Nationalgeographic.co.id - Tempat ini jadi salah satu lokasi pelesir favorit di Jawa bagian tengah. Letaknya berada di dekat perbatasan wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Telaga Sarangan berada di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Berada di lereng Gunung Lawu yang berarti tak jauh dari perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur.
Mata Bripka Arif Budianto tajam mengawasi setiap kendaraan yang lewat di jalan menikung tajam di kawasan wisata Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Di tikungan tajam dengan tanjakan curam tersebut, dia dan belasan polisi lainnya sudah siap berjaga dengan kayu pengganjal ban. Anggota Polres Magetan itu mengaku sudah 6 tahun ditugaskan menjadi anggota ganjal ban di tanjakan di wisata Sarangan.
Baca Juga: Tak Gunakan Peluru Tajam: Kenali Verney-Carron, Pelontar Gas Air Mata yang Jadi Andalan Polisi
Dalam setahun, Bripka Arif mengaku bisa bertugas tiga kali, yaitu pada Hari Raya Lebaran, Tahun Baru dan Hari Raya Idul Adha. Pada saat itu, kunjungan wisatawan ke Telaga Sarangan mengalami kenaikan tajam.
Dia mengaku tahu betul tanda-tanda kendaraan yang tidak akan mampu menanjak sampai ke atas. "Biasanya kalau suara mesinnya berat, kami sudah waspada untuk mengantisipasi dengan ganjal," ujarnya Sabtu (8/6/2019).
Meski usia kendaraan sangat memengaruhi kemampuan menanjak di Jalur maut Sarangan, namun kebanyakan para pengguna jalan yang tidak bisa menanjak, biasanya adalah wisatawan jauh yang tidak mengetahui medan jalan di jalur tersebut.
Baca Juga: 110 Hiu Mati Mendadak di Penangkaran Karimunjawa, Pemilik Laporkan ke Kepolisian
Banyaknya tikungan serta curamnya tanjakan maupun turunan, lanjut Bripka Arif, sangat menyulitkan pengemudi yang baru pertama kali melewati jalur tersebut.
Dikerjai pengemudi
Banyak pengalaman berharga yang diperoleh Bripka Arif selama 6 tahun menjadi pasukan pengganjal ban di jalur wisata Telaga Sarangan. Bahkan dia sempat dikerjain oleh pengemudi yang berpura-pura motornya tidak kuat menanjak.
“Pernah juga dikerjain gitu, tetapi enggak apa-apa kami senang membantu masyarakat. Meski ada yang usil, tetapi lebih banyak yang berterima kasih karena dibantu,” imbuhnya.
Biasanya terhadap kendaraan yang terindikasi mengalami kesulitan mendaki tanjakan di Jalur Telaga Sarangan, pasukan ganjal ban terlebih dahulu akan mengingatkan pengemudi untuk menggunakan gigi satu.
Baca Juga: Kepolisian Halmahera Utara Tangkap Pemburu Burung Paruh Bengkok
Di sinilah pengalaman lucu lainnya muncul. “Spontan kalau ada motor yang tidak kuat, kami dorong sambil teriak gigi satu. Ada salah satu pengguna jalan yang teriak ini motor matik, gimana gigi satunya,” ujarnya sambil tertawa.
Selain meminta pemilik mobil atau motor untuk menggunakan gigi satu saat menanjak ataupun saat melalui turunan tajam, lanjtu Bripka Arif, mereka juga akan meminta pengguna mobil untuk mematikan AC mobil saat menanjak. Hingga hari ke-3 libur Lebaran pada tahun 2019, Polres Magetan mencatat tidak ada kejadian kecelakaan di jalur maut Sarangan.
Kapolres Magetan AKBP Muhammad Riffai mengatakan, untuk mengamankan jalur tanjakan dan turunan curam di jalur Telaga Sarangan ditempatkan 30 personel khusus menjadi pasukan ganjal ban.
“Sampai H+3 jalur Telaga Sarangan belum ada terjadi kecelakaan, kami harapkan seperti itu sampai hari libur Lebaran selesai,” katanya.
Saat ke Tawangmangu biasanya orang sekalian mampir ke Telaga Sarangan. Sekaligus mengetes kemampuan kendaraan. Soalnya dari Tawangmangu ke Telaga Sarangan harus melalui jalan menanjak berkelok atau turunan curam. Kendaraan yang kurang waras pasti kepayahan melalui jalur ini.
Telaga Sarangan memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman sekitar 28 meter. Ada yang unik dari telaga ini, yakni pulau yang ada di tengah telaga dan dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Menurut penduduk setempat, di pulau itu bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan, yaitu Kyai Pasir dan Nyai Pasir.
Dari legenda itu penduduk setempat juga sering menyebut Telaga Sarangan sebagai Telaga Pasir. Awal mulanya terbentuk telaga berasal dari cerita sepasang suami istri yang bernama Kyai dan Nyai Pasir. Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan sebagai suami istri tetapi belum dikaruniai seorang anak. Lalu Kyai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai anak.
Akhirnya mereka pun medapat seorang anak lelaki yang diberi nama Joko Lelung. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka bercocok tanam dan berburu. Karena pekerjaan yang dirasa berat maka Kyai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kesehatan dan umur panjang kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya, pasangan suami istri tersebut mendapat wangsit bahwa keinginannya akan terwujud jika ia dapat menemukan dan memakan telur yang ada di dekat ladangnya.
Ketika Nyai Pasir menemukan telur tersebut, ia membawanya pulang dan memasaknya. Telur kemudian dibagi dua, satu dimakan oleh Kyai Pasir dan yang satunya dimakan oleh Nyai Pasir. Setelah memakan telur tersebut Kyai Pasir pergi ke ladang. Dalam perjalanan itu badannya terasa panas dan gatal. Kyai Pasir tak kuasa menahan gatal itu dan menggaruknya hingga menimbulkan luka lecet di seluruh tubuh.
Akhirnya tubuh Kyai Pasir berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Hal yang sama juga terjadi dengan Nyai Pasir. Keduanya lalu berubah menjadi ular naga yang sangat besar dan berguling-guling di pasir sehingga menimbulkan cekungan yang semakin lama semakin besar dan dalam. Dari dalam cekungan keluar air yang sangat deras dan menggenangi cekungan tadi.
Menyadari kemampuan yang dimilikinya, Kyai Pasir dan Nyai Pasir berniat untuk membuat cekungan sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan Gunung Lawu.
Mengetahui kedua orangtuanya berubah menjadi naga besar dan memiliki niat buruk, maka Joko Lelung bersemedi agar niat tersebut dapat diurungkan. Semedi Joko Lelung pun diterima oleh Hyang Widhi. Saat kedua orangtuanya sedang berguling-guling membuat cekungan baru, timbul wahyu kesadaran agar Kyai dan Nyai pasir mengurungkan niat menenggelamkan Gunung Lawu.
Begitulah asal mula Telaga Pasir atau Telaga Sarangan yang sampai kini masih diyakini oleh penduduk setempat. Bahkan setiap menjelang bulan Ruwah (bulan puasa) selalu diadakan upacara bersih desa dan labuh sesaji dengan memberikan hasil desa untuk tolak bala dan memperingati terbentuknya Telaga Pasir. Upacara ini juga bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada roh leluhur yang merupakan cikal bakal Desa Sarangan yaitu Kyai Pasir.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR