Di beberapa area, populasi penduduk Jawa mencapai lebih dari 1.000 jiwa per kilometer persegi. Setiap tahun, pulau ini mengimpor ribuan ton beras, dan menghabiskan sebagian besar devisa yang berharga.
Irigasi mengakhiri defisit pangan
Untuk menebusnya, pemerintah tengah membuka lahan baru di Sumatra dan Kalimantan, dan mulai mewujudkan rancangan sistem irigasi besar. Bangunan air yang terpenting adalah Waduk Jatiluhur di Jawa Barat. Kami mengunjungi situs pembangunan waduk ini bersama Bapak Soerodjo, yang telah menjabat asisten direktur proyek walaupun masih berusia dua puluhan.
"Sesudah pembangunan Jatiluhur rampung," kata Soerodjo, "kami akan bisa mengairi 243 ribu hektare sawah dan memanen padi dua kali dalam setahun. Selain itu, Jatiluhur juga akan menjadi pembangkit listrik, tempat pembudidayaan ikan, pengendali banjir, sanitasi untuk Jakarta, dan area untuk rekreasi."
Terkesan akan kejujuran pria muda ini, saya bertanya tentang latar belakangnya.
"Salah satu kebutuhan terbesar Indonesia," jawabnya serius, "adalah insinyur berpengalaman. Saya baru lulus dari Institut Teknologi Bandung [ITB] tiga tahun yang lalu." ITB, didirikan pada 1920, merupakan perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia. Presiden Soekarno, seorang insinyur sipil, adalah salah seorang lulusan pertamanya.
Bandung terletak di area paling bermasalah di jantung Pulau Jawa.
Kelompok pemberontak Darul Islam, yang ingin mendirikan negara Islam, tengah menjarah pinggiran kota sehingga kami harus mengalihkan tujuan ke utara, yakni Laut Jawa. Di Subang, kami mengunjungi perkebunan yang dioperasikan oleh salah satu produsen teh dan karet terbesar di Jawa, P&T Lands. Perusahaan milik Inggris ini mengelola lahan seluas 22.300 hektare. Dr. John G. Churchward, penasihat pertanian di sana, mengundang kami untuk bermalam di rumahnya. Paginya, seorang pelayan mengetuk pintu kami.
"Anda mau teh atau kopi pagi ini?" tanyanya.
"Kopi saja," gumam saya dengan mengantuk.
Saat sarapan saya menyadari kesalahan saya. Dr. Churchward memegang seteko teh panas.
"Kalian tidak boleh meninggalkan Subang tanpa mencicipi teh kami," dia meringis. "Kami sangat membanggakannya."
Berkat keanekaragaman ketinggian lahan, perkebunan P&T dapat menghasilkan teh, karet, sisal, tapioka, kapuk, kina, beras, jati, kakao, merica—dan tentunya kopi. "Eksport kami menghasilkan lebih dari sebelas juta dolar per tahun," ungkapnya. Walaupun rempah Indonesialah yang mendatangkan orang Eropa pertama, para pendatang baru itu pulalah yang mengimpor aneka tanaman perkebunan yang kini mendatangkan kekayaan bagi negeri ini: teh dari Assam, karet dari Brasilia, kina dari Bolivia, kopi dari Kongo.
Kaisar meminta badak
Kami menuju Yogyakarta, metropolis Jawa Tengah. Sembari menikmati perjalanan, kami mencoba merangkai apa saja yang telah kami ketahui mengenai masa lalu rumit Indonesia.
Para pelaut Tiongkok berlayar ke kepulauan ini 2.000 tahun silam, menurut sebuah catatan kuno, untuk mencari mutiara dan batu-batu permata berharga lainnya. Pada abad pertama Masehi, seorang kaisar mengutus sebuah delegasi ke Sumatra untuk menangkap badak yang akan dipamerkan di kebun binatang kekaisaran.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR