Coba bayangkan, ketika selesai beraktivitas seperti pulang kerja, perut mengeluarkan suara indah bersama koloninya yang melancarkan demo meminta untuk diisi. Kemudian, tanpa sengaja melintasi jalanan yang terdapat makanan pinggir jalan. Dengan ciri khas aroma api membakar arang disertai kepulan asap. Potongan daging ayam, sapi, atau kambing yang ditusuk pada batang bambu runcing seperti memanggil ingin segera disantap bersama bumbu kacang manis nan gurih.
Dialah sate. Salah satu dari 50 makanan terenak di dunia pada 2016 versi Cable Network News (CNN). Sate merupakan makanan yang cepat, enak, dan sangat ramah di kantong. Ditambah taburan bawang goreng yang menambah aroma serta cita rasa. Jangan lupa, acar! Sebuah pelengkap yang wajib ada di makanan Indonesia.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tiga sekawan lulusan Universitas Negeri Medan, Muhammad Yusuf Nasution, Ashar Hasairin, dan Tri Harsono yang bertajuk Kajian Keragaman Jenis dan Laju Pertumbuhan Kapang Dalam Acar Limau Kasturi (Citrofortunella Microcarpa) Makanan Masyarakat Melayu, menyebutkan bahwa acar merupakan salah satu makanan fermentasi tradisional yang cukup digemari oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Acar berasal dari kata “Achar” dalam bahasa Hindu atau “Pickle” dalam bahasa Inggris, memiliki arti hidangan sampingan yang dicampur dengan berbagai bumbu sehingga memiliki rasa asam ataupun pedas. Acar sering disajikan pada acara-acara adat dan hari besar keagamaan.
Acar berwarna-warni yang berisi timun, wortel, cabai, sampai bawang merah merupakan teman andalan dari sate, nasi goreng, dan makanan Indonesia lainnya. Meski berbeda tampilan dari acar di berbagai negara tetapi rasanya tetap membuat kangen. Rasa asin, manis, serta segar dari cuka menjadi satu dan menari di dalam mulut. Adanya acar menjadi penyegar ketika menyantap makanan yang berminyak atau berlemak.
Menurut Supardi dan Sukamto (1999), pada dasarnya acar merupakan makanan yang diberi perlakuan dengan pemberian asam cuka, garam, gula, dan dicampur dengan rempah-rempah lainnya. Pemberian asam cuka, gula, garam, dan rempah-rempah tidak hanya menambah rasa pada makanan, tetapi juga berfungsi sebagai bahan pengawet.
Teman setia makanan Indonesia ini ternyata sudah ada sejak 4.000 tahun yang lalu. Berdasarkan laman History.com, Cleopatra, Julius Caesar, dan Napoleon Bonaparte bersumpah bahwa kemunculan acar dimulai lebih dari 4.000 tahun yang lalu ketika orang Mesopotamia kuno merendam mentimun di air garam asam untuk mengawetkannya.
Hal ini juga didukung dalam laman New York Food Museum yang menunjukkan mentimun, bahan dasar acar, disebutkan dua kali dalam Kitab Injil. Sejarah pun menetapkan penggunaan pertama mentimun, buah asli India, lebih dari 3.000 tahun yang lalu di Asia Barat, Mesir Kuno, dan Yunani.
Dibalik kesegaran acar, perjalanannya sampai hari ini sangat panjang. Pada abad ke-19 tahun 1893, H.J Heinz, seorang "Raja Acar' membagikan secara gratis satu juta acar pada pameran dunia Chicago. Strategi ini menjadi langkah pemasaran paling sukses dalam sejarah Amerika Serikat. Kemudian H.J. Heinz Company, Inc. mengulangi strategi pemasaran yang sama pada pameran dunia tahun 1896, 1898, dan 1939.
Melansir Boldsky.com, mengkonsumsi acar yang berlebihan bisa berbahaya untuk kesehatan. Mengkonsumsi acar berlebihan bisa menyebabkan kembung. Kandungan garam dalam acar yang tinggi bisa menyebabkan hipertensi hingga menyebabkan gangguan pencernaan seperti diare. Sekali lagi, berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan.
Lalu bagaimana baiknya mengkonsumsi acar yang tepat?
Buatlah sendiri acar di rumah. Sesuaikan takaran gula, garam, dan cuka agar tidak menimbulkan rasa yang terlalu tajam. Atau bila terpaksa memakan acar di luar rumah, konsumsi secara bijak dan jangan berlebihan. Karena dengan cara tersebut, kita tetap bisa menikmati segarnya acar bersama sate atau nasi goreng.
Source | : | boldsky.com,history.com |
Penulis | : | Bella Jingga Ardilla |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR