuid, Batavia. Serombongan lelaki Betawi yang berbusana putih dan berpeci hitam berjalan berarakan tanpa alas kaki. Mereka mengusung sesajen beserta sepasang ondel-ondel berwajah seram dalam semarak tetabuhan bende. Sebagian dari mereka membawa penjor dan tongkat berhias bendera-bendera Belanda dari kertas kecil.
Kemudian, dengan ekspresi wajah yang polos, rombongan ondel-ondel tadi berfoto bersama di depan gedung mungil bergaya Art Deco yang bercat putih cemerlang.
Gedung modern itu menyeruak di deretan rumah-rumah lusuh beratap genting yang beraksen pecinan. Menjulang berlantai tiga dengan menara kembarnya. Sebaris untaian aksara di dinding depan gedung itu menjadi tengaranya: “Onderlinge Verzekeringsmaatschappij Eigen Hulp”. Itulah gempita hari peresmian OLVEH di Batavia, kantor cabang dari perusahaan asuransi jiwa yang pusatnya di Kota Den Haag, Belanda.
Baca Juga : Masyarakat Bisa Mencoba MRT Jakarta Mulai Hari Ini dengan Mendaftar Online
Kini, foto mereka masih abadi dalam koleksi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Leiden, Belanda. Namun, tampaknya ada kesalahan dalam pencatatan pada keterangan foto yang menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di Kantor OLVEH Bandung pada 1933.
Dalam cetak biru rancangan arsitektur OLVEH di Batavia, tersemat nama biro arsitektur “C.P. Schoemaker en Associatie-Architecten & Ingenieurs”. Firma ini dikelola dua bersaudara Charles Prosper Wolff Schoemaker dan adiknya, Richard Leonard Arnold Schoemaker. Keduanya merupakan guru besar di Technische Hoogeschool, Bandung.
Sementara itu pelaksana pembangunannya adalah F. Loth. Biaya pembelian tanah dan pembangunannya senilai 250.000 gulden. Pada 1920-an, uang sebanyak itu dapat digunakan untuk berbelanja bongkahan emas seberat 528 kilogram. Apabila dikonversikan ke harga emas saat ini, nilainya mungkin setara Rp18 miliar.
Siapa Arsitek Sejati yang Merancangnya, Richard atau Wolff?
“Saya memelajari bermacam pustaka untuk menyingkap sejarah gedung ini,” ujar Pauline K.M. van Roosmalen, ahli sejarah arsitektur Hindia dalam upayanya menyingkap siapa arsitek sejati OLVEH.
Pauline mengungkapkannya dalam diskusi “Hidden Treasure of Art Deco: Sejarah Gedung OLVEH Karya Firma Schoemaker dan tantangan Revitalisasi,” yang digelar di gedung OLVEH yang berlokasi di seberang selatan Stasiun Jakarta Kota, pada Sabtu, 19 Maret 2016.
Pauline telah berkorespondensi dengan peneliti dan ahli arsip dari KITLV, yang mengatakan kepadanya bahwa gedung ini dibangun oleh Richard L.A. Schoemaker, bukan oleh C.P. Wolff Schoemaker.
“Saya lebih tertarik dengan sejarah bangunan,” ujar Paulina K.M. van Roosmalen, “seperti kaitan gedung ini dengan lingkungan, apa fungsinya pada masa lalu, dan siapa saja yang pernah menghuninya, dan gaya arsitektur yang berkaitan dengan semangat zaman itu.”
“Dalam Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit pada 31 Desember 1921,” kata Pauline, “Disebutkan bahwa arsitek Gedung OLVEH yang berada di Voorrij Zuid adalah Profesor Schoenmaker—tampaknya jurnalis surat kabar tersohor di Hindia Belanda itu salah menuliskan nama sang arsitek."
Kedua Schoemaker bersaudara itu memang merupakan guru besar dari Technische Hoogeschool, Bandung. Namun, sambungnya, Wolff baru menerima gelar guru besar pada 1922. Sementara adiknya, Richard, telah menerima gelar tersebut lebih dahulu pada akhir 1920.
Dari dokumen milik Aegon NV, kantor yang mewarisi aset OLVEH di Den Haag, juga memberikan pernyataan senada. Dokumen itu bertajuk "Overeenkomst" dan bertanggal 12 Maret 1921 yang merupakan surat persetujuan antara Direktur OLVEH di Batavia J.P. Peereboom Voller, dan Richard L.A. Schoemaker yang mewakili C.P. Schoemaker en Associatie-Architecten & Ingenieurs.
Baca Juga : Pentingnya Membatasi Waktu Bermain Gadget Anak dan Remaja, Mengapa?
Sebagai ahli sejarah arsitektur Hindia, demikian ungkap Pauline, dirinya tidak begitu tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang cerita seseorang yang berkaitan dengan OLVEH. “Saya lebih tertarik dengan sejarah bangunan,” ujarnya, “seperti kaitan gedung ini dengan lingkungan, apa fungsinya pada masa lalu, dan siapa saja yang pernah menghuninya, dan gaya arsitektur yang berkaitan dengan semangat zaman itu.”
Bagi Pauline, beberapa sumber informasi tadi masih memerlukan kajian yang mendalam untuk bisa menyimpulkan siapa arsitek sejati OLVEH. Pada akhir diskusi dia mengatakan, “Kasus selesai dan saya masih tidak tahu.”
Diskusi ini digelar dalam rangka peresmian Gedung OLVEH oleh Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC), Jakarta Endowment for Arts and Heritage (JEFORAH), dan Sarasvati Art and Communication and Publication. Saya menyaksikan beragam lapisan warga Jakarta dan sekitarnya—dari mahasiswa, komunitas pegiat pusaka dan sejarah, hingga sejarawan dan arsitek sohor— bersemangat menyimak pemaparan narasumber.
OLVEH dan Lingkungan Kota Batavia
“Saya pro-Wolff,” ujar Boy Bhirawa kepada saya. Dia menduga bahwa arsitek yang merancang OLVEH di Batavia adalah Wolff Schoemaker. Salah satu yang menguatkan dugaannya adalah desain menara kembar yang menghias wajah gedung ini. "Lihat, atap kubah pada menara itu," kata Boy sembari menunjuk foto Gedung OLVEH masa silam di ruang pameran. "Atap kubah itu persis dengan kubah Gereja Bethel di Bandung, karya Wolff Schoemaker."
Boy merupakan arsitek yang memugar dan melestarikan Gedung OLVEH sejak akhir 2014. Kendati gedung itu sudah diresmikan pada 17 Maret 2016 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tampaknya upaya Boy untuk melestarikan gedung ini masih berlanjut hingga kini. Boy juga pernah memugar bangunan cagar budaya Gedung PLN di Merdeka Timur. Namun, pemugaran terbesar untuk revitalisasi adalah pemugaran Gedung OLVEH, ujarnya. Sayangnya, penanda lanskap Kota Batavia awal 1920-an ini belum masuk dalam daftar Benda Cagar Budaya.
Selain dari bentuk kubah kembarnya, menurut Boy, menara kembar gedung itu didesain bersusun yang mirip dengan teknik perspektif bangunan candi. Kedua Schoemaker bersaudara itu memang bekerja dalam firma yang sama, ungkapnya, namun yang serius dan berminat memerhatikan candi adalah Wolff. “Kita tidak bisa membandingkannya dengan Richard—terutama level of humanity-nya.”
Kehidupan Wolff memang sungguh menarik minat insani. Lahir di Banyubiru, Jawa Tengah pada 1882. Dia arsitek, pelukis, pematung, memelihara serangga dan reptil. Mungkin lantaran dia lahir di Jawa, kedekatan dengan budaya setempat telah menarik minatnya pada arsitektur candi. Pada awal 1930-an dia dikabarkan masuk agama Islam, lalu teman-temannya memanggilnya dengan nama Kemal C.P. Wolff Schoemaker. Dia wafat pada 1948. Namun, entahlah, pada akhirnya Wolff dimakamkan secara Kristiani di permakaman Pandu, Bandung.
Sementara itu gaya hidup sang adik, Richard, boleh dikata lempeng-lempeng saja. Lahir di Roermond, Belanda, pada 1886. Setelah menjabat sebagai guru besar di Bandung beberapa tahun, dia kembali ke Belanda. Saat pecah Perang Dunia Kedua, dia turut berjuang mempertahankan negerinya dari cengkeraman Nazi Jerman. Malangnya, dia tertangkap dan dihukum mati pada 1941.
"Lihat, atap kubah pada menara itu," kata Boy Bhirawa sembari menunjuk foto Gedung OLVEH di ruang pamer. "Atap kubah itu persis dengan kubah Gereja Bethel di Bandung, karya Wolff Schoemaker."
Boy mengajak saya menuju tangga. Sebuah tangga marmer didesain dengan keamanan yang baik untuk menghubungkan lantai ke lantai. Cahaya dari atap kaca jatuh menerangi area tangga. Sang perancang gedung ini sadar bahwa OLVEH berada di permukiman Cina yang rapat, sehingga satu-satunya akses cahaya adalah dari atas.
Kemudian, kami memperhatikan struktur kolom yang menjulang dari lantai dasar hingga lantai ketiga, yang seolah dibelit anak-anak tangga. Boy mencium keanehan dari struktur kolom yang justru menghalangi cahaya dari atap kaca tadi. Sembari menunjuk arah datangnya cahaya, Boy berkata, "Harusnya skylight itu tembus ke bawah."
Baca Juga : Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'
Seiring perjalanan waktu, tampaknya telah terjadi perubahan pada ruangan dalamnya. Mungkin saja permasalahan itu merupakan perubahan yang mematikan jiwa gedung.
“Bangunan ini sangat misterius,” ujar Boy kepada peserta diskusi panel di Gedung OLVEH. “Kondisi saat ditemukan memang menyeramkan.”
Salah satu elemen Gedung OLVEH yang menarik baginya adalah balkon pada bagian belakang di lantai tiga. Bahwasanya gedung ini mendapat tempat di depan Rumah Abu Setia Dharma Marga, salah satu tempat yang disucikan warga Cina di Batavia hingga menjadi Jakarta kini. Kedekatan itu merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan.
Setiap bangunan memiliki jiwa, dan Boy juga berharap bahwa Jakarta dan Kota Tuanya juga masih memiliki jiwa. “Membangun kembali itu tidak susah,” ungkapnya. “Tetapi memberi jiwa pada bangunan itulah yang berat.”
“Balkon ini berfungsi sebagai wajah juga,” ujar Boy, sehingga OLVEH tidak memunggungi rumah abu tadi. Demikianlah kiat sang arsitek menghormati kawasan yang sudah ada sebelum membangun gedung.
“Ini adalah cara bangunan ini dalam merespon lingkungan,” Boy berujar sembari menunjuk balkon yang membentang sebagai teras pada lantai ketiga gedung ini.
Kemudian, Boy memperlihatkan serangkaian foto-foto udara awal 1920-an. Bukti foto menunjukkan bahwa OLVEH dibangun di tepian kawasan pecinan kota. Ketika gedung tersebut selesai dibangun pada 1922, kawasan plaza atau Stationsplein (kini kawasan terminal bus Transjakarta dan sekitarnya) belum terbentuk—mungkin sedang direncanakan.
Saya takjub menyaksikan foto-foto udara tadi. Gedung OLVEH yang mungil bercat putih telah menjadi tengara pada 1922, namun bangunan penanda di sekeliling pusat Stationsplein belum dibangun—seperti Stasiun BEOS, Nederlandsche Handel Maatschappij (kini Museum Bank Mandiri), dan Nederlandsch-Indische Handelsbank (kini Bank Mandiri).
Baca Juga : Korea Selatan dan Tiongkok Atasi Polusi Udara dengan Hujan Buatan
“Perencanaan bangunan [OLVEH] ini sudah mengantisipasi kehadiran plaza itu karena dia berada dalam BOW [Burgerlijke Openbaar Werken atau Dinas Pekerjaan Umum zaman Hindia Belanda], dan dia tahu betul planning berikutnya.”
Bagaimana arsitektur sebuah bangunan merespon keadaan lingkungannya? Konteks arsitektural sebuah bangunan mungkin akan terkait dengan tempat, aspek arkeologi dan sejarah kawasan, atau ekologi disekitarnya. Kapan bangunan ini hadir dan pada saat kota seperti apa? “Konteks sangat penting bagi sebuah bangunan,” ujar Boy mengingatkan. “Kapan dia dibuat dan bagaimana dia merespon konteks.”
“Saya di sini dan saya penting,” Boy menambahkan, "posisi itu yang membuat suatu bangunan, meski kecil, tetap penting bagi kota."
Setiap bangunan memiliki jiwa dan Boy juga berharap bahwa Jakarta dan Kota Tuanya juga masih memiliki jiwa. “Membangun kembali itu tidak susah,” ungkapnya. “Tetapi memberi jiwa pada bangunan itulah yang berat.”
Kota Tua Menuju Warisan Dunia
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—juga dikenal sebagai sejarawan yang gemar memasak dan bermusik—mengungkapkan pemikirannya pada kesempatan yang sama.
Saat ini minat pada cagar budaya dan pusaka telah mengalami banyak peningkatan, demikian hemat Hilmar. Peningkatan kesadaran dan minat tentang pelestarian pusaka terlihat tidak hanya pada meningkatnya penulisan sejarah secara akademik, tetapi juga penulisan sejarah secara lebih populer.
Dia juga menyaksikan bahwa kini banyak orang datang mengunjungi gedung-gedung tua dan terlibat dalam pembuatan narasi—seperti catatan perjalanan dalam blog atau media sosial. Sebagai sebuah potensi dalam upaya pelestarian “sudah waktunya kita menarik minat yang sudah tinggi ini ke arah yang lebih berbasis data dan studi,” ujarnya, kendati berawal dari riset kecil oleh para pejalan.
“Upaya kita untuk mencari tahu mengenai masa lalu, mengenai ruang yang berubah dari waktu ke waktu adalah bagian dari mencari jiwa,” kata Hilmar Farid.
“Kita menyadari bahwa salah satu kelemahan di Indonesia adalah soal keruangan. Sangat sedikit ruang yang berpengaruh pada kesadaran nasional,” kata Hilmar. “Penataan ruang—tidak hanya bangunan—akan membawa atau menghidupkan kembali jiwa kota."
Menurutnya, jiwa kota bisa ditransfer lewat media diskusi dan berbagai upaya pelestarian. “Upaya kita untuk mencari tahu mengenai masa lalu, mengenai ruang yang berubah dari waktu ke waktu adalah bagian dari mencari jiwa.”
Baca Juga : Tenggelamnya Kapal Poelau Bras Jelang Tamatnya Hindia Belanda
Kota Tua Jakarta sudah didaftarkan sebagai UNESCO World Heritage, termasuk pulau-pulau di utara Jakarta. Hilmar menekankan justru gairah dalam proses penetapan itulah yang terpenting untuk menggugah kesadaran tentang pusaka yang kita miliki. “Suatu upaya yang mulia karena kita mencoba lebih dari sekadar mendaftar,” kata Hilmar. “Ketika kita mendaftarkan sebuah kawasan menjadi warisan budaya dunia, maka sesungguhnya kita sedang membuat statement tentang keadaan kita.”
Simbol Terbenamnya Kota Jakarta
“Sayangnya, Pak Dirjen, bangunan secantik ini belum masuk di dalam daftar cagar budaya,” ujar Candrian Attahiyat sembari berkelakar kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. “Itu kan konyol!”
Demi pelestarian dan penegakan hukum, Gedung OLVEH perlu diberi status cagar budaya karena telah memenuhi kriteria yang disebutkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya.
“Ketebalan aspal seperti lapis legit,” ujar Candrian Attahiyat. “Setiap banjir dinaikkan, setiap banjir dinaikkan lagi.”
Candrian merupakan ahli arkeologi Kota Tua Jakarta. Kendati kini telah purnabakti, dia kerap memberikan sumbangan pemikirannya untuk pelestarian kawasan bersejarah di pesisir Jakarta itu.
Dia memerikan anekdot soal gedung ini kepada saya. Toilet dan kamar mandinya, ujar Candrian, dibedakan dengan jelas dan didesain dengan lubang saluran pembuangan udara (exhaust). "Sayang," imbuhnya, "sampai hari ini exhaust tadi tidak pernah terpasang karena paket tak kunjung sampai ke Batavia."
Candrian juga menyelisik batu bata yang sengaja ditampakkan kala pemugaran. Ketika plesteran dinding dikupas, terlihat huruf-huruf atau cap: Ck&Co. TH&Co, TKP, OTH, dan TSS. Uniknya, cap tersebut dicetak dengan huruf timbul. "Jarang sekali saya mendapatkan merk bata dengan huruf timbul," ungkapnya. "Sangat dimungkinkan huruf-huruf ini adalah inisial perusahaan bata tetapi belum diketahui di mana produksinya."
Namun, Candrian meyakini satu hal. Berdasarkan pola ikatan bata yang digunakan, dia telah memastikan bahwa teknologi pembangunan gedung OLVEH menggunakan teknologi Belanda.
Candrian bersama Boy Bhirawa melakukan pemugaran dan pelestarian OLVEH. Walau duduk bersama dalam satu tim pemugaran, Candrian dan Boy memiliki dugaan yang berbeda soal siapa arsitek sejati yang merancang OLVEH di Batavia. Boy berpendapat bahwa Wolff Schoemaker adalah arsiteknya, sementara Candrian mengungkapkan bahwa gedung ini dirancang oleh arsitek Richard Schoemaker.
Baca Juga : Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda
Meskipun berbeda pendapat, namun mereka sepakat soal sebuah temuan fantastis di gedung OLVEH. Mereka menggali terasnya, dan menjumpai bahwa lantai dasar gedung itu berada di kedalaman nyaris satu meter dari muka tanah sekarang. Penyebabnya, banjir yang datang setiap tahun telah direspon oleh pemangku kebijakan kota lewat peninggian jalan. Bonusnya, keduanya menyingkap lantai mozaik rupa-rupa warna bertuliskan “OLVEH van 1879” di teras pintu masuk gedung itu. Sungguh cantik!
Celakanya, peninggian jalan sebagai tanggul dengan dalih solusi banjir menjadi potret umum permukiman rawan banjir di Jakarta. Selama 95 tahun (1921-2016), gedung ini telah berulang kali digilas zaman sehingga kini tapak dasarnya berada 95 sentimeter di bawah permukaan jalan. Banjir merupakan bencana tak berkesudahan yang mendera Jakarta, sejak zaman kolonial hingga zaman pembangunan. Solusinya pun tak pernah manjur dan terkesan asal-asalan—lewat proyek peninggian jalan.
“Ketika diresmikan pada 1922,” ujar Candrian, “jalanan depan OLVEH mungkin sekitar 20 hingga 30 centimeter di bawah permukaan teras OLVEH.”
Satu dekade silam, Candrian turut mengobservasi pembangunan jalur Tempat Penyeberangan Orang di bawah tanah plaza atau Stationsplein, yang berlokasi beberapa jengkal dari OLVEH. Berdasarkan pengamatannya, Candrian menduga bahwa permukaan jalan saat Kota Batavia dibangun VOC, sekitar abad ke-17, kini telah terbenam sekitar tiga meter lebih di bawah permukaan tempat kita berpijak sekarang. “Ketebalan aspal seperti lapis legit,” ujarnya. “Setiap banjir dinaikkan, setiap banjir dinaikkan lagi.”
Bagi warga Jakarta yang menyadarinya, OLVEH telah menjelma sebagai tengara zaman. Gedung ini seolah ingin mengisahkan kepada warga Jakarta tentang petaka serius yang mengancam metropolitan delta ini: Tenggelamnya Jakarta.
Baca Juga : Melawan Infeksi Saluran Kemih dengan Ekstrak Cranberry, Apakah Bisa?
Dalam kesempatan berbeda, Firdaus Ali selaku Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Pengairan, mengungkapkan bahwa Jakarta tengah dilanda krisis air yang tak berkesudahan. Warga Jakarta hidup dalam risiko bencana ekologi perkotaan.
“Jakarta tidak dibanjiri air, tetapi dibanjiri manusia, dan kita yang mengambil ruang air tadi,” ujar Firdaus Ali. “Untuk kota besar di atas lima juta jiwa, Jakarta paling buruk di dunia soal kondisi tata kelola airnya.”
Metropolitan itu kekurangan air baku karena terjadi penyedotan air baku secara besar-besaran yang telah mempercepat amblesnya Jakarta. Akibatnya, ketika musim hujan, air sulit terlimpas sehingga genangan meluas dan menambah panjang kemacetan lalu lintas.
Kita kerap menganggap air sebagai bencana, kendati sejatinya air merupakan berkah dari Sang Kuasa. Menurut hemat Firdaus, permasalahan Jakarta adalah pada manusianya. “Jakarta tidak dibanjiri air, tetapi dibanjiri manusia, dan kita yang mengambil ruang air tadi,” ujar Firdaus. “Untuk kota besar di atas lima juta jiwa, Jakarta paling buruk di dunia soal kondisi tata kelola airnya.”
Selain banjir yang tak berkesudahan, Jakarta juga terancam hilang dari peta. Data dari Kementerian PUPR mengungkapkan bahwa Jakarta sedang mengalami penurunan muka tanah sekitar 3 hingga 7,5 sentimeter per tahun, ambles. Sementara petaka lain juga mengancam dalam waktu bersamaan: Muka air laut merambat naik 0,7 sentimeter per tahunnya. Lengkaplah petaka metropolitan ini. Kini, perubahan iklim semakin memaksa warga Jakarta untuk menyikapinya dengan arif.
Denyut Babak Baru
“Sejak 1961 Gedung OLVEH sudah dinasionalisasi dan menjadi bagian dari Jiwasraya—saat itu Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera,” kata Agustin Widhiastuti, Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT Asuransi Jiwasraya. Terdapat sembilan perusahaan asuransi milik Belanda yang melebur menjadi satu ketika kebijakan nasionalisasi di Indonesia, salah satunya adalah OLVEH.
OLVEH bukanlah perusahaan auransi pertama yang berbisnis di Hindia Belanda, bukan pula yang terbesar. Perusahaan asuransi pertama dan terbesar di Hindia Belanda adalah Nederlandsch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ), yang berdiri pada 1859. Namun kesendirian NILLMIJ berakhir pada 1883, ketika pemerintah Hindia Belanda membuka keran bagi asuransi swasta asing untuk berekspansi di Nusantara.
Baca Juga : Makan Pelan-pelan Bisa Membuat Cepat Kenyang dan Turunkan Berat Badan
Perusahaan asuransi OLVEH tamat riwayatnya lantaran dilibas kebijakan nasionalisasi pada 1959. Pada masa itu pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda di Indonesia. OLVEH dan beberapa perusahaan asuransi milik Belanda lainnya beralih status sebagai Perusahaan Negara Asuransi Eka Sedjahtera pada 1961, dan berganti Djasa Sedjahtera pada 1965. Setahun kemudian, lagi-lagi namanya berganti Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja. Namun, sejak 1984 statusnya beralih menjelma PerseroanTerbatas Jiwasraya. Kabarnya, sejak krisis moneter dan politik mengguncang Indonesia dan Asia Tenggara pada 1998, gedung ini telah ditinggalkan penghuninya.
“Old building, new idea,” ujar Lin Che Wei. Harapannya, gedung tua tidak hanya sebagai galeri atau museum, tetapi juga sebagai kantor. “Selama jiwanya tetap ada, gedung ini akan hidup kembali.”
Selepas pemugaran dan pelestarian yang diprakarsai oleh Lin Che Wei bersama Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) dan konsultan arsitektur Bhirawa Architects, kini Gedung OLVEH menjumpai babak baru dalam takdirnya.
“Gedung ini sebenarnya adalah testimoni kita akan ancaman,” ujar Che Wei. “Permukaan tanah dinaikkan satu senti demi satu senti, namun kita tak sadar.” Selain mengingatkan soal petaka banjir, gedung ini juga mengingatkan warga soal kemacetan lalu lintas, transportasi publik yang belum memadai, kurangnya keamanan, dan terbatasnya lahan parkir.
"Kalau datang ke gedung ini naik kereta atau naik busway, Anda akan nyaman," ujarnya. "Kalau Anda datang dengan naik mobil, Anda akan kerepotan."
Pelestarian tidak berhenti pada pemugaran, melainkan berlanjut dalam upaya mengembalikannya sebagai bagian dari komunitas dan kawasan Kota Tua dengan fungsi barunya. OLVEH memang bukan lagi sebagai gedung asuransi zaman Hindia Belanda, melainkan gedung yang terlahir kembali dengan semangat dan harapan baru untuk Jakarta.
OLVEH memang bukan lagi sebagai gedung asuransi zaman Hindia Belanda, melainkan gedung yang terlahir kembali dengan semangat dan harapan baru untuk Jakarta.
“Old building, new idea,” ujar Che Wei yang menyewa gedung ini sebagai salah satu kantor miliknya, Sarasvati Art and Communication and Publication. Dia berupaya menggunakan kembali gedung-gedung tua. Harapannya, gedung tua tidak hanya sebagai galeri atau museum, tetapi juga sebagai kantor. Sebagai bekas gedung perusahaan asuransi, dia berharap OLVEH memiliki jiwa yang memberikan rasa aman kepada warga kota—dan tentu para karyawannya yang berkantor di sana.
“Selama jiwanya tetap ada, gedung ini akan hidup kembali.” Gedung ini adalah keajaiban, kata Che We. Dia berharap bisa mendedikasikan bangunan ini untuk mendorong studi tentang petaka yang mengancam Jakarta, desain arsitektur, seni, sejarah dan pusaka Jakarta.
“Pada pagi hari OLVEH akan menjadi office, siang hari menjadi tempat pameran seni dan lecturing room. Pada malam hari menjadi party room,” demikian angannya sembari setengah berkelakar.
Memecahkan Misteri Kode-kode
Che Wei pernah menunjukkan sebuah buklet saku lawas bertajuk “DE OLVEH VAN 1879” kepada para jurnalis pada suatu kesempatan. Isinya semacam jatidiri perusahan, keunggulannya, dan cara untuk menjadi nasabah asuransi Belanda itu.
Belakangan saya mengetahuinya bahwa sampul sisi dalam buklet itu menampilkan tiga sosok lelaki berbusana tradisi Cina, salah satunya sedang menggendong anak. Saya menanyakan temuan ini kepada Agni Malagina, sinolog dari Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
“Itu bertiga Fu-Lu-Shou,” ungkap Agni. “Tiga bintang.” Kemudian dia menerangkan simbol berikutnya, “Kelelawar itu lambang kesejahteraan. Bangau lambang hidup baik.”
Agni menjelaskan kepada saya tentang sosok tiga lelaki misterius yang ada di sampul dalam buklet saku itu. Fu, digambarkan sebagai seorang lelaki terpelajar yang sering menggendong anak atau dikelilingi oleh anak-anak. “Fu adalah dewa kekayaan atau kesejahteraan, bintang Fu, konon mengacu pada Planet Jupiter.” Dewa ini paling banyak disembah dan dipercaya memberikan kekayaan dan uang banyak. “Fu juga dianggap sebagai dewa keberuntungan.”
“Itu bertiga Fu-Lu-Shou,” ungkap Agni. “Tiga bintang.” Kemudian dia menerangkan simbol berikutnya, “Kelelawar itu lambang kesejahteraan. Bangau lambang hidup baik.”
Sosok kedua adalah Lu, “dewa kesejahteraan,” ungkap Agni. Lu kerap digambarkan berbusana jubah kebesaran pejabat masa dinasti. Dewa ini biasanya disembah orang Cina supaya karir dan pekerjaan mereka selalu baik. Mereka menganggap Lu akan membawa keberuntungan karir dan meningkatkan status sosial, ungkapnya.
“Shou dewa panjang umur,” papar Agni merujuk sosok ketiga yang paling sepuh. “Bintang shou. Bintang ini jika muncul atau terlihat di suatu wilayah maka dianggap membawa kedamaian di wilayah tersebut. Dewa ini digambarkan sebagai orang tua, kepala besar, berjenggot dan memegang tongkat kayu. Ia juga memegang buah pantao yang berkembang setiap 3000 tahun sekali, demikian kisah Agni kepada saya.
Namun, mengapa perusahaan asuransi Belanda menggunakan sosok dewa-dewa Cina dalam buklet penawarannya?
Agni mengungkapkan bahwa tampaknya kemunculan dewa-dewa kekayaan, kesejahteraan, dan panjang umur merupakan kiat OLVEH. Perusahaan itu menyadari dengan sungguh-sungguh untuk menyasar orang-orang Cina kaya di Batavia, yang pada umumnya masih lekat dengan budaya dan kepercayaannya. “Kemungkinan taipan-taipan yang mereka tuju adalah kaum Cina atau peranakan yang masih kental budayanya,” tuturnya.
Sebenarnya masih ada misteri lagi yang patut disingkap tentang OLVEH. Banyak pengunjung berlalu lalang sepanjang koridor utama yang menghubungkan pintu masuk dan ruangan perkantoran gedung mungil itu. Namun, sepertinya ada yang luput dari perhatian mereka.
Saya mengamati tiga poster yang menampilkan replika iklan lawas perusahaan asuransi ini. Ketiganya terpajang di dinding lantai dasar. Poster pertama menampilkan induk dan piyik pelikan. Kemudian di bagian tengah menampilkan poster nakhoda yang menerobos badai laut nan ganas. Poster terakhir menggambarkan nakhoda handal sehingga penumpang kapalnya merasa sangat aman.
Apa kaitan simbol pelikan dan nakhoda dengan misi perusahaan asuransi jiwa? Saya memotret ketiga poster tadi, dan mengirimkannya lewat surat elektronik kepada Lilie Suratminto, seorang yang menekuni makna simbol-simbol dalam tradisi Eropa. Dia merupakan pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang juga menjabat sebagai dekan pada fakultas tersebut.
Suatu pagi, tanda ikonis pada layar gawai cerdas saya menunjukkan surat elektronik yang masuk. Lilie membalas pertanyaan saya dengan pemaparan terperinci.
Perihal iklan pertama, Lilie mengungkapkan, “Perusahaan asuransi ini mengibaratkan dirinya sebagai seorang ibu yang ingin melindungi anaknya.” Lilie merujuk gambar seekor burung pelikan bersama piyiknya.
“Maknanya,” ungkap Lilie Suratminto, “di bawah perlindungan asuransi jiwa OLVEH, orang akan lebih terjamin dan penuh kepastian.”
Saya teringat sebuah legenda Eropa Kuno, yang berlanjut juga dalam tradisi Kekristenan. Ketika piyiknya kelaparan dan tidak ada makanan, seekor induk pelikan melukai dadanya sendiri dengan paruhnya, hingga berdarah. Dari jaringan dada yang tercabik dan berdarah itulah sang induk memberi makanan darurat kepada piyiknya. Saya pikir, inilah yang menjadi alasan orang Eropa menggunakan simbol pelikan sebagai tanda rasa kasih sayang dan perlindungan.
Kemudian, Lilie memaparkan makna iklam kedua dengan merujuk tulisan “EEN GOED STUURMAN”. Kapal OLVEH merupakan bahtera yang aman karena dijalankan oleh nakhoda yang baik, ungkapnya. Seorang nakhoda yang handal akan dapat melawan berbagai macam badai di lautan yang ganas.
Baca Juga : Cita Rasa Hilang dalam Penerbangan, Mengapa Hal ini Bisa Terjadi?
“Maksudnya agar nasabah tidak perlu khawatir karena OLVEH 'dinakhodai' oleh seorang 'stuurman' yang handal,” ungkap Lilie. Perusahaan asuransi jiwa ini mempunyai manajemen yang tidak perlu diragukan kehandalannya. Sang nakhoda tampak sangat geram menyaksikan pelikan yang tak berdaya lantaran tergulung ombak besar. Sebagai seorang yang penyayang binatang—mungkin—ia merasa kesal karena tidak dapat menolong burung tersebut, demikian paparnya.
Sementara untuk poster terakhir, Lilie merujuk sosok ibu dan anak yang wajahnya damai menatap ke depan. Mereka berdiri di belakang sang nakhoda yang gagah dan berwajah serius.
“Maknanya,” ungkap Lilie, “di bawah perlindungan asuransi jiwa OLVEH, orang akan lebih terjamin dan penuh kepastian.” Kemudian dia menambahkan, perusahaan asuransi ini akan menjamin kehidupan nasabahnya karena dikelola secara profesional.
Ketiga iklan tadi bertujuan membangun mitos perusahaan ini. Kesuksesan pengiklan adalah membuat suatu produk mencapai tingkatan mitos, demikian hematnya. Banyak pesaing akan berusaha mati-matian untuk saling mematahkan mitos pesaingnya.
“Jadi intinya,” tulis Lilie, “kalau mau hidup kita terjamin, masuklah asuransi OLVEH.” Kemudian dia menutup suratnya, “Ini adalah makna konotasi dari tampilan ketiga fragmen iklan tersebut.”
Di Balik Jendela Gedung Tua
Dari jendela ruang direktur di lantai dua, tampak pemandangan Stasiun BEOS, Jakarta Kota, yang dirancang oleh F.J.L. Ghijsels dan diresmikan pada 1929. Sementara OLVEH diresmikan pada 1922, ketika kawasan sekitarnya masih sepi, bahkan Stationsplein (kawasan antara Stasiun BEOS, NHM, dan NIH) belum dibangun. Kini, gedung itu berada dalam belitan gelumat kemacetan kota.
Saya berjumpa dengan Suci Khairunnisa Nabbila, salah seorang karyawan Sarasvati Art and Communication and Publication. Dia mengajak saya ke sudut-sudut ruangan yang menguarkan suasana lawas. Dari ruang kerjanya dengan jendela bukaan lebar, kami berlanjut ke ruang atasannya yang berpanorama suasana Stationplein, hingga ke lemari besi OLVEH.
Awalnya, Sarasvati Art berkantor di Gedung Kantor Pos Cikini, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sejak Gedung OLVEH selesai dipugar, mereka boyongan ke bangunan yang berusia hampir seabad itu.
Takdir mempertemukan OLVEH dengan para pelestari dan penyingkap misteri. Setelah ditemukan kembali, OLVEH tak lagi rebeh dan leceh. Tampaknya gedung-gedung pusaka Kota Tua Jakarta mendamba suratan serupa.
“Yang pasti harus berangkat lebih pagi karena OLVEH cukup macet. Naik kereta atau sepeda motor sama-sama lama,” ujar Nabbila yang tinggal di Kalibata. Kini, dia harus berangkat satu jam lebih awal supaya tidak terlambat ke kantor.
Selain soal macet, tempat makan menjadi perkara baru bagi Nabbila. “Terpaksa di fastfood dalam stasiun atau beradu nasib dengan makanan pinggir jalan yang kadang bikin seram.”
Baca Juga : Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita
Namun, Nabbila mengungkapkan kepada saya bahwa berkantor di gedung tua itu sesungguhnya menimbulkan kekaguman tersendiri. Dia menyebutnya sebagai “gedung yang anti-mainstream”. Jika umumnya orang-orang bekerja di gedung pencakar langit atau menara terkenal, Nabbila menikmati berkantor di gedung tua dan bersejarah. Kadang teman-temannya yang berkantor di gedung modern merasa heran: kenapa dia berkantor di sana, atau menanyakan seluk beluk nama gedungnya. Pada akhirnya, ungkap Nabbila, mereka justru kagum saat menyaksikan tempatnya bekerja sekarang.
Takdir mempertemukan gedung ini dengan para pelestari dan penyingkap misteri. Setelah ditemukan kembali, OLVEH tak lagi rebeh dan leceh. Suratan OLVEH telah menerbitkan kerinduan bagi berbagai bangunan pusaka Kota Tua Jakarta yang menantikan upaya penyelamatan dan pelestarian serupa. Semoga banyak bangunan pusaka yang menjumpai takdirnya sebagai bagian denyut peradaban hari ini. Semoga pula Kota Tua Jakarta menemukan jiwa kotanya kembali.
“Gedung-gedung tua menjadi bagus setelah direnovasi,” kata Nabbila. “Otentik dan artistik—Instagramable juga.”
(Kisah "OLVEH Simbol Jakarta yang Tenggelam" ini terbit pertama kali pada Maret 2016 dengan judul "Merindu Suratan OLVEH". Karya ini terpilih sebagai nomine dalam Hoesni Thamrin Award 2016)
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR