Nationalgeographic.co.id – Saat ini, rempah menjadi andalah masyarakat Indonesia untuk membentuk kekebalan tubuh.
Selain upaya seperti menjaga pola hidup dan konsumsi suplemen modern, jamu-jamu yang berisi rempah Nusantara dikonsumsi juga untuk menangkal risiko sakit di masa pandemi.
Manfaat rempah dalam membangun kekebalan tubuh ternyata tak lepas sains. Seperti makanan dan obat-obatan modern, di dalam rempah terdapat mikrobioma yang menjaga keseimbangan kerja tubuh manusia.
Untuk mengupas tuntas hal tersebut, Nusantics bersama National Geographic Indonesia (NGI) lewat kampanye #SayaPilihBumi menggelar webinar bertajuk “Sains Mikrobioma dalam Tradisi Rempah Nusantara”. Webinar tersebut disiarkan melalui kanal YouTube Saya Pilih Bumi, Minggu (27/6/2021).
Baca Juga: Berjalan Kaki Antarnegara, Keniscayaan pada 250 Juta Tahun Lagi
Founder dan CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, dalam pemaparannya mengatakan bahwa makanan maupun obat tradisional mengandung berbagai mikrobioma yang berperan untuk membentuk keseimbangan dalam tubuh seseorang.
“Pernah tidak kita bertanya, kenapa masyarakat di daerah atau wilayah terpencil rata-rata memiliki sistem imun tubuh yang bagus, enggak gampang sakit, padahal makanannya masih tradisional. Alasannya karena mikrobioma dari makanan tradisional tersebut,” kata Sharlini.
Sebagai informasi, mikrobioma merupakan kumpulan dari triliunan mikroorganisme yang mendiami tubuh manusia. Mikrobioma tersebut terdiri dari bakteri, virus, fungi, hingga sel manusia atau gen di dalamnya.
Sharlini juga mengungkapkan akan pentingnya memahami peran mikrobioma di dalam tubuh manusia. Menurutnya, tanpa bantuan mikrobioma, tubuh manusia tidak akan bertahan hidup dengan sendirinya. Inilah alasan mengapa manusia tidak bisa lagi menganggap dirinya sebagai makhluk tunggal.
Baca Juga: Mengenal Gua Theopetra Yunani, Jadi Bangunan Tertua di Dunia
“Kita harus mengubah paradigma, karena sejatinya manusia tidak bisa hidup tanpa mikrobioma. Sebaliknya, kita sangat bergantung dengan mikrobioma,” ujar Sharlini.
Senada dengan Sharlini, Dosen Teknologi Pangan Universitas Bina Nusantara Inggrid Suryati Surono mengatakan, tubuh manusia merupakan planet bagi para mikrobioma. Dalam pemaparannya, Inggrid mengungkapkan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat 500 sampai 1.000 spesies mikrobioma.
“Ada lebih dari 600 spesies yang tinggal dan menyebar di dalam tubuh manusia. Sementara di saluran pencernaan, ada lebih dari 1.000 spesies (yang tinggal) karena saluran pencernaan lah yang paling banyak terpapar mikroba dari luar,” kata Inggrid.
Menurutnya, makanan yang masuk ke dalam tubuh terdiri atas dua kategori mikrobiota atau jenis mikroba yang ada pada makanan atau tanaman, yakni mikrobiota baik atau mikrobiota jahat. Ketika tubuh memiliki mikrobioma baik yang kuat, mikrobiota jahat dapat dikalahkan oleh tubuh.
Baca Juga: Hatshepsut, Sang Ratu Mesir Kuno Pertama Yang Memiliki Jenggot
Namun, ketika formasi mikrobioma baik pada tubuh menurun, maka tubuh akan rentan terserang mikrobiota jahat tersebut.
“Kalau formasi mikrobioma baik lebih mendominasi, senyawa metabolit berupa racun dari luar bisa dengan mudah ditumbangkan. Namun jika tidak, metabolit tersebut akan menjadi alergen yang akhirnya membuat kita sakit atau tidak nyaman,” lanjutnya.
Pentingnya mengonsumsi rempah dan makanan fermentasi
Secara umum, Inggrid mengungkapkan bahwa untuk memperkuat mikrobiomia dalam tubuh, konsumsi makanan tepat menjadi kunci utama. Salah satunya dengan mengonsumsi makanan tradisonal atau herbal yang berasal dari rempah.
“Secara umum, makanan tradisional Indonesia itu didominasi oleh bakteri asam laktat dan difermentasi secara spontan, terutama jika bukan dari industri besar. Misalnya tempe, sayur asin, atau dadih,” ujar Inggrid.
Baca Juga: 'Manusia Naga' Julukan Spesies Manusia Baru yang Ditemukan di Tiongkok
Meski diolah secara tradisional, makanan tersebut diakui Inggrid mampu berfermentasi dengan baik dan aman untuk dikonsumsi. Hal tersebut tidak lepas dari banyaknya bakteri baik yang berkumpul di dalam makanan dan membentuk mikrobiota.
“Salah satu proses fermentasi yang membuat kagum adalah dadih. Berasal dari susu kerbau yang diperas dan disimpan di dalam tabung bambu lalu ditutup dengan plastik, proses pembuatannya sebenarnya (terkesan) tidak higienis. Namun, tidak ada orang yang sakit ketika mengonsumsi minuman ini,” katanya.
Melalui penelitian mendalam, Inggrid menemukan bahwa terdapat mikroorganisme yang kuat di dalam proses pembuatan dadih tersebut. Melalui mikroorganisme inilah, proses fermentasi terhindar dari bakteri penyebab penyakit, sehingga aman dikonsumsi oleh tubuh.
“Dari sini bisa kita lihat, ada mikroorganisme kuat yang membuat bakteri jahat itu mati. Ketika makanan tersebut terfermentasi dengan sempurna, maka mikrobiota tersebut juga akan diterima baik oleh tubuh. Makanya, tidak heran dadih dianggap menyehatkan bagi masyarakat sekitar,” lanjutnya.
Sementara itu, terkait dengan konsumsi rempah, Inggrid menyebut, rempah merupakan salah satu bahan dasar makanan yang kaya akan anti oksidan. Adanya mikrobiota yang terkandung di dalamnya inilah yang nantinya akan berfungsi sebagai pengganti mikrobioma yang sudah tumbang di dalam tubuh.
“Di dalam tubuh, mikroba baik dan jahat akan nempel dan berebut tempat di saluran pencernaan. Untuk itu, usahakan semaksimal mungkin mengonsumsi herbal, rempah, serat, sayuran, atau makanan dan minuman fermentasi agar bakteri baik itu lebih dominan,” tegasnya.
Melestarikan budaya rempah
Guna melestarikan budaya dan tradisi, diperlukan suatu gerakan yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya konsumsi rempah dan produk fermentasi. Beruntung, saat ini cukup banyak generasi muda yang sadar akan pentingnya pelestarian adat dan kearifan lokal. Salah satunya seperti yang dilakukan Founder Yayasan Arus Kualan Plorentina Dessy Elma Thyana.
Melalui yayasan miliknya, ia mengajak kaum muda untuk menerapkan kembali adat istiadat dan tradisi Dayak. Hal tersebut ia lakukan dengan cara mengenalkan dan mempelajari obat-obatan herbal dari tumbuhan hutan, meracik herbal sederhana, mengolah rempah-rempah, hingga mempelajari makanan tradisional.
Baca Juga: Empat Varian Covid-19 Ada di Jakarta, Perlukah Dosis Vaksinasi Ketiga?
“Dalam kelas, ada kelas obat-obatan dan makanan tradisional Dayak. Banyak sekali tumbuh-tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat. Adapun resep tersebut diturunkan dari para tetua kami,” kata Dessy dalam kesempatan serupa.
Sementara terkait dengan masakan tradisional, Dessy menyebut, ia dan anak didiknya kerap mencari bahan makanan di hutan sekaligus mencoba memasak menggunakan bambu sebagai media memasak.
“Untuk masakan, biasanya saya dan anak-anak suka mencari rebung, melinjo, pakis, dan lainnya untuk digunakan sebagai bahan memasak. Media memasaknya pun sama, kami menggunakan kayu dan bambu sebagai alat masak alami,” lanjut Dessy.
Melalui kegiatan tersebut, baik Dessy maupun Sharlini berharap, masyarakat masih tetap mau untuk mengonsumsi makanan maupun rempah tradisional, bukan hanya sebagai langkah untuk memperkuat mikrobioma tetapi juga sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya.
“Layaknya negara, kebhinekaan atau variasi mikrobioma dalam tubuh sangat penting untuk menjaga diri agar tetap sehat. Untuk itu, mengonsumsi rempah dan makanan tradisional bukan saja membuat tubuh lebih kuat, tapi juga menjadi salah satu cara untuk merawat diri sekaligus menjaga budaya yang ada,” tutupnya.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR