Kondisi ini menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan robotika di Tanah Air. Sejak lama, penggunaan robot dalam industri di-khawatirkan mencaplok kesempatan kerja yang seharusnya jadi jatah angkatan kerja yang jumlahnya terus bertambah. “Robot memang tidak insentif, justru negatif terhadap tenaga kerja,” kata pakar robotika Wahidin Wahab.
Pada 1985, Sudomo, Menteri Tenaga Kerja saat itu, khawatir akan kehadiran teknologi. Ia melarang PT Fairchild Semiconductor In-donesia memecat 560 buruhnya. Penggunaan robot jadi alasan pemecatan.
!break!
Kondisi PHK saat itu sudah mengkhawatirkan. Sejak tahun 1982 hingga Maret 1985, sudah 80 ribu buruh dipecat dengan berbagai alasan. Resesi dan harga minyak saat itu membuat industri terpukul. “Fairchild adalah perusahaan padat karya, tidak boleh memecat buruh dengan alasan menggunakan robot,” katanya kepada majalah Tempo waktu itu. Di lain pihak, Fairchild ingin menjadi perusahaan padat teknologi.
Wajar saja Fairchild tergiur penggunaan teknologi. Robot disebut-sebut dapat meningkatkan efisiensi waktu produksi hingga 50 persen dan menjanjikan penghematan luar biasa. Fairchild akhirnya pergi dari Indonesia pada Juli 1986. Sudomo, seolah menutup perdebatan, mengatakan, “Teknologi yang kita inginkan adalah teknologi yang menciptakan, bukan menutup, lapangan kerja.”
Saat ini, 25 tahun kemudian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak sekeras dulu. Mereka menganjurkan segala bentuk PHK dikomunikasikan dengan baik secara internal agar tidak terjadi gejolak. “Keputusan (penggunaan teknologi) tidak tiba-tiba toh?” kata Mira Maria Hanartani, Dirjen Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kemudian, PHK dapat dikomunikasikan kepada kementerian untuk dikaji. Mira juga mengharapkan kompensasi pemberian keterampilan bagi korban PHK. “Paling penting, semua harus sesuai UU Nomor 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan,” tegasnya.
“Sekarang sudah agak beda,” kata Wahidin yang juga ketua Asosiasi Robotika Indonesia. Wahidin menambahkan bahwa tenaga kerja se-karang seharusnya lebih cerdas, sehingga sejalan dengan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Masalah lain, menurutnya adalah dana. Utamanya, dana pembuatan perangkat keras. Sebuah robot pemadam api sederhana—yang bergerak dengan tenaga baterai AA, menggunakan dua motor sehingga hanya bisa maju atau mundur dengan dua kaki—butuh biaya hampir Rp2,5 juta. Biaya yang cukup mahal untuk sebuah robot sederhana dengan gerakan jauh dari sempurna. Robot sekelas Nao dari Prancis, menurut Wahidin, dibuat dengan biaya dua kali lipat harga jualnya. Jadi, jika harga jual Nao adalah US$13.000, maka biaya pembuatannya sekitar US$26.000.
!break!
“Tapi jangan pesimistis,” ujar Wahidin. Menurutnya, robot bisa dikembangkan dari sisi peranti lunaknya lebih dulu. Di Universitas Indonesia, tempatnya sekarang mengajar, fokus penelitian robotika adalah mengembangkan algoritma. “Ketika dana sudah cukup untuk pembelian mekanik, pengembangan bisa dilanjutkan,” katanya.
Masalah dana juga sempat dirasakan tim langganan juara Unikom. Jejak robot-robot yang mereka buat sebelum tahun 2006 hanya tampak pada robot-robot baru, tanpa bentuk fisik. Setelah tim robotika Unikom berkali-kali juara internasional, universitas mengeluarkan kebijakan baru. “Robot-robot yang juara ‘disita’ kampus, masuk museum. Kami dapat dana baru lagi,” kata Yus.
Meski masalah dana sudah teratasi—setidaknya bagi Divisi Robotika Unikom—tetap saja ada masalah lain. Beberapa suku cadang tidak tersedia di Indonesia, harus diimpor dengan harga yang belum tentu murah. Hal tersebut diakali Yus dan siswa-siswanya dengan “menganibal” barang-barang elektronik. “Tahu sistem nampan di robot pelayan diambil dari apa? Ini diambil dari DVD-ROM yang sudah tidak dipakai,” Yus menjelaskan. Akan tetapi di ITB, “kanibalisme” terhadap robot lama masih terjadi. Robot juara tidak masuk “museum” kampus, tapi dikembangkan menjadi robot generasi baru. “Ini sudah empat tahun dikembangkan,” kata Samratul merujuk robot berkakinya yang jadi juara di KRCI 2011.
!break!
Di dalam gudang di depan gedung kantor Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI, kami harus melewati tumpukan barang yang tampak seperti rongsokan. Di sudut ruangan, di atas sebuah tutup kerat kayu, terlihat sebuah robot. MOROLIPI, nama robot itu, sebuah robot penjinak bom. Ada tiga lengan—panjang setiap lengan 70 sentimeter—terpasang di bagian atas robot. Mereka saling tersambung dan dapat menekuk hingga lima derajat kebebasan (Degrees of Freedom). Di ujung lengan ada sebentuk tangan manusia. “Seharusnya di situ alat untuk memotong kabel. Tetapi, belum sempat saya ganti setelah pameran. Waktu itu, saya pasang tangan supaya bisa diajak salaman,” kata Roni Permana, peneliti bidang robotika dan mekatronika LIPI sambil mengutak-atik alat pengendali.
MOROLIPI adalah robot hasil produksi para peneliti LIPI. Lembaga penelitian nasional tersebut sudah mengembangkan robot penjinak bom ini sejak tahun 2006. Ironisnya, pada saat penggerebekan di Temanggung, Jawa Tengah pada 2009, bukan MOROLIPI yang beraksi. Densus 88 menggunakan robot impor yang harganya miliaran rupiah. Roni menjelaskan kalau MOROLIPI, yang biaya produksinya sekitar Rp500 juta, belum siap produksi. “Purwarupa saja belum,” katanya. Meskipun demikian, saat ini Roni dan timnya sedang mempersiapkan MOROLIPI versi kedua. “Mudah-mudahan selesai tahun 2011 ini,” katanya.
MOROLIPI merupakan salah satu bukti bahwa ilmuwan Indonesia sebetulnya mampu membuat sebuah robot yang aplikatif, tetapi tidak membuat resah tenaga kerja. “Kalau manusia yang menjinakkan bom itu kan berbahaya,” kata pria lulusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada angkatan 2003 itu. Robot-robot yang seperti itulah yang menurut Yus sebaiknya dikembangkan. “Kita bikin robot yang tidak me-nambah penggangguran dong,” katanya. “Misalnya selain penjinak bom, di Jepang, ada robot pemeriksa radiasi nuklir, atau robot industri yang bekerja di dalam ruangan kedap udara atau ruangan bersuhu tinggi,” katanya.
Penelitian di beberapa universitas juga sudah mengarah ke sana. Tahun 2009, dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dibantu lima mahasiswanya membuat robot bawah laut RJ-45. Robot yang hingga uji coba menelan biaya Rp100 juta tersebut dipakai untuk memantau keadaan rumah ikan di Kepulauan Seribu, Jakarta. Itu baru satu contoh. Masih ada beberapa penelitian robotika sejenis.
Masalahnya, siapa yang mau memproduksi? Yus menolak kalau universitas diminta memproduksi robot. “Di sini tempat belajar. Kami berinovasi. Produksi, tanggung jawabnya bukan pada universitas,” tegasnya. Ia mengharapkan campur tangan industri dan pemerintah, dalam industri robotika. “Supaya anak-anak ini ada yang menampung,” harapnya.
!break!
Yus tahu persis pengorbanan binaannya untuk mengembangkan robot. Untuk mengembangkan kreasi robot, “Saya berhenti kos dan tinggal di sini,” kata Hari Saffarudin, anggota Divisi Robotika Unikom. “Saya makan di sini, mandi di sini, penelitian di sini, tidur juga di sini.” Namun, kerja keras dan pengorbanan seakan terbayar ketika menjuarai kompetisi. Selain jadi selebritas nasional, pemenang mendapatkan uang dan pengalaman baru.
Seusai pertandingan final KRI 2011 antara PENS-ITS Surabaya dan Politeknik Negeri Batam, juri membuat seisi Grha Sabha Pramana, UGM, tegang. Ribuan orang dalam ruangan nyaris tak bersuara, menunggu juri yang sedang berdiskusi di tengah-tengah ruangan. Berkali-kali Wahidin dan juri lain, dengan muka tegang, melihat video di camcorder-nya.
Akhirnya Wahidin meraih mikrofon. “Oke. Keputusan yang sulit,” katanya. “Tim yang berhasil menjadi juara Kontes Robot Indonesia 2011 adalah,” pria berkaca mata ini mengambil napas sejenak lalu melanjutkan dengan suara lantang, “Politeknik Negeri Batam.” Ruangan kembali riuh. Tim Politeknik Negeri Batam dan puluhan pendukungnya saling berpelukan. Beberapa dari mereka menangis, mungkin me-nyadari masih banyak tantangan di depan mata mereka yang harus mereka hadapi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR