“Saya ingin menunjukkan persembunyiannya,” kata Eduardo. Ide buruk, sahut saya. Nanti ada yang melihat saya si orang asing dan merusak rencana.
“Tidak, sudah saya pikirkan,” kata Eduardo. “Kau tidak perlu turun dari mobil. Saya mengemudi perlahan-lahan, tetapi tidak terlalu lambat sampai menarik perhatian mereka. Nanti saya beri tahu kapan seharusnya kau melihat. Jangan mencolok.”
Dia meminjam máquina temannya, yang berarti “mesin”, tetapi juga julukan orang Kuba bagi mobil Amerika tua yang bertebaran di kartu pos suvenir. Yang ini bermerek Plymouth, keluaran 1956. Saya menutup pintu penumpang perlahan untuk menghormati usia lanjut máquina mereka.
Sekarang kami melaju di pantai, agak jauh dari Havana, memasuki kota pesisir tempat Eduardo dan sembilan pria lain membayar seseorang diam-diam untuk membuat perahu bermotor yang cukup kokoh untuk mengangkut mereka semua keluar Kuba secara serentak.
“Di sana,” kata Eduardo, lalu melambatkan Plymouth. Di antara dua gedung yang catnya terkelupas, di tepi jalan ke arah daratan, gang sempit berujung di sebuah gedung tak berjendela. “Nanti kami harus menggotongnya keluar dan mendorongnya dengan gerobak lewat gang,” katanya. “Lalu sejauh satu blok penuh di jalan utama ini, ke arah jalan kerikil yang menuju laut. Kemudian kami menunggu sampai lewat tengah malam. Tetapi, helikopter angkatan laut berpatroli di lepas pantai.”
Dia memperhatikan jalan kosong di belakangnya melalui kaca spion, penuh konsentrasi, jadi saya tutup mulut. Eduardo adalah orang Kuba 35 tahun yang berkulit terang, berambut cokelat pendek, dan berperawakan seperti pegulat.
Setelah beberapa bulan sejak kami pertama berkenalan musim dingin lalu—dia bekas buruh bangunan, tetapi pada hari itu sedang mengemudikan sedan Korea pinjaman dan berusaha mencari uang sebagai sopir taksi liar—kami kini sudah biasa berteriak akrab dan saling menyela sambil berkeliling naik mobil di Provinsi La Habana, berdebat tentang “Kuba Baru yang Berubah”.
Katanya, hal itu tidak ada. Saya bilang, orang-orang bersikeras bahwa itu ada. Saya menyebutkan banyak laporan yang saya baca, dengan judul seperti “Perubahan di Kuba Pasca-Fidel” dan “Tekad Baru Kuba.”
Eduardo selalu memandang langit dengan kesal. Saya menyebutkan peraturan baru yang sering disombongkan, yang membuka perekonomian terkontrol sosialis Kuba. Peraturan itu seperti undang-undang yang membolehkan warga berjual-beli rumah dan mobil secara terbuka, memperoleh pinjaman bank, dan berwiraswasta secara legal tanpa diwajibkan lagi bekerja untuk negara.
Tetapi, tidak. Dia memutar mata lagi. “Itu semua demi kepentingan orang-orang ini,” Eduardo pernah berkata kepada saya sambil menepuk bahunya sendiri, tanda rahasia Kuba untuk orang yang memiliki perangkat keras militer dan pengaruh politik elite.
Bagaimana soal Fidel Castro yang empat tahun lalu mengundurkan diri selamanya sebagai presiden, dan secara formal menyerahkan jabatan komandan kepada adiknya yang lebih luwes dan pragmatis, Raúl? “Viva Cuba Libre,” gumam Eduardo, meniru slogan revolusi yang kami lihat menghiasi tembok luar. Hidup Kuba Merdeka. “Merdeka dari mereka berdua,” katanya. “Barulah perubahan sejati mungkin terjadi.”
!break!
Jika memang ada Kuba yang mengalami perubahan serius—dan orang Kuba di seluruh negeri kini juga memperdebatkannya dengan bentuk sendiri-sendiri—Eduardo adalah komponen penting di dalamnya. Eduardo bukanlah pembangkang.
Dia ingin pergi bukan untuk menghindari penindasan pemerintah. Dia hanya berusia muda, bersemangat, dan frustrasi, gambaran yang sesuai bagi banyak rekan senegaranya. Eduardo bercerita bahwa sejak dia di bangku SMA, jelas baginya bahwa masa dewasa di Kuba revolusioner tidak menjanjikan apa pun dalam hal kemajuan pribadi dan kenyamanan materi bagi siapa pun, kecuali peces gordos. Kalangan kelas kakap.
Di sini tak ada yang beres, Eduardo sering berseru sambil memukul kemudi mobil: Model perekonomiannya rusak, pegawai negeri bertahan hidup dengan gaji kecil, hanya dengan mencuri dari kantor. Saluran berita nasional hanya menyiarkan gembar-gembor memalukan yang menyensor diri, pemerintah membuat rakyat sinting dengan mengedarkan dua mata uang nasional sekaligus. “Saya mencintai negara saya,” Eduardo terus berkata. “Tapi tak ada masa depan bagi saya di sini.”
Saat berkeliling Kuba selama sembilan minggu pada tahun ini dan tahun lalu, saya begitu sering mendengar rangkaian keluhan ini, dan dari bermacam-macam orang, sehingga mulai terbentuk semacam ratapan nasional: Saya mencintai negara saya, dan negara saya tidak beres. Memang ada beberapa yang optimistis dan setia di antara para pengeluh itu.
Orang yang optimistis: Roberto Pérez, ahli biologi lingkungan yang berambut gondrong, menggebu-gebu soal kemajuan proyek-proyek pertanian organik dan agrikultur kota yang meluas di Kuba. Pérez lebih tua enam tahun daripada Eduardo. Delapan puluh persen angkatan SMA-nya, menurut Pérez, telah meninggalkan negara itu. “Tapi keadaan memang berubah,” katanya.
“Sangat cepat. Dan ada begitu banyak hal baik di sini yang disepelekan orang, karena sudah ada sejak mereka lahir. Coba sebutkan tempat lain yang memungkinkan anak kecil tumbuh besar dengan aman, mendapat vaksinasi, mengenyam pendidikan, tidak terlibat geng atau narkoba.
Masih belum yakin? Baiklah. Orang optimistis: Josué López, seumur dengan Eduardo, baru berimigrasi kembali ke Kuba setelah enam tahun di Florida dan semakin kecewa dengan nila-nilai sebagian tetangga emigran Kuba yang terlalu materialistis di Miami.
López dan istrinya merintis usaha sendiri, memanfaatkan undang-undang wiraswasta baru dan keluwesan baru dalam penggunaan lahan tani, dan mengembangkan sanggraloka di tanah beberapa hektare yang mereka beli di luar Havana. “Saya berkata kepada teman-teman yang pergi ke Amerika Serikat,” kata López, dengan bahasa Inggris gaul yang terlatih, “Bung! Kalau ingin merintis sesuatu, tempatnya di Kuba.”
Eduardo menyimak, tertarik, wajahnya serius. Lalu ia menggeleng. Suatu pagi kami berdebat di sebuah kafe atas atap di wilayah bersejarah di Havana, dan Eduardo menyambar botol garam dari kaca di atas meja.
“Sepanjang hidup saya, pemerintah mengatakan, Lihat! Saya memberimu botol garam bagus yang penuh!” katanya. “Tapi botolnya tidak pernah ada yang penuh.”
!break!
Botol yang ini juga tidak. Isi garamnya mungkin hanya satu sentimeter. Eduardo meletakkan botol itu dan memberitahu bahwa ia berhasil mendapatkan dayung. Mereka harus mendayung beberapa lama, sebelum bisa mengambil risiko menyalakan motor yang dapat menarik perhatian polisi.
Kepergian itu sendiri melanggar hukum Kuba karena mereka tidak memiliki tarjeta blanca, kartu putih, yakni izin pemerintah yang harus dimiliki warga sebelum diperbolehkan meninggalkan negara itu. Orang Kuba membenci tarjeta blanca, dan pemerintah kemudian menyiratkan akan menghapusnya sama sekali.
Namun, pada pagi awal musim semi ini Eduardo bahkan belum mengajukan permohonan. Dia berasumsi tarjeta itu akan ditolak, tanpa penjelasan selain tulisan standar yang sering muncul: No está autorizado—Tidak diizinkan. Selain itu, orang Kuba yang mengajukan permohonan tarjeta blanca harus sudah memiliki visa dari negara tujuan. Untuk dimasukkan ke daftar pertimbangan mendapat visa Amerika Serikat saja, orang Kuba harus membayar $160 (sekitar Rp1,5 juta) dan memperlihatkan undangan tertulis dari orang sungguhan yang tinggal di AS.
Eduardo tidak memiliki keduanya. Saya sempat mengira dia akan meminta bantuan kepada saya, uang atau undangan, tetapi ternyata tidak. Suatu hari, tahu-tahu dia menceritakan rencana perahu itu, di tengah perjalanan mobil panjang yang sarat obrolan, seolah-olah dia sudah lama ingin bercerita kepada orang non-Kuba. Sekarang di sinilah kami, menatap botol garam dan mencemaskan putra Eduardo, yang berusia sembilan tahun dan tidak tahu bahwa ayahnya akan pergi.
“Saya tak tahu apakah memberitahunya akan memperbaiki atau memperburuk situasi ini,” kata Eduardo.
Setidaknya uang yang akan dikirimnya ke rumah nanti dapat digunakan untuk membelikan sepatu baru bagi anaknya, kata Eduardo. “Segala sesuatu dalam hidup ini memiliki risiko masing-masing,” katanya. “Saya tidak khawatir. Gunakan saja nama asli saya. Saya sudah pernah bilang. Gunakan saja! Saya tidak takut siapa-siapa!”
Dia mendepang, berusaha tampak tidak cemas, dan mengulangi namanya dengan cara khas Amerika Latin: nama depan, nama keluarga ayah, nama keluarga ibu. Saya berkata, jangan bersikap bodoh, bahwa dia masih tinggal di negara satu partai, yang warganya dihajar atau ditangkap atau dituding sebagai tentara bayaran jika terlalu bersemangat mengkritik pemimpinnya.
Dan, bahwa kita membicarakan hal ini di tempat umum hanya karena pelayan kafe itu temannya dan di dekat kami tidak ada orang lain. Jadi lupakan, kata saya. Maaf. Tak ada nama asli. Kami diam.
!break!
SELURUH KOTA seolah berkilau, pada pagi itu bersama Eduardo, meskipun terjadi derrumbe di lingkungan tempat saya menginap. Itu berarti gedung runtuh, hal yang cukup sering terjadi, terutama di Havana. Gedung yang dulu indah megah itu kini membusuk di udara tropis, dan negara tidak punya dana untuk memperbaikinya.
Jadi gedung-gedung itu pun runtuh, sebagian atau seluruhnya. Gemuruh yang membahana diiringi oleh puing-puing dan kesedihan. Derrumbe ini menewaskan empat orang, tiga di antaranya gadis remaja. Gedung itu telah dinyatakan tidak aman, tetapi orang Kuba memang kreatif soal tempat tinggal di Havana.
Di kota itu, beberapa bagian begitu padat sehingga beberapa keluarga dan generasi berjejalan di rumah yang dimaksudkan untuk satu keluarga pada masa lebih makmur. Eduardo meyakini bahwa jumlah kematian saat derrumbe di lingkungan itu adalah 21 jiwa—dia mendengar ini lewat radio bemba, radio bibir, yaitu sebutan orang Kuba untuk berita dari mulut ke mulut. Radio bibir itu menjadi satu-satunya metode bebas sensor untuk penyebaran berita buruk dalam negeri.
Tetapi, saya membaca Granma, harian Partai Komunis nasional, yang ternyata memuat juga artikel tentang derrumbe ini alih-alih berpura-pura bahwa hal itu tidak terjadi, dan bersiteguh pada jumlah korban jiwa sebanyak empat orang. Pokoknya, kota itu tampak berkilau. Wisatawan membanjir dari bus-bus, membawa peta.
Dan dari yang saya lihat mereka tampaknya bersenang-senang, menghirup mojito rum dan mentol, mengekor pemandu wisata Kuba yang menguasai beberapa bahasa, dan bertepuk tangan untuk ingar-bingar riang musik rumba dan son yang melimpah ke plaza dari restoran, pojok jalan, dan bar.
Secara gamblang dan provokatif, di jalanan berlangsung hal-hal “ganjil”. Di beberapa lingkungan, sebagian pintu gedung tampaknya diambil alih oleh wiraswastawan baru. Mereka adalah lelaki dan perempuan yang duduk penuh harap di samping kios dadakan berisi aksesoris rambut atau kue buatan rumah, atau film DVD dan acara televisi.
Tanda “Dijual”, yang tidak diperbolehkan pada masa berpuluh tahun yang melarang menjual rumah tapi mengizinkan bertukar rumah, kini bermunculan di jendela rumah. Beberapa minggu lagi, Paus Benediktus XVI dijadwalkan tiba. Ini kunjungan paus pertama ke Kuba dalam 14 tahun.
Di sepanjang rute yang akan dilalui rombongan Paus, para petugas pemerintahan membersihkan dan mengecat bagian depan rumah dengan begitu tekun. Saya mendengar orang-orang berseloroh bahwa ada baiknya Paus sering-sering datang, supaya kota dibersihkan.
Gedung-gedung besar setengah jadi mencuat di sana-sini—antiderrumbe, demikian saya menamainya, yang dikucuri sumber daya modal negara yang terbatas. Derek tinggi dan perancah mengelilingi pemugaran gedung-gedung bersejarah, pendandanan objek wisata, dan pembangunan fasilitas pelabuhan baru.
Dari beberapa tempat di sepanjang pantai, terlihat bentuk anjungan air-dalam besar yang menjelajahi dasar laut Kuba, yang diyakini mengandung miliaran barel minyak bumi. Jika produksi minyak skala besar ternyata signifikan, peluang masa depan ekonomi negara itu menjadi amat menjanjikan.
!break!
Sebagian besar orang Kuba yang saya ajak bicara tampaknya memang sering memikirkan kemungkinan terjadinya perubahan. Sebagian besar berkata, belum akan ada perubahan permanen. Sepanjang sejarah, pemerintah Kuba sering main angin dengan warganya, mendorong wiraswasta pribadi lalu menyatakan hal itu bertentangan dengan revolusi dan kembali melarangnya.
Tetapi, Raúl Castro berbeda dengan kakaknya, dan ada perpaduan khas Kuba antara semangat, kewaspadaan, perhitungan, pesimisme, dan kecemasan yang menyambut kemungkinan perubahan yang nyata. Bahwa setelah setengah abad di bawah Fidel, cara hidup orang Kuba sehari-hari akan benar-benar mengalami perubahan besar.
“Pembangunan kembali rumah Kuba,” kata seorang editor dan pengacara gereja bernama Roberto Veiga. Dia mengucapkan kata-kata Spanyol itu dengan keanggunan seorang pastor di mimbar: La reconstrucción de la casa Cuba.
Tetapi, hati-hati: Metafora pembangunan ini menyiratkan seolah ada cetak biru. Orang di luar Kuba, yang membayangkan bahwa cetak biru ini disepakati bersama oleh warga Kuba secara jelas, keliru besar. Individualisme tak terkekang ala Amerika Serikat, yang tidak menggratiskan perawatan kesehatan ataupun pendidikan tinggi? Kekayaan mentereng dan kerusakan lingkungan ala Cina modern? Kesulitan ekonomi dan ketegangan internal ala Eropa? Perang narkotik ala Meksiko?
“Inilah tantangan besar kami,” kata Veiga. Dia membantu mengelola majalah Keuskupan Agung Havana, Espacio Laical (secara harfiah artinya Ruang Sekuler). Seperti Gereja Katolik Roma Kuba sendiri, media ini telah menjadi salah satu dari sedikit forum untuk mengemukakan debat semikritis tentang masa depan negara itu di ruang umum. “Akan seperti apa rumah Kuba ini?” tanya Veiga. “Ini perubahan yang semestinya dimulai dua puluh tahun yang lalu. Tetapi tidak terjadi. Dan, sekarang kami bangsa yang masih berusaha mendefinisikan dirinya.”
Kuba dihuni oleh sebelas juta jiwa, tidak jauh berbeda dengan populasi DKI Jakarta. Kuba adalah pulau terbesar di Karibia, dan terkenal hanya berjarak 145 kilometer dari wilayah AS. Namun, Kuba masih menarik perhatian dunia internasional terutama karena dua narasi sejarahnya yang bertentangan telah begitu dibesar-besarkan oleh mitos.
Menurut salah satu narasi itu, revolusi yang kejam telah merebut kekuasaan pada 1959. Revolusi itu menyita properti perusahaan Amerika, mengusir kelas profesional negara itu sendiri, membungkam semua oposisi dengan menciptakan negara polisi totaliter.
Menurut narasi satunya, revolusi yang cemerlang telah memimpin penggulingan kediktatoran yang korup, membebaskan bangsa dari penjajahan perusahaan asing dan mafia. Revolusi ini mewujudkan masyarakat melek huruf, perawatan kesehatan, dan nilai-nilai egaliter kepada rakyat yang termobilisasi, dan menciptakan benteng sosialisme berpendidikan universitas. Meskipun demikian, selama setengah abad, AS berupaya menghancurkannya dengan melarang orang Amerika berbisnis dengan Kuba.
!break!
Kedua narasi ini sama-sama mengandung kebenaran besar. Tempat ini dipadati oleh kompleksitas dan paradoks—orang Kuba mengakui hal itu—dan pertanyaan yang ditimbulkan oleh Kuba modern dalam diri seorang pengunjung itu besar, serius, dan berat. Apa definisi kebebasan? Apa saja kebutuhan manusia? Apa kewajiban mereka terhadap sesamanya? Apa keinginan mereka, di luar kebutuhannya?
“Kami semua menjadi kelinci percobaan,” seorang wanita 58 tahun yang berpendidikan universitas dan bekerja di bidang seni berkata kepada saya dengan hati-hati pada suatu malam. Dia tinggal di rumah yang berudara segar, dengan halaman depan berpagar dan serambi belakang, di daerah Havana yang rimbun.
Rumah itu milik keluarganya sejak sebelum Triunfo, Kejayaan Revolusi, nama yang pada umumnya digunakan orang Kuba untuk peristiwa 1959. Bohlamnya memakai lampu neon CFL, wanita itu memberitahu saya. Itu adalah salah satu warisan proyek nasional ambisius beberapa tahun lalu, yang memerintahkan semua orang Kuba beralih ke peralatan listrik watt rendah demi kemandirian energi dan lingkungan hidup.
“Mereka datang memeriksa,” kata Veiga. “Mereka memecahkan bohlam lama, di depan mata kami, untuk memastikan kami tidak memasang lagi bohlam itu diam-diam pada lampu.” Dia tersenyum dan memandang saya lewat atas kacamatanya, untuk memastikan saya menyimak.
Dia memiliki seorang putra, sepuluh tahun lebih muda daripada Eduardo—sekarang sudah pergi, meninggalkan Kuba dan memperoleh ijazah terapi di Spanyol. “Idenya bagus, mengganti semua bohlam,” kata Veiga. “Masalahnya adalah bagaimana cara mereka melakukannya.”
!break!
DALAM VERSI SINGKAT, pembangunan kembali rumah Kuba tampak seperti ini: Kapitalisme menggerogoti dari pinggir, sedikit demi sedikit. Sejak 2010, lebih dari 150.000 pekerja Kuba berhenti atau dipecat sebagai pegawai negeri.
Hal ini merupakan konsep yang sebelumnya tak terbayangkan dalam sistem yang semestinya menyediakan semua lapangan kerja dan semua manfaat sosial. Presiden Castro sendiri berkata bahwa aparatur negara sudah membengkak dan terlalu kondusif untuk ketergantungan dan korupsi, dan bahwa pemerintah harus memangkas setengah juta karyawan.
Lahan tani negara kini disewakan dalam ukuran kecil-kecil kepada para petani swasta dan koperasi, dan berbagai jenis wiraswasta legal lain juga sedang digalakkan secara hati-hati. Bahkan buku ransum—libreta yang diterbitkan untuk rumah tangga Kuba, dengan kolom centang untuk makanan pokok subsidi pemerintah—mungkin jadi artefak yang hampir sampai ajalnya, kata Raúl Castro.
Libreta! Ini hal besar. Tak ada hal lain yang melambangkan perekonomian Kuba yang membingungkan, dan reaksi rumit orang Kuba terhadapnya, daripada libreta. Buku ini seukuran foto 2R, berupa karton tipis dan kertas putih yang distaples. Di dalamnya tercantum daftar barang yang boleh dibeli pemegangnya dengan harga rendah yang semu, jika keluarga itu memiliki anak di bawah delapan tahun. Ada petak untuk dicentang secara manual. Halamannya mirip buku kas ala novel Dickens.
Saya pernah berada di rumah seorang pastor Santería, praktik agama Kuba-Afrika yang dianut oleh banyak orang Kuba yang mengaku Katolik. Saat itu saya sedang berusaha menenangkan diri karena pendeta itu baru saja menuntaskan upacara inisiasi. Upacara itu melibatkan penyembelihan burung merpati dan ayam, lalu mengeluarkan darah dari bangkainya ke dalam piring suci dan berdoa dalam bahasa Yoruba.
Tetapi, pendeta itu sebenarnya hanya ingin membicarakan libreta. “Lihat ini!” serunya. “Delapan ounce minyak per orang per bulan! Sepuluh ounce kacang tanah! Satu paket pasta mungkin per tiga bulan!”
Ada istilah yang digunakan ibu rumah tangga Kuba saat berkeliling mencari makanan buat keluarga hari itu: pollo por pescado. Artinya “ayam untuk ikan”: Anda menjanjikan ikan untuk makan malam, tetapi di toko tak ada ikan, jadi Anda membeli ayam kecil dan berpura-pura itu ikan.
Kuba dikelilingi air laut, tentu saja. Jadi, ke mana ikannya? Ikan ada di restoran. Ikan ada di prasmanan hotel, fasilitas populer bagi wisatawan, berupa meja-meja panjang yang menyajikan makanan bertumpuk-tumpuk, dengan keragaman dan jumlah yang tak pernah dilihat orang Kuba biasa. Ikan dijual di rumah, kalau kita tahu harus menekan bel pintu yang mana.
!break!
Di banyak tempat seperti ini, ikan—seperti hampir semua produk yang diincar di Kuba, dari karcis masuk klub malam sampai celana jins belel—dijual dalam mata uang CUC.
Sekarang kita sampai pada aspek Kuba masa kini yang menyebabkan para yuma meraih kalkulator, obat sakit kepala, dan kursus kilat tentang sejarah modern Kuba. Yuma adalah bahasa prokem yang bermakna macam-macam, “orang Amerika”, “orang asing”, dan “dunia luar secara umum di sebelah utara dan timur”.
CUC, singkatan dari peso Kuba yang dapat dikonversi, adalah salah satu dari dua mata uang resmi Kuba. Seperti libreta, sistem mata uang ganda ini menurut teori akan dihapus. Situasi di Kuba begitu cair sehingga saat Anda membaca ini, mungkin saja pemerintah sudah mulai menghapus sistem ini. Tetapi, untuk memahami upaya rumit orang Kuba dalam menyambung hidup pada tahun-tahun belakangan ini, Anda harus memahami keanehan mendasar CUC.
Mata uang ini baru-baru ini saja dibentuk, diperkenalkan sepuluh tahun lalu untuk menggantikan dolar dan mata uang asing lain yang mulai membanjiri dan mengganggu negara itu setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. Depresi Kuba beberapa tahun yang menyusul perpecahan Soviet benar-benar bencana (kekurangan bahan bakar, pemutusan listrik 14 jam, kelaparan meluas).
Pemerintah berusaha melawannya dengan membuka pulau itu bagi pariwisata internasional. Ini semua dilakukan secara berapi-api, dengan kesibukan pembangunan hotel pantai yang berlanjut hingga kini. Rencana saat ini mencakup banyak padang golf dan bandara yang dapat menampung jet. Sementara itu, peringatan antikapitalis masih berkoar-koar dari papan iklan jalan raya dan tembok kota: SOSIALISME ATAU MATI! PERUBAHAN BERARTI LEBIH SOSIALIS!
Dalam konsep awalnya, CUC digunakan untuk barang dan jasa yang dengan cara apa pun terkait dengan hal asing: tagihan hotel, transaksi internasional, kaus Fidel di toko cendera mata, dan seterusnya. Satu CUC bernilai kira-kira satu dolar AS (sekitar Rp9.600), dan mendapatkannya mudah; baik bagi orang yuma atau Kuba, pegawai negeri di pusat penukaran uang akan menerima mata uang apa pun dan memberikan CUC yang setara.
Para pegawai ini, seperti orang Kuba lain yang bekerja untuk negara—saat ini sekitar 80 persen angkatan kerja negara itu—tidak digaji dengan CUC. Mereka digaji dengan mata uang satunya, peso nasional Kuba. Satu peso nasional setara dengan 1/24 CUC, atau empat sen lebih sedikit, dan di Kuba yang sosialistis gaji pegawai bersifat tetap; rentangnya pada pertengahan 2012 antara 250 dan 900 peso per bulan.
Sebagian pegawai kini mendapat insentif CUC untuk menambahi gaji peso. Lalu, perubahan peraturan baru-baru ini menghapuskan batas atas gaji dan lebih mengaitkan upah dengan produktivitas, daripada kenaikan gaji yang ditetapkan. Tetapi, orang Kuba-lah yang mengajari saya lelucon nasional tentang filosofi kantor pemerintahan: “Mereka berpura-pura menggaji kami, kami berpura-pura bekerja.”
!break!
DAYA TARIK UTAMA kota Santa Clara adalah monumen raksasa martir revolusi Ernesto “Che” Guevara. Dia berjuang bersama Fidel, lalu gugur saat berusaha memicu pemberontakan di Bolivia. Di kota ini saya melewatkan sore bersama dokter darurat keliling yang gaji dokternya ditetapkan pada 785,35 peso nasional per bulan. Itu setara dengan CUC$32,72.
Seperti banyak hal lain di Kuba, situasi ini tidak sederhana. Dr. M tidak perlu membiayai kuliah profesi dan perawatan medis keluarganya sendiri. Putranya bersekolah gratis seumur hidup. Hasil bumi dan beberapa makanan pokok lain yang tidak tercakup dalam libreta keluarga dapat dibeli dengan peso.
Demikian pula buku Kuba, tiket pertandingan bisbol, ongkos bus umum, karcis masuk ke museum, bioskop, dan pertunjukan balet. Mata uang yang dipakai untuk gaji dokter dapat membelikan Dr. M nasionalisme asketis 1960-an yang sering didukung Che Guevara. Dengan kata lain, asalkan Señora M hanya menggunakan sabun peso bermutu rendah, hanya menyeduh kopi peso yang bercampur bubuk giling, dan mereka tidak pernah membeli deodoran.
“Mobil-mobilan yang saya inginkan untuk anak saya, disertai mesin kecil dan pengendali jarak jauh,” kata Dr. M sementara kami berdiri berdampingan di bawah alas monumen raksasa itu, mendongak melihat Che Guevara. “Harganya empat puluh CUC.”
Tepatnya, empat puluh CUC di toko pemerintah. Orang Kuba memiliki pasar gelap yang mantap—por la izquierda, itu sebutan mereka—apa saja dapat dibeli di sana. Tetapi, aspek kehidupan yang paling surealis di Kuba pada 2012 adalah betapa bersemangatnya pemerintah dalam menjual barang kepada orang Kuba dengan harga CUC. Toko eceran, sama seperti pabrik obat dan tambang nikel, adalah perusahaan nasional yang dijalankan oleh negara.
Penjaga toko juga biasanya tidak repot-repot menyebutkan “CUC” pada harga barang; jika suatu benda bisa berputar, berkilauan, atau memiliki kemasan bagus. Orang Kuba tahu harganya dalam mata uang apa, dan apa pun yang mungkin dibisikkan hantu Che di telinga mereka, mereka menginginkan benda itu.
Saat bertemu dengan Dr. M, saya sudah sering cuci mata di pertokoan dengan rasa bingung sehingga buku catatan saya dipenuhi angka: pasta gigi Pepsodent, CUC$1,50 per tube. Blender listrik, CUC$113,60. Set sofa dan kursi berlapis kain untuk ruang duduk, CUC$597,35. Mal bertingkat, dengan kafe dan aula permainan dan toko pakaian, semuanya hanya menggunakan CUC.
Bahkan Bucanero Fuerte, salah satu bir Kuba yang bagus, biasanya dijual dengan CUC. Harga Bucanero yang sebesar satu CUC, tidak mahal di banyak negara untuk sebotol bir, sama dengan gaji dokter sehari penuh. Anda lihat sendiri masalah soal mobil-mobilan itu. Itu sebabnya empat hari seminggu, saat semestinya beristirahat setelah giliran kerja UGD 24 jam, Dr. M mengemudi taksi.
!break!
Secara teknis, dia mengemudi mobilnya sendiri, mobil rongsok Rusia tua warisan ayahnya. Tetapi dia mengangkut wisatawan, karena wisatawan membayar dengan CUC. Dalam satu bulan musim ramai, Dr. M mengemudi taksi sehari bisa menghasilkan CUC yang setara dengan 15 kali lipat gaji sebagai dokter.
Di Kuba, hal ini tidak aneh. Armada taksi, seperti aspek lain dalam industri pariwisata, penuh dengan orang Kuba berpendidikan tinggi. Mereka tidak lagi bekerja dalam profesinya karena bertahun-tahun belajar—di bidang teknik, kedokteran, psikologi—menghasilkan gaji dalam “uang yang tak berharga”. Fenomena ini disebut sebagai “piramida terbalik”.
Istilah itu selalu dikatakan dalam nada putus asa oleh setiap orang Kuba yang menyebutnya, dengan makna: Inilah sebabnya para pemuda yang ambisius selalu pergi dari negeri ini.
Saya dan Dr. M menilik benda yang dipegang Che dalam kepalan raksasanya di atas kami, menyimpulkan benda itu granat, lalu masuk ke museum. Che Guevara adalah sarjana kedokteran Argentina saat bertemu dengan Fidel Castro, dan saat kami melewati pajangan dalam kaca berupa jurnal kedokteran Che dan jas lab Che, saya melirik Dr. M. Sekitar lima belas tahun sejak abu Che dipindahkan ke Santa Clara, kata Dr. M kepada saya, ini pertama kalinya dia mengunjungi museum itu.
Tetapi dia diam dan kalem, dan ketika kami keluar, dia hanya berkata, “Saya tak mengerti situasi kami saat ini—bagaimana sopir taksi bisa berpenghasilan jauh lebih besar daripada dokter.” Raut wajahnya menegaskan bahwa Che bukan topik menarik.
EDUARDO MEMBERITAHU SAYA bahwa tanggal keberangkatan perahu sudah ditetapkan, yaitu pada hari-hari setelah kunjungan paus berakhir, tergantung pada informasi prakiraan cuaca dan air pasang yang dapat mereka peroleh. Saat saya sedang tidak berada di Havana, di pedalaman pulau itu, pesan SMS dari nomornya muncul sesekali pada ponsel Kuba saya: “hai teman, saya akan segera berlibur.”
Saat itu saya sering berjalan kaki, atau memasang helm penumpang nan rapuh dan—bukan pilihan bijak—menaiki motor ojek liar. Sebagai orang luar, Kuba Baru yang Berubah tampak nyata sekaligus compang-camping, seolah ada pasar loak raksasa yang dibongkar dan diserakkan ke seluruh negeri.
Anak-anak muda duduk di tangga, menawarkan jasa reparasi ponsel atau isi ulang pemantik rokok. Keluarga memasang meja pajangan di beranda depan, berisi peralatan dapur bekas atau termos kopi dan piring retak berisi roti lapis daging dan keju yang dibungkus.
Di sini ada bisnis-bisnis kecil yang dulu dikelola oleh negara, tetapi sekarang, secara eksperimen, tidak lagi: tukang pangkas rambut dan bar camilan misalnya, yang manajemennya dialihkan kepada karyawan.
!break!
Dan di sini, di tengah salah satu blok perumahan di Havana, ada restoran baru yang bergaya, Le Chansonnier. Pintu masuknya tidak bernama; Le Chansonnier adalah paladar, restoran swasta di rumah, dan orang yang memiliki uang CUC-lah yang tahu letaknya.
Paladar berstatus legal selama bertahun-tahun di Kuba, tetapi dulu dibatasi secara ketat. Mereka berpura-pura bahwa semua paladar adalah usaha keluarga kecil yang tidak mencuri pelanggan dari restoran negara. Namun, sejak 2011 mereka diizinkan berkembang dan mempekerjakan staf. Mirip kamar kos yang dapat disewakan orang Kuba kepada orang asing di rumah dan apartemen sendiri, sebagian paladar yang populer telah menjadi kasir CUC yang ramai bagi pemiliknya.
“Sejak dulu saya bercita-cita punya bisnis sendiri,” kata salah satu pemiliknya, pria 39 tahun bernama Héctor Higuera Martínez, kepada saya pada suatu sore. “Dulu saya mengira akan menjadi insinyur. Tetapi, saya lihat ada nafkah yang layak jika bekerja dengan para wisatawan.”
Higuera melambai kepada seseorang dan tak lama kemudian menyajikan salad yang enak untuk saya, dengan selada segar, irisan ayam, dan taburan bubuk cokelat. Dia sedang memikirkan cara melayani rombongan sepuluh orang untuk nanti malam. Makan malam di Le Chansonnier, yang menarik orang asing maupun orang Kuba, berharga sekitar 40 CUC per orang.
Mitra bisnisnya, Laura Fernández Córdoba, yang mengelola restoran bersamanya sejak mereka buka pada musim gugur 2011, sedang menyetujui pembelian peralatan makan di ruangan sebelah. Mudah membayangkan uang terbang keluar-masuk gedung itu, dalam cara khas Kuba Baru yang Berubah, dan sebagian kebingungan saya pada minggu-minggu awal di Kuba kini mulai jelas.
Tidak semua orang Kuba mengemudi taksi atau melayani bar demi tip dari wisatawan, bukan? Jadi dari manakah mereka memperoleh CUC? Saya bertanya-tanya setiap kali melihat barang non-peso yang dijajakan kepada orang Kuba dari segala penjuru. Sebagian jawabannya adalah kiriman uang dolar dan euro dari kerabat di luar negeri.
Jumlah uang yang dikirim ke Kuba sulit dilacak, tetapi sebagian ahli ekonomi memperkirakan angkanya mungkin melebihi 2 miliar dolar AS tahun ini. Itu berarti negara Kuba modern ditopang sebagian oleh orang-orang yang telah meninggalkannya.
Dan, karena pemerintah AS maupun Kuba telah melonggarkan pembatasan pada emigran yang kembali untuk mengunjungi keluarga, orang Amerika Kuba yang datang disambut peluk tangis di bandara Havana. Mereka biasanya membawa uang dan barang: televisi, peralatan rumah tangga, tas penuh pakaian, dan apa pun yang dapat dijual kerabatnya por la izquierda untuk mendapat CUC.
!break!
Selain itu ada pencurian, yang selama tahun-tahun depresi pasca-keruntuhan Soviet muncul sebagai mekanisme bertahan hidup keluarga di seluruh negara. Kata kerja luchar, yang berarti “melawan”, di Kuba juga dapat diterjemahkan bebas menjadi “memindahkan benda kantor ke kepemilikan pribadi, yang dipaksakan sistem kepada kami. Alasannya, gaji kami tidak cukup untuk membeli sebotol Bucanero sekalipun.” Lucha standar melibatkan makan, minum, menggunakan, membarter, atau menjual benda tersebut.
Kampanye reformasi yang diupayakan Raúl Castro telah menghasilkan puluhan penangkapan korupsi tingkat tinggi, tetapi daya tarik suatu kantor tetap ditentukan oleh satu hal pasti, yaitu bagaimana lucha di situ.
Kombinasi ini, kiriman uang dan pencurian, bukan hal aneh di negara tropis kecil yang tidak memiliki bahan mentah melimpah untuk diekspor. Tidak aneh pula cara penting ketiga CUC masuk ke saku orang Kuba: perdagangan legal, jenis apa pun, yang secara langsung atau tidak langsung memperoleh uang dari orang asing.
Tetapi, pemerintah proyecto socialista Kuba, atau proyek sosialis telah mencoba selama setengah abad untuk membentengi sebagian besar negaranya justru terhadap sistem jual-beli yang menghasilkan uang itu. Melihat orang Kuba berjuang hidup, sambil mempertimbangkan sejauh mana sebaiknya benteng itu kini diruntuhkan, adalah pengalaman yang menarik.
Ambil contoh Higuera dan Fernández: Bisnis swasta berlaba mereka dan sepuluh karyawan mereka berstatus legal di bawah undang-undang wiraswasta yang baru, sepanjang mereka membayar pajak. Tetapi pajak bisnis, konsep yang juga relatif baru di Kuba, naik tajam seraya pemilik bisnis mempekerjakan orang lebih banyak.
Pembobotan dalam sistem ini meredam perluasan bisnis swasta, sementara orang Kuba bereksperimen dengan kebijakan peraturan dan pajak baru. Masalah batas ini merupakan isu perdebatan filosofis dan politis besar di Kuba Baru yang Berubah.
Tahun lalu, setelah diskusi berbulan-bulan di seluruh negeri, terbitlah sebuah dokumen resmi luar biasa yang berjudul “Pedoman untuk Kebijakan Ekonomi dan Sosial bagi Partai dan Revolusi”. Tepatnya 313 pedoman, yang masing-masing membahas subjek spesifik, seperti penggunaan lahan atau pentingnya olahraga bagi warga negara. Pedoman nomor tiga menyatakan bahwa “pemusatan harta benda” oleh individu, alih-alih oleh negara, “tidak akan diizinkan.”
!break!
“Kami memang belum tahu,” kata ahli ekonomi kawakan dari University of Havana bernama Juan Triana Cordoví ketika saya bertanya tentang pedoman nomor tiga. “Ini bisa dilakukan dengan gebrakan besar, seperti di Rusia, tetapi menurut saya tidak terlalu berhasil. Atau, bisa dilakukan langkah demi langkah, sambil mengamati perkembangannya. Saya termasuk yang lebih menyukai langkah demi langkah. Saya membayangkan ini seperti menguji batu di sungai, selangkah demi selangkah, untuk melihat apakah setiap batu itu mantap.”
Saya paham bahwa dari sudut pandang tertentu, pedoman itu, mungkin lagi-lagi seperti botol garam yang hanya terisi seperempat. Itu sebabnya begitu banyak kaum muda sering berbincang dengan rekan sebayanya tentang masa depan mereka di Kuba, apakah sebaiknya tinggal atau pergi.
Sekarang ada banyak jalan keluar. Anggota keluarga menjalani penantian panjang untuk mendapat visa agar dapat bergabung dengan kerabat di luar negeri. Profesional di luar negeri dalam misi bakti Kuba, seperti ribuan dokter dan pelatih olahraga yang kini bekerja di Venezuela, kadang-kadang tidak mau pulang.
“Kami selalu berusaha meyakinkan orang agar tidak pergi,” kata Higuera. “Selalu. Saya punya teman yang sekarang tinggal di Madrid. Dia sampai di sana persis sebelum krisis ekonomi.”
Saya bertanya, apa kata Higuera dan Fernández andai mereka dapat berbicara langsung kepada seorang Kuba kenalan saya, yang minggu ini akan berangkat secara ilegal ke Selat Florida. Higuera menghela napas. “Akan saya katakan kepadanya, kalau kau ingin pergi, pergilah,” katanya.
Seminggu kemudian saya pulang, dan menunggu Eduardo menelepon dengan collect call dari suatu tempat di Florida Selatan, sebagaimana telah kami atur berdua. Dua minggu berlalu tanpa telepon. Lalu seminggu lagi, lalu seminggu lagi. Saya mencoba menghubungi ponsel Havana yang digunakan Eduardo, tetapi tidak diangkat, dan akhirnya saya menelepon saudaranya, yang berimigrasi ke Meksiko beberapa tahun silam untuk menikah dengan wanita setempat.
Sambungan teleponnya buruk, dan saya tidak yakin seberapa banyak informasi yang aman bisa diungkapkan. Saya adalah orang Amerika yang berteman dengan Eduardo di Havana, kata saya, dan saya hanya ingin tahu kabarnya, itu saja. Saya berkata, Eduardo pernah menyebut bahwa dia akan berlibur. Saudaranya menjadi heboh. “Dia tidak berhasil,” katanya dalam bahasa Spanyol. Dia berteriak di telepon. “Perahunya bermasalah. El timón. Mereka tidak berhasil.”
Di dekat saya tidak ada kamus, dan saya tidak tahu arti kata timón. Yang terpikir hanyalah bahwa kata itu mirip tiburón, yang berarti hiu. “Beri tahu saya apa artinya,” ujar saya mendesak. Saudara Eduardo berkata dia tidak tahu cara menjelaskannya, tetapi itu komponen kapal, benda yang rusak sebelum mereka pergi jauh, dan bahwa tidak apa-apa, mereka menggunakan dayung, dan sudah kembali di Kuba. Tidak ada yang ditangkap.
Setelah kami menutup telepon, saya mengambil kamus. Timón itu kemudi. Kini saya dapat membayangkan pengalaman Eduardo: Terkatung-katung di laut dengan kemudi rusak, dia dan teman-temannya tentu berunding beberapa lama, apa yang kira-kira terjadi jika mereka menyalakan mesin dan berusaha melanjutkan perjalanan, ke arah pantai yang tak terlihat, tanpa alat di kolong perahu untuk mengatur arah. Lalu mereka memutar perahu, kembali ke bagian laut yang sudah mereka kenal, lalu mendayung pulang.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR