Baru pada abad kelima, sejarah tertulis Indonesia dimulai: awal kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam; sekuel penjajahan Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda; dan akhirnya masa pendudukan Jepang dan revolusi pascaperang.
Di gerbang Keraton Yogyakarta, kami ditemui oleh kepala penjaga (abdi dalem), yang memegang jabatan sangat bergengsi ini secara turun-temurun. Pria lanjut usia itu mengenakan busana tradisional keraton: batik indigo-cokelat; jas pas-badan berkerah tinggi; dan blangkon, serban khas Jawa dengan konde di belakang. Di ikat pinggangnya tergantung sebilah keris, yang konon mengandung kekuatan sihir.
Terlahir dalam tradisi kesucian Sultan, pria itu menatap kami dengan curiga. Kami melewati ruangan persenjataan sakral, kamar pengantin, singgasana, dan Paviliun Emas, dengan langit-langit tinggi berlapis emasnya, tanpa bisa mengambil satu pun foto.
Sekelompok wanita tengah menjalankan prosesi menyeberangi halaman istana. Para abdi istri-istri Sultan itu mengenakan kain bercorak meriah, dengan bahu telanjang dan payudara berbalut kemben kuning. Salah seorangnya membawa sebuah poci teh di bawah naungan payung kebesaran. Saya mengangkat kamera. Si penjaga sontak maju—dilarang memotret!
Saya mengerang, "Seandainya Sultan yang progresif itu ada di sini."
Tabu masih menghantui juru kamera
Keesokan paginya, perayaan Sekaten digelar. Perayaan ini melibatkan kepercayaan animisme, Hinduisme, dan Islam, dan kami tiba lebih awal di keraton untuk menyaksikan prosesinya.
Hari masih gelap di balik lindungan tembok keraton, namun gunungan-gunungan nasi, tumpeng besar berangka bambu yang dilapisi bungkusan-bungkusan nasi, sudah diletakkan di paviliun. Nantinya gunungan-gunungan itu akan diangkut ke masjid, tempat orang-orang yang percaya bahwa benda itu membawa nasib baik, akan memperebutkannya.
Mencari dudukan kamera dan agar dapat melihat ke semua penjuru, saya memanjat pendopo yang sepi di atas tembok halaman.
Pada pukul delapan, gerbang dibuka dan para wanita pengawal keraton keluar. Wanita-wanita tegap dengan keris panjang terselip di ikat pinggang itu melakukan pemeriksaan terakhir terhadap gunungan-gunungan nasi. Para pedagang asongan menjajakan manisan, balon, dan gasing kepada para penonton.
Satu jam berlalu, dan satu jam lagi. Gerbang dibuka lagi, dan para pejabat keraton, mengenakan serban putih dan jubah putih panjang yang biasa dikenakan haji, berbaris keluar dan duduk dengan nyaman di bantal-bantal empuk.
Kira-kira pada waktu yang sama, seorang polisi menghampiri saya. "Turun," perintahnya.
Gamelan dimainkan, dan prosesi dimulai. "Tapi mengapa?" tanya saya. "Saya tidak menghalangi siapa-siapa."
Dia hanya mengangkat bahu. "Turun."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR