“Saya ingin menunjukkan persembunyiannya,” kata Eduardo. Ide buruk, sahut saya. Nanti ada yang melihat saya si orang asing dan merusak rencana.
“Tidak, sudah saya pikirkan,” kata Eduardo. “Kau tidak perlu turun dari mobil. Saya mengemudi perlahan-lahan, tetapi tidak terlalu lambat sampai menarik perhatian mereka. Nanti saya beri tahu kapan seharusnya kau melihat. Jangan mencolok.”
Dia meminjam máquina temannya, yang berarti “mesin”, tetapi juga julukan orang Kuba bagi mobil Amerika tua yang bertebaran di kartu pos suvenir. Yang ini bermerek Plymouth, keluaran 1956. Saya menutup pintu penumpang perlahan untuk menghormati usia lanjut máquina mereka.
Sekarang kami melaju di pantai, agak jauh dari Havana, memasuki kota pesisir tempat Eduardo dan sembilan pria lain membayar seseorang diam-diam untuk membuat perahu bermotor yang cukup kokoh untuk mengangkut mereka semua keluar Kuba secara serentak.
“Di sana,” kata Eduardo, lalu melambatkan Plymouth. Di antara dua gedung yang catnya terkelupas, di tepi jalan ke arah daratan, gang sempit berujung di sebuah gedung tak berjendela. “Nanti kami harus menggotongnya keluar dan mendorongnya dengan gerobak lewat gang,” katanya. “Lalu sejauh satu blok penuh di jalan utama ini, ke arah jalan kerikil yang menuju laut. Kemudian kami menunggu sampai lewat tengah malam. Tetapi, helikopter angkatan laut berpatroli di lepas pantai.”
Dia memperhatikan jalan kosong di belakangnya melalui kaca spion, penuh konsentrasi, jadi saya tutup mulut. Eduardo adalah orang Kuba 35 tahun yang berkulit terang, berambut cokelat pendek, dan berperawakan seperti pegulat.
Setelah beberapa bulan sejak kami pertama berkenalan musim dingin lalu—dia bekas buruh bangunan, tetapi pada hari itu sedang mengemudikan sedan Korea pinjaman dan berusaha mencari uang sebagai sopir taksi liar—kami kini sudah biasa berteriak akrab dan saling menyela sambil berkeliling naik mobil di Provinsi La Habana, berdebat tentang “Kuba Baru yang Berubah”.
Katanya, hal itu tidak ada. Saya bilang, orang-orang bersikeras bahwa itu ada. Saya menyebutkan banyak laporan yang saya baca, dengan judul seperti “Perubahan di Kuba Pasca-Fidel” dan “Tekad Baru Kuba.”
Eduardo selalu memandang langit dengan kesal. Saya menyebutkan peraturan baru yang sering disombongkan, yang membuka perekonomian terkontrol sosialis Kuba. Peraturan itu seperti undang-undang yang membolehkan warga berjual-beli rumah dan mobil secara terbuka, memperoleh pinjaman bank, dan berwiraswasta secara legal tanpa diwajibkan lagi bekerja untuk negara.
Tetapi, tidak. Dia memutar mata lagi. “Itu semua demi kepentingan orang-orang ini,” Eduardo pernah berkata kepada saya sambil menepuk bahunya sendiri, tanda rahasia Kuba untuk orang yang memiliki perangkat keras militer dan pengaruh politik elite.
Bagaimana soal Fidel Castro yang empat tahun lalu mengundurkan diri selamanya sebagai presiden, dan secara formal menyerahkan jabatan komandan kepada adiknya yang lebih luwes dan pragmatis, Raúl? “Viva Cuba Libre,” gumam Eduardo, meniru slogan revolusi yang kami lihat menghiasi tembok luar. Hidup Kuba Merdeka. “Merdeka dari mereka berdua,” katanya. “Barulah perubahan sejati mungkin terjadi.”
!break!
Jika memang ada Kuba yang mengalami perubahan serius—dan orang Kuba di seluruh negeri kini juga memperdebatkannya dengan bentuk sendiri-sendiri—Eduardo adalah komponen penting di dalamnya. Eduardo bukanlah pembangkang.
Dia ingin pergi bukan untuk menghindari penindasan pemerintah. Dia hanya berusia muda, bersemangat, dan frustrasi, gambaran yang sesuai bagi banyak rekan senegaranya. Eduardo bercerita bahwa sejak dia di bangku SMA, jelas baginya bahwa masa dewasa di Kuba revolusioner tidak menjanjikan apa pun dalam hal kemajuan pribadi dan kenyamanan materi bagi siapa pun, kecuali peces gordos. Kalangan kelas kakap.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR