Saya ingin mengingat kembali sebuah kenangan lama. Pembahasan bertema arkeologi menjadi tema yang senantiasa memikat untuk diungkap oleh National Geographic Indonesia. Tema ini juga menduduki kelompok peringkat teratas yang digandrungi pembaca—baik pembaca versi cetak maupun daring.
Bahkan, edisi perdana National Geographic Indonesia—yang terbit pada April 2005—menampilkan cerita sampul temuan fosil manusia kate (Homo floresiensis) di Liang Bua, Flores. Raut wajah manusia kate itu direkonstruksi oleh seniman John Gurche, seniman asal Amerika yang pernah menjadi konsultan Jurassic Park. Sementara, kisah bertajuk “Mereka yang Terlewatkan Waktu” ditulis oleh Mike Morwood, Thomas Sutikna (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dan Richard Roberts. Fotografer yang bertugas, Kenneth Garrett.
Boleh jadi edisi ini merupakan kegegeran berganda yang kebetulan. Pertama, majalah yang ‘mengegerkan’ Indonesia karena memang baru terbit. Kedua, cerita sampulnya mengungkap temuan para arkeolog yang ‘menggegerkan’ dunia ilmu pengetahuan sejagad.
Baca juga: Ini Alasan Manusia Purba Menerapkan Kanibalisme untuk Bertahan Hidup
Namun, kita bolehlah mengutip pemeo lama bahwa sejatinya tidak ada kebetulan belaka dalam kehidupan ini. Saya meyakini perkara itu. Kisah feature tentang Homo floresiensis tadi ditakdirkan mengawali pertalian antara National Geographic Indonesia dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Kelak, pada tahun-tahun berikutnya, sederet kisah tentang temuan arkeologi telah memberi rona pada perjalanan media ini. Jurnalisme telah membuat temuan arkeologi menjadi suatu pembahasan yang menarik dan relevan untuk konteks masyarakat zaman sekarang.
Jurnalis dan Arkeolog
Semua orang paham bahwa keduanya memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat. Para ahli arkeologi telah berupaya menyingkap pesan peradaban, sementara para jurnalis—sebagai pembawa pesan—akan berupaya sebaik-baiknya mewartakan temuan mereka kepada semesta.
Apabila kita membicarakan perbedaan-dan-perbedaan-dan-perbedaan di negeri ini, saya yakin perkara itu menjadi pembahasan yang tak berkesudahan. Belakangan, saya teringat kata-kata Gus Dur, “semakin berbeda kita, maka semakin jelas titik persamaan kita.”
Jurnalis—khususnya di National Geographic—dan arkeolog memang berbeda, namun tidak selamanya berseberangan. Berita telah memuaskan dorongan hati manusia yang mendasar. Namun, salah satu persamaan jurnalis dan arkeolog, menurut pandangan saya, adalah keduanya tidak bermula dan berakhir dengan sekadar kabar atau berita. Sikap ingin tahu yang bangkit pada awal pemikiran keduanya merupakan dasar persamaan antara jurnalis dan arkeolog. Soal ini keduanya memang sama-sama kepo. Saya tidak mengada-ada—dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepo bermakna “rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain”.
Sisi persamaan lainnya, keduanya memiliki kewajiban pada akurasi, kejujuran, dan kebenaran. Dalam hal ini, jurnalis dan arkeolog bersama-sama melakukan verifikasi atas temuan mereka. Keduanya menyingkap kebenaran dalam peradaban yang samar-samar dengan cara memilah awal fakta dan informasi keliru yang turut hadir bersamanya.
Selanjutnya, jurnalis dan arkeolog juga memiliki kesamaan minat dalam menjelajah. Saya kagum dengan para arkeolog Indonesia yang telah memintas hutan, menjelajah gua, hingga menyelami lautan demi menyingkap peradaban Nusantara. Penjelajahan memang dapat lebih dalam mendefinisikan kehidupun kita. Kerap saya berpikir, sayang sekali apabila kerja keras mereka—bahkan sampai bertaruh nyawa—hanya berakhir di lemari buku. Sebagai pembawa pesan, seorang jurnalis acap kali berinisiatif untuk mewartakannya dalam kisah memikat. Harapannya, jurnalis akan meramu pengetahuan dalam laporan ilmiah tadi sehingga bisa dikemas lebih lezat saat disimak masyarakat.
Misi Si Pembawa Pesan
Sedimen Dasar Laut, 'Area Mati' yang Justru Penting dalam Ekosistem 'Blue Carbon'
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR