Di sini tak ada yang beres, Eduardo sering berseru sambil memukul kemudi mobil: Model perekonomiannya rusak, pegawai negeri bertahan hidup dengan gaji kecil, hanya dengan mencuri dari kantor. Saluran berita nasional hanya menyiarkan gembar-gembor memalukan yang menyensor diri, pemerintah membuat rakyat sinting dengan mengedarkan dua mata uang nasional sekaligus. “Saya mencintai negara saya,” Eduardo terus berkata. “Tapi tak ada masa depan bagi saya di sini.”
Saat berkeliling Kuba selama sembilan minggu pada tahun ini dan tahun lalu, saya begitu sering mendengar rangkaian keluhan ini, dan dari bermacam-macam orang, sehingga mulai terbentuk semacam ratapan nasional: Saya mencintai negara saya, dan negara saya tidak beres. Memang ada beberapa yang optimistis dan setia di antara para pengeluh itu.
Orang yang optimistis: Roberto Pérez, ahli biologi lingkungan yang berambut gondrong, menggebu-gebu soal kemajuan proyek-proyek pertanian organik dan agrikultur kota yang meluas di Kuba. Pérez lebih tua enam tahun daripada Eduardo. Delapan puluh persen angkatan SMA-nya, menurut Pérez, telah meninggalkan negara itu. “Tapi keadaan memang berubah,” katanya.
“Sangat cepat. Dan ada begitu banyak hal baik di sini yang disepelekan orang, karena sudah ada sejak mereka lahir. Coba sebutkan tempat lain yang memungkinkan anak kecil tumbuh besar dengan aman, mendapat vaksinasi, mengenyam pendidikan, tidak terlibat geng atau narkoba.
Masih belum yakin? Baiklah. Orang optimistis: Josué López, seumur dengan Eduardo, baru berimigrasi kembali ke Kuba setelah enam tahun di Florida dan semakin kecewa dengan nila-nilai sebagian tetangga emigran Kuba yang terlalu materialistis di Miami.
López dan istrinya merintis usaha sendiri, memanfaatkan undang-undang wiraswasta baru dan keluwesan baru dalam penggunaan lahan tani, dan mengembangkan sanggraloka di tanah beberapa hektare yang mereka beli di luar Havana. “Saya berkata kepada teman-teman yang pergi ke Amerika Serikat,” kata López, dengan bahasa Inggris gaul yang terlatih, “Bung! Kalau ingin merintis sesuatu, tempatnya di Kuba.”
Eduardo menyimak, tertarik, wajahnya serius. Lalu ia menggeleng. Suatu pagi kami berdebat di sebuah kafe atas atap di wilayah bersejarah di Havana, dan Eduardo menyambar botol garam dari kaca di atas meja.
“Sepanjang hidup saya, pemerintah mengatakan, Lihat! Saya memberimu botol garam bagus yang penuh!” katanya. “Tapi botolnya tidak pernah ada yang penuh.”
!break!
Botol yang ini juga tidak. Isi garamnya mungkin hanya satu sentimeter. Eduardo meletakkan botol itu dan memberitahu bahwa ia berhasil mendapatkan dayung. Mereka harus mendayung beberapa lama, sebelum bisa mengambil risiko menyalakan motor yang dapat menarik perhatian polisi.
Kepergian itu sendiri melanggar hukum Kuba karena mereka tidak memiliki tarjeta blanca, kartu putih, yakni izin pemerintah yang harus dimiliki warga sebelum diperbolehkan meninggalkan negara itu. Orang Kuba membenci tarjeta blanca, dan pemerintah kemudian menyiratkan akan menghapusnya sama sekali.
Namun, pada pagi awal musim semi ini Eduardo bahkan belum mengajukan permohonan. Dia berasumsi tarjeta itu akan ditolak, tanpa penjelasan selain tulisan standar yang sering muncul: No está autorizado—Tidak diizinkan. Selain itu, orang Kuba yang mengajukan permohonan tarjeta blanca harus sudah memiliki visa dari negara tujuan. Untuk dimasukkan ke daftar pertimbangan mendapat visa Amerika Serikat saja, orang Kuba harus membayar $160 (sekitar Rp1,5 juta) dan memperlihatkan undangan tertulis dari orang sungguhan yang tinggal di AS.
Eduardo tidak memiliki keduanya. Saya sempat mengira dia akan meminta bantuan kepada saya, uang atau undangan, tetapi ternyata tidak. Suatu hari, tahu-tahu dia menceritakan rencana perahu itu, di tengah perjalanan mobil panjang yang sarat obrolan, seolah-olah dia sudah lama ingin bercerita kepada orang non-Kuba. Sekarang di sinilah kami, menatap botol garam dan mencemaskan putra Eduardo, yang berusia sembilan tahun dan tidak tahu bahwa ayahnya akan pergi.
“Saya tak tahu apakah memberitahunya akan memperbaiki atau memperburuk situasi ini,” kata Eduardo.
Setidaknya uang yang akan dikirimnya ke rumah nanti dapat digunakan untuk membelikan sepatu baru bagi anaknya, kata Eduardo. “Segala sesuatu dalam hidup ini memiliki risiko masing-masing,” katanya. “Saya tidak khawatir. Gunakan saja nama asli saya. Saya sudah pernah bilang. Gunakan saja! Saya tidak takut siapa-siapa!”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR