Nationalgeographic.co.id— “Kakek leluhur saya mendarat di sini,” ujar Petrus Lawe Kolah. Lelaki tua itu menunjuk lokasi pada peta yang tergantung di dinding. Lalu dia berucap, “Pantai Graki.”
Malam itu Petrus baru saja pulang dari pantai pasir putih yang menandai nama leluhurnya. Menurut kisah keluarga, leluhurnya adalah seorang Cina asal dari Jawa yang datang berabad silam. Keluarganya pun mengenang sang leluhur dalam untaian kata sastrawi, Graki Tasi Tuki Huri Sina Haka Jawa Gere.
“Graki Tasi, artinya turun ke laut. Tuki Huri, artinya angkat layar. Sina Haka, artinya asal dari Cina. Jawa Gere, artinya asal dari Jawa,” kata Petrus. “Dia digambarkan seorang pelaut yang gagah perkasa.”
Kakek leluhurnya menikahi perempuan asal Ile Mandiri, gunung api yang berada di seberangnya. Kemudian, pasangan itu membangun permukiman di perbukitan. Permukiman mereka berpindah-pindah sampai pada akhirnya keturunan mereka membangun permukiman di pesisir bernama Likotuden. “Liko artinya terlindungi atau melindungi. Tude berarti berteduh,” ungkap Petrus. “Likotuden bisa bermakna tempat perlindungan yang aman.”
Pasangan itu melahirkan marga Kolah, salah satu dari dua marga asli di kampung itu yang masih berlanjut hingga sekarang di Likotuden. Dusun ini diyakini yang tertua di Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari Maumere.
Dusun terpencil dan terkucil ini berada di kaki gunung api purba, yang dinding kalderanya tampak menganga ke arah dusun. Tak satupun kisah yang diingat warga tentang erupsi terakhir gunung itu. Namun, tampaknya kaldera itu pecah karena erupsi dahsyat pada ribuan tahun silam. Material erupsinya melaju beberapa kilometer hingga mendesis karena menjamah air laut. Sampai hari ini, jejak erupsi dahsyat itu masih membekas di dusun dan ladang yang tandus. Sejauh mata memandang, terhampar tanah berpasir dan berbatu-batu.
Baca Juga: Berikhtiar Merawat Benteng Kehidupan
Begitu tandusnya, sehingga hanya tanaman padi ladang dan jagung yang bisa tumbuh di sini. Ketandusan itu lengkap kiranya karena musim hujan pun berderai selama tiga-empat bulan saja. Sungguh misterius karena belahan lain gunung ini tampak hijau, basah, dan subur.
Saya bertanya kepada Petrus, mengapa dusunnya begitu tandus, nyaris tak ada tanaman tumbuh saat kemarau. Sumber air pun tak ada yang mengalir langsung di desa ini.
Dia mengisap sigaret dalam-dalam, lalu mengembuskannya. “Ada legenda mata air Wae Kela,” ujarnya. Dia memulai bercerita,“Ada leluhur terganggu dengan suara derasnya air. Mereka pun menyumbat mata air tersebut. Sejak saat itu tiga sumber air di sini menyusut.”
Kehidupan Likotuden memang tergantung dari curah hujan, yang saat musim hujan turun pun airnya masih kurang. Musim hujan di dusun ini hanya mengguyur selama tiga-empat bulan, sementara musim kemaraunya tujuh-delapan bulan. Kendati jaringan pipa air minum sudah terpasang, pada kenyataannya belum tentu setiap hari air mengucur.
“Yang membuat sedih mama,” ujar Agata Hore Kolah, “ekonomi keluarga tidak bisa menjamin anak-anak sekolah lebih lanjut.” Siang itu Mama Agata begitu cantik dengan kain tenun khas Likotuden yang berona merah Perempuan berusia 45 tahun itu menambahkan, “Untuk menanam tanaman yang menunjang kebutuhan keluarga itu sulit karena hidup tergantung air hujan.”
Selama beberapa dekade belakangan, perekonomian warga Likotuden didukung hanya dua pekerjaan, yaitu utamanya bertani dan selebihnya mencari ikan.
Mereka awalnya hanya menanam padi jagung dan kacang. Namun, setiap tahun mereka selalu mengalami gagal panen karena curah hujan kurang.
Kondisi dusun telah menciutkan harapan anak-anak mudanya. Salah satunya adalah anak lelaki sulung Mama Agata yang memilih meninggalkan dusunnya. Dia merantau sebagai pegawai penjualan toko minuman di Jakarta. Itulah yang membuat Mama Agata sedih karena dia harus berpisah dengan sang anak.
Namun, semenjak lima tahun silam bibit-bibit sorgum mulai diperkenalkan kepada warga Likotuden. Mama Agata dan segelintir warga mengawali harapan dengan menanam sorgum kendati panen sekali dalam setahun.
Tahun lalu, di ladangnya yang seluas satu hektare, Mama Agata menuai hasil panen sorgum sebanyak satu ton. Sementara panen beras padi ladang hanya lima karung dan ladang jagungnya memberikan satu karung. Kesulitan air untuk pertanian telah membuat Likotuden benar-benar dahaga.
Pembangunan Embung Raksasa
Suatu sore dengan mendung menggelayut pada akhir Desember, saya menumpang mobil milik Romo Benyamin Daud. Kami meninjau lokasi pembangunan embung raksasa di sehamparan tanah berbatu di kaki bukit Bacina.
Embung atau bangunan penampung air digunakan untuk mengatur dan menampung pasokan air hujan. Di beberapa daerah, bangunan air ini telah digunakan untuk sumber air saat kemarau, pengairan, budidaya perikanan, hingga ekowisata. Embung dapat meningkatkan produktivitas pertanian, memungkinkan petani untuk panen dua hingga tiga kali dalam setahun.
Ketika kami berada di lokasi, para pekerjanya tengah melapisi embung itu dengan membran plastik untuk mencegah kebocoran. Embung ini berdaya tampung hingga 12 juta liter air. Harapannya, pada awal Januari 2020, ketika musim hujan menghapus tanah-tanah tandus, embung ini sudah bisa menampung air.
Baca Juga: Peneliti: Tanaman Akan 'Panik' Ketika Terkena Air Hujan
Program pembangunan embung ini didukung dan didanai sepenuhnya oleh Coca-Cola Foundation Indonesia. Yayasan ini dibangun oleh PT. Coca-Cola Indonesia dan PT. Coca-Cola Amatil Indonesia untuk meningkatkan pendidikan dan kualitas sumber daya masyarakat Indonesia, kesejahteraan sosial dan pengembangan masyarakat. Salah satu programnya adalah Program Air Masyakarat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih dan memperkenalkan kebiasaan hidup sehat. Yayasan ini juga berkomitmen untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDG) atau pembangunan berkelanjutan yang tengah dijalankan oleh pemerintah Indonesia.
Lahan pembangunan embung di Likotuden ini seluas satu hektare, yang merupakan tanah yang dihibahkan oleh Bonifasius Soge Kolah. Lelaki berusia 35 tahun itu memiliki perhatian besar untuk perkembangan pertanian desanya.
Coca-Cola Foundation Indonesia juga membangun embung di Desa Nuhalolon, Pulau Solor, Flores Timur. Likotuden dan Nuhalolon hanya dipisahkan oleh selat sempit, yang kerap dilintasi paus-paus yang bermigrasi. Di pulau gunung berapi itu sebuah embung berkapasitas lima juta liter menjadi tumpuan harapan warganya. Lahan pembangunan embung itu luasnya sekitar satu hektare, yang dihibahkan oleh Markus Mulai Keray, Kepala Desa Nuhalolon. “Nama embung kami adalah Oring Klituk,” kata Markus. “Artinya, Pondok dengan dinding dan atap dari daun lontar.”
Baca Juga: Air Bersih untuk Kesejahteraan dan Kesehatan Suku Anak Dalam
Markus mengatakan bahwa manfaat embung nantinya akan banyak mengairi kegiatan pertanian dan peternakan. Dari sisi pertanian, sorgum bisa beberapa kali tanam, atau tunasnya bisa lebih produktif lagi sehingga memungkinkan beberapa kali panen. Tanaman lain pun bisa tumbuh lebih produktif, seperti jagung, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan.
“Embung sangat membantu petani karena ini lahan kering,” ujar Romo. “Bayangkan tiga-empat tahun lagi di wilayah ini yang kering kerontang bisa jadi suplai sayur dan buah-buahan ke Larantuka. Saya melihat beberapa tahun ke depan kehidupan petani di Likotuden semakin baik.”
Embung-embung itu membuka harapan yang lebih luas lagi bagi kesejahteraan warga. Mereka bisa bertanam dan memanen sorgum lebih dari sekali, mungkin tiga kali panen dalam setahun. Apabila air dari embung itu mengaliri ladang-ladang yang selama ini kering, para petani memiliki kesempatan menanam tanaman sayuran dan buah-buahan lain—seperti bayam, pepaya, dan pisang.
“Saya merasa bersyukur sekali,” ujar Mama Agata berbinar, “kalau embung ini sudah jadi, orang Likotuden yang utama tidak usah beli air lagi.” Kemudian dia melanjutkan, “Yang kedua, orang Likotuden bisa menanam tanaman umur panjang—dikonsumsi atau dijual untuk menambah ekonomi keluarga.”
Lewat embung ini dia juga berharap kepada anaknya yang di tanah rantau supaya bisa menyaksikan perubahan di Likotuden. Semoga saja, demikian impian Mama Agata, anaknya dan pemuda dusun lain yang merantau bisa tertarik kembali pulang ke Likotuden. “Harapan saya, anak bisa kembali supaya bisa melanjutkan pekerjaan mama dan bapanya di sini.”
Memuliakan air dan Kedaulatan pangan
Teriknya matahari tak kuasa menembus tajuk-tajuk dua pohon roa. Mama Maria Loretha, yang kini dikenal sebagai pejuang sorgum atau mama sorgum, duduk berlandaskan batu-batu vulkanik di depan pondokannya di pesisir Likotuden. Perempuan berusia 51 tahun itulah yang memperkenalkan sorgum ke warga Likotuden. Kendati bukan warga setempat, Mama Loretha begitu jatuh cinta kepada dusun ini.
Sejak panen sorgum yang pertama, dia menyaksikan perubahan cara berpikir warga dusun. Mereka tidak sangka bahwa lahan yang mereka anggap selama ini tidak mampu menumbuhkan tanaman pangan, ternyata menghasilkan tanaman pangan yang berlimpah. “Ada kebanggaan [dari dalam diri warga],” kata Mama Loretha. “Ternyata sorgum memberikan harapan yang luar biasa untuk keberlangsungan hidup.”
Baca Juga: Pemanasan Global, Bagaimana Dampak Mencairnya Es Pada Laut Indonesia?
Kita kerap melihat Likotuden sebagai dusun dahaga. Namun, warga dusun ini sejatinya sudah terbiasa dengan kekurangan air. Mereka tertib mengantre dan tidak pernah berselisih soal air. Bisa dibayangkan, jatah air untuk mereka adalah seminggu sekali. Kemarau tahun lalu adalah yang terpanjang dan tersulit. “Satu bulan terakhir untuk pertama kali,” kata Mama Loretha, “saya dan masyarakat di dusun ini membeli air.”
“Nah, harapan saya dengan kehadiran embung,” imbuhnya, “embung bukan hanya sekadar menyirami tanaman seperti sorgum, tetapi juga bisa meningkatkan gizi masyarakat dengan tanaman sayuran—seperti sayur bayam atau pohon buah.” Kemudian dia buru-buru melanjutkan, “Tetapi ada yang lebih urgent. Air di embung ini bisa dimanfaatkan untuk kehidupan paling vital bagi manusia—minum, memasak, dan sanitasi.”
Kesakralan manusia
Saat air hujan menembus tajuk pohon asam, Romo Benyamin Daud bersama beberapa warga sedang menggelar misa pemberkatan kebun. Mereka bersatu dalam ketakziman tajuk pohon asam dan serasah yang memerah.
Pada sore itu, Romo Benyamin memberkati ladang sorgum dengan doa dan harapan. Hujan di akhir tahun dan pembangunan embung telah membuka harapan di tahun baru.
Kaki gunung api purba itu segera menuntaskan dahaganya. Embung-embung itu menjadi pucuk harapan warga. Kelak, berkat air dari embung itu mereka tak perlu menanti hujan untuk bertanam dan berkebun. Panen pun bisa lebih dari sekali dalam setahun. Semoga semesta merestuinya.
Kami kembali teringat kisah Petrus Lawe Kolah tentang legenda yang dituturkan turun-temurun tentang leluhur yang menutup sumber air, yang menyebabkan dusunnya tandus. Seperti apakah kejadian sesungguhnya, tak seorang pun mengetahuinya. Namun, Petrus tampaknya mampu menangkap pesan permasalahan dari legenda itu. “Tugas kita sekarang adalah 'membuka sumbatan' yang menutup mata air itu,” pungkasnya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR