Saya tidak tahu siapa yang lebih terkejut; para dewi yang melihat Tortuga muncul dari laut, atau kami yang kini tengah berada di tengah-tengah para wanita dewata, berhias bunga emas di rambut, sambil menyandang setumpuk buah-buahan sesaji di kepala mereka.
Tarian pembawa ketegangan
Pada suatu malam, Nyoman membawa kami berjoget. Di sini tidak ada tatapan malu-malu, bahasa tubuh tersamar seperti yang kami lihat di pertunjukan legong, tarian yang dibawakan oleh gadis-gadis muda belia Bali.
Kali ini, seorang gadis bermahkota emas berusia akhir remaja dengan luwes menari di antara para lelaki yang menatap penuh kekaguman, menggoyang-goyangkan pinggul berhias renda dengan genit mengikuti tabuhan drum dan gong.
Dari tempat saya di depan, saya dapat melihat Helen di seberang lingkaran bersama para wanita lainnya, berdiri di tumpukan bata. Tiba-tiba, si penari dengan lincah menghampiri saya. Tempo gamelan seketika naik, dan si penari mulai menggoda saya.
Gemuruh terdengar, dan tumpukan bata Helen ambruk. Gadis itu melewati saya, dan saya mengembuskan napas lega—atau kecewa—saat dia memilih pemuda Bali di belakang saya.
Dari bali ke Timor
Kami meninggalkan Bali tak lama setelah fajar. Tortuga II turun dengan mudah ke ombak panjang yang tenang. Di sekitar kami, perahu jukung para nelayan Bali meluncur di laut bak laba-laba air.
Tujuan kami adalah Timor, di ujung Kepulauan Sunda Kecil. Seratus tahun sebelumnya, naturalis besar Inggris, Alfred Russel Wallace juga menyeberangi selat ini. Dia mencari data untuk mengonfirmasi teorinya bahwa Selat Lombok adalah garis pemisah antara dunia flora-fauna Asia dan Australia. Dia meyakini bahwa wilayah dari Bali ke barat dihuni oleh tumbuhan tropis; gajah, harimau, ternak liar, dan monyet Asia. Tetapi, di sebelah timur Bali terdapat tumbuhan kering berduri, kakaktua, nuri, dan kadal raksasa khas Australia.
Selain ini, kami tidak tahu banyak tentang apa yang akan kami temukan di Nusa Tenggara, demikian sebutan orang Indonesia untuk Sunda Kecil. Selama tetirah panjang di Jawa, kami hanya bertemu tiga orang Indonesia yang pernah ke sebelah timur Bali. Tempat ini hampir seperti terra incognita; bangsa Belanda, sepanjang masa kekuasaannya selama 350 tahun, baru menundukkan suku pribumi kepulauan ini pada awal 1900-an.
Membentang sekitar 5.000 kilometer, dari daratan Asia ke selatan dan timur hingga Australia dan Papua Nugini, kepulauan Indonesia bagaikan tanggul besar di antara Samudra Pasifik dan Samudra India. Sebagaimana pintu air, jalur laut di antara pulau menyamakan tekanan saat laut naik dan surut seiring pasang; arusnya mengalir dari laut ke laut dengan kecepatan yang kadang mencapai sepuluh knot.
Sekarang kami akan menempuh penyeberangan nonstop terpanjang yang pernah kami hadapi. Sekitar 90 kilometer di timur, tampak sayup pegunungan Lombok yang berselimut kabut. Di suatu tempat di kaki pegunungan itu terdapat pelabuhan kecil Ampenan yang kami tuju hari ini.
Pada tengah hari, jalur perjalanan kami merentang mulus ke tengah selat. Tetapi, posisi kami pada jam satu sudah bergeser jauh ke selatan. Arus berubah arah seiring pasang. Kami dihanyutkan air surut ke arah Samudra Hindia.
Saya menaikkan kecepatan menjadi enam knot, mendekati maksimum Tortuga, dan mengubah arah. Jauh di utara, Ampenan sudah tak terjangkau. Sambil mengharapkan bantuan dari arus, kami menuju teluk kecil yang terlindung di sebelah selatan.
Menjelang sore arus masih menguat, dan ketika angin membelok ke utara, terbentuk ombak besar. Haluan Tortuga menukik saat menuruni ombak dan mendongak liar saat naik. Air menciprat tinggi dan mencambuk buritan bersama angin, sampai kami basah kuyup.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR