Tak lama sebelum petang, dengan mesin bekerja keras, kami mendarat di pantai karang di dekat desa kecil. Arus telah mendorong kami 29 kilometer ke selatan Ampenan.
Daerah yang kering dan bersemak duri itu tampaknya jarang penduduk, tetapi dalam hitungan menit kami sudah mendapat tamu berbondong-bondong. Dengan ramah mereka mengerubungi jip, sementara Helen menyiapkan makan malam, berseru melihat keajaiban kompor kami dan air yang mengalir dari pipa.
Selama di Jawa dan Bali kami melatih bahasa Indonesia, bahasa nasional baru bagi republik kepulauan yang luas itu. Tetapi, ketika menyapa penduduk desa, kami hanya mendapat tatapan hampa. Tidak seyakin semula, saya mengulangi kata-kata itu, menambahkan bahwa kami tidak terlalu pandai berbahasa Indonesia.
Mendengar kata "bahasa Indonesia," seorang remaja lelaki angkat suara: "Saya juga, tuan." Orang Lombok punya bahasa sendiri, bahasa Sasak. Seorang nenek tua, keriput dan beruban tetapi ramping seperti anak gadis, berseru, "Minta lihat."
Tetapi, hari sudah gelap dan kami berjanji menunjukkan bagian dalam jip kepadanya besok pagi. Sebelum fajar dia sudah kembali—membawa segenggam telur yang berharga sebagai hadiah.
Sultan peninggalan masa lampau
Di Sumbawa Besar, persinggahan kami berikutnya, ada seorang sultan. Kini sultan tak lagi punya kuasa. Mereka merupakan pejabat yang ditunjuk pemerintah; lama-kelamaan mereka akan digantikan pejabat terpilih. Di Dompu, bekas kesultanan juga, kami bertamu ke "istana", yang tidak dapat dibedakan dengan rumah lain yang berbentuk kotak dan beratap genting, kecuali bahwa ukurannya agak lebih besar.
Kami sudah mendengar tentang kain tenun perak khas Dompu yang halus dan buatan tangan, juga tentang tariannya yang unik. Tetapi, ketika kami menyinggung hal-hal ini kepada sang sultan, dia tersenyum sedih dan berkata:
"Pemerintah tidak mendukung impor benang perak, untuk menghemat devisa. Kain buatan mesin dari Jawa lebih murah."
Komodo mendekam di sarang
Matahari sangat terik saat kami tiba di pantai suram dan jalan setapak samar ke pedalaman pulau. Seraya kami berbaris menembus alang-alang setinggi kepala yang berdesah, seekor babi liar mendengus dan menyeruak dari semak. Sulaiman, pemimpin rombongan, menunjuk sungai kering yang dinaungi dahan-dahan.
"Komodo merayap di sana mencari makanan," katanya. Dia menyuruh agar sepotong daging digantung satu-dua meter dari tanah.
"Sekarang kita menunggu," dia menguap, dan berbaring di tanah, langsung tidur.
Saat tengah hari, kami sudah mulai percaya bahwa makhluk Pulau Komodo ini hanya legenda seperti naga suci di Tiongkok. "Sulaiman," kata saya, mengguncangnya hingga bangun, "kau yakin tempatnya di sini?"
"Ya, tuan," gumamnya sambil mengantuk. "Sabar saja. Kadang orang menunggu berminggu-minggu." Sorenya, kami mendengar gemerisik daun kering dari dalam jurang. Kami melihat kepala sebesar ular sanca berayun perlahan, lidah kuningnya keluar-keluar.
Dengan panjang sekitar 1,5 meter, makhluk itu menakjubkan, tetapi bukan dinosaurus garang seperti yang kami bayangkan.
Saya memberi isyarat kepada Sulaiman agar menurunkan umpan itu sedikit. Dalam sekejap daging itu lenyap. Setelah itu, lebih mudah dipercaya bahwa komodo yang lebih besar dapat menelan rusa, kambing, atau babi liar, mengoyaknya dengan gigi setajam gergaji dan melahapnya, sampai tulang-tulangnya.
Kalau mau menunggu, kata si kepala desa, kami bisa melihat komodo yang besar. Tetapi, kami masih harus menempuh 800 kilometer ke Timor. Kami pun bersiap-siap berangkat ke Flores, pulau besar berikutnya ke arah timur.
"Tetapi di Labuanbajo tidak ada jalan," kata kepala desa, menunjuk peta Flores kami, ke kota di seberang selat. Peta itu jelas-jelas menunjukkan ada jalan. Kami mengandalkan jalan itu untuk mencapai pasokan bahan bakar kami berikutnya di Ende, pelabuhan utama di Flores.
"Tidak ada jalan," si kepala desa bersikeras. "Jalannya dimulai di sini, di Reo."
Timor masih menampakkan luka perang
Dili masih membangun kembali kotanya dari kerusakan akibat Perang Dunia II. Meskipun Portugal mengambil posisi netral, Timor diduduki bangsa Jepang dan menanggung bombardir berat. Pada akhir perang, kayu cendananya lenyap, kebun-kebun kopi terbengkalai, kawanan ternak habis. Sebagian besar penduduk Portugis kulit putih mati akibat kelaparan, sakit, atau serangan balasan. Hanya area permukiman, klinik, gereja, dan gedung pemerintah yang baru dibangun kembali yang memberi gambaran tentang rupa Dili kelak.
Di Timor, perburuan kepala baru-baru ini dilarang lagi. Di dekat Vila Nova di Malaca, pada rumah-rumah tinggi berhias, terdapat pajangan yang mengingatkan kita pada adat kebiasaan ini, berupa cangkang nautilus putih yang menghias atap. Cangkang yang dilubangi untuk membentuk mata sehingga sangat mirip tengkorak.
Di Atapupu, setelah melapor kepada pihak berwajib, kami mendapat informasi bahwa sudah tiga bulan tidak ada kapal yang berkunjung ke sini. Namun, ada kapal Karawutu yang akan berangkat ke Jawa dalam minggu ini.
Kembali ke Jakarta
Sekembalinya kami di Jakarta, kami memutuskan untuk mengakhiri tugas Tortuga di Indonesia. Dihajar terus-menerus oleh jalanan berbatu-batu dan laut yang ganas, ia sudah tidak layak lagi dipakai menyeberang ke Sumatra, pulau tujuan kami selanjutnya. Kami pun menaikkannya ke sebuah kapal di Tanjungpriok.
Pagi keberangkatan kami dipenuhi ketidakpastian. Jakarta masih dalam kondisi darurat, dan patroli bersenjata mondar-mandir di dermaga. Tortuga, dengan bentuknya yang mirip tank, menarik banyak tatapan curiga dari para tentara. Tetapi, ia harus membiasakan diri, karena kami akan mendatangi pulau paling sarat masalah.
Gerilyawan di dataran tinggi Sumatra
Prahara di Sumatra dimulai pada 1956, ketika sekelompok prajurit memberontak. "Dengan minyak bumi, karet, minyak kelapa sawit, rempah-rempah, dan tembakau kami," mereka mengumumkan, "Sumatra menyumbangkan hampir 50 persen devisa Indonesia. Jawa menghabiskan sebagian besarnya."
Revolusi telah dibasmi, tetapi Sumatra masih diresahkan oleh para gerilyawan. Ketika kami ke sana, sebagian besar lereng pegunungan terjalnya masih dikuasai pemberontak. Sumatra Selatan dan sebagian besar kota di pulau itu, bagaimanapun, masih dipegang oleh pemerintah.
Setibanya kami di Palembang, kami sudah tahu banyak tentang berbagai takhayul yang menyertai satwa liar, namun belum melihat satwa-satwa itu sendiri. Palembang, pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya dan kini menjadi pelabuhan penting di Sumatra Selatan, dilahirkan oleh lada, dibesarkan oleh timah, dan dibuat kaya oleh minyak. Ladang-ladang minyak milik Standard-Vacuum Oil Company, Shell, dan Caltex memasok hampir dua persen suplai minyak dunia.
Menghindari wilayah gerilyawan di Sumatra Tengah, kami meninggalkan Tortuga, lalu menempuh jalur udara dari Palembang. Di dekat Bukit Barisan, yang sebagian besarnya telah diduduki pemberontak, kami menembus lapisan awan selembut kapas yang menyamarkan puncak-puncak pegunungan.
Di Medan, Ibrahim, yang menemani kami di Nias, mengantar kami ke bandara. Kami bertemu banyak orang sepertinya di Indonesia, negeri muda yang dijalankan oleh orang-orang muda, yang memperoleh pengalaman dengan cara sulit.
Sepertinya sekarang kami mengerti mengapa Indonesia bisa bertahan selama satu setengah dekade pertamanya. Senyum Ibrahim dan lambaian tangannyalah yang mengingatkan kami: Dengan segala masalahnya, Indonesia masih ingat cara tersenyum.
---
Artikel ini merupakan ringkasan kisah Helen dan Frank Schreider di National Geographic: "Indonesia Young and Troubled Nation" (Mei 1961) dan "East From Bali by Seagoing Jeep to Timor" (Agustus 1962). Frank wafat dalam usia 70 tahun pada 1994.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR