Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, seorang veteran revolusi, negara baru ini mengambil langkah-langkah goyah pertamanya, yang nyaris menjadi langkah-langkah terakhir. Perpecahan dan kedengkian di antara pulau-pulau besar memicu perang saudara. Milisi daerah dan gerombolan pemberontak senantiasa menyibukkan tentara pemerintah.
Pemerintah baru berhasil mengatasi beberapa pemberontakan besar, tetapi yang kecil-kecilan tetap ada. Selama perjalanan lebih dari setahun mengelilingi Indonesia, kami hanya menemukan beberapa pulau yang tidak memiliki gerakan antipemerintah. Presiden-Perdana Menteri Soekarno sendiri baru-baru ini menyampaikan di depan dewan perwakilan rakyat: "Prestasi terbesar Republik Indonesia adalah bertahan."
Negara kaya dan penting
Saya dan Helen punya banyak pertanyaan tentang perjalanan kami. Bagaimana, misalnya, Tortuga II bisa menjelajahi pulau demi pulau yang tersebar di negara kepulauan seluas setengah Amerika Serikat? Sejauh apa penguasaan kami atas bahasa nasional baru, Bahasa Indonesia, akan membantu saat kami berbicara dengan penduduk dari berbagai pulau dengan 200 dialeknya?
Kendati begitu, kami tetap bersemangat memulai perjalanan—sekaligus menguji Tortuga dan kemampuan bahasa kami. Untuk banyak alasan, Indonesia menjadi daya tarik penting dunia saat ini: karena kekayaan sumber daya alamnya, karena letaknya yang strategis di antara Asia dan Australia, dan karena secara politik negara ini bersuara keras untuk blok Asia-Afrika.
Tetapi, menjelajahi pulau-pulau paling ternama di Indonesia, yakni Jawa, Sumatra, Bali, hingga ke Timor untuk National Geographic bukanlah pekerjaan mudah. Perang gerilya dan serangan pemberontak terjadi nyaris setiap hari.
Walaupun tengah giat membangun, kekurangan perumahan masih menjadi masalah di ibu kota. Dari pos perdagangan kecil bernama Batavia milik Perusahaan Perdagangan Hindia Timur Belanda, kota ini telah berkembang dan semakin akrab dengan kemacetan: sepeda, mobil, dan becak memadati jalanan.
Batasan yang cair di pertemuan sosial
Pada pekan-pekan berikutnya, kami melihat setiap sudut kota. Dari daerah pecinan yang padat di Glodok hingga area perumahan Kebayoran Baru, tempat banyak keluarga Kedutaan Amerika tinggal. Ketika itu Agustus, bulan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, dan aplikasi permohonan izin perjalanan dan foto kami tidak mengalami banyak kemajuan. Tetapi begitu bendera-bendera dan spanduk-spanduk dicopot, kami melanjutkan pengembaraan ke sejumlah kantor pemerintahan.
Akhirnya kami mendiskusikan masalah ini dengan seorang teman, Kol. Ray Cole, atase Angkatan Bersenjata AS. Jawabannya santai:
"Coba kita selesaikan masalah ini dalam satu atau dua pesta." Setiap malam, kami menemui pejabat yang berbeda-beda; dalam waktu singkat, kami sudah memperoleh semua izin.
Sawah menunjukkan siklus hidup padi
Sawah yang subur tampak di mana-mana—di lembah dalam bentuk hamparan permata hijau, di lereng bukit dalam bentuk teras-teras curam yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Sepanjang perjalanan kami melihat keseluruhan siklus: kerbau yang terengah-engah menarik bajak di lumpur berkedalaman sebetis; para wanita petani bertopi lebar yang menyerupai bunga teratai di permukaan air keruh; dan tanaman sehijau zamrud itu sendiri.
Dengan sigap, para wanita itu mengayunkan ani-ani, sabit mungil untuk memotong padi, seraya tetap menyembunyikannya untuk menjaga perasaan dewi padi. Mereka selalu bersenda gurau karena padi adalah kehidupan di Jawa.
Selama ribuan tahun, orang Jawa bergantung pada sistem irigasi untuk mengairi sawah, namun kini kebutuhan pangan di pulau ini telah jauh melampaui kemampuan produksinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR