Kami menyajikan kisah pasangan muda asal Amerika, Helen dan Frank Schreider, yang bertualang ke Republik Indonesia tatkala negeri ini dalam gejolak remaja. Kisah tersebut pernah diterbitkan dalam National Geographic edisi Mei 1961 dan Agustus 1962. Pasangan itu memulai penjelajahan dunia pada 1954. Mereka berkesempatan juga menyusuri Sumatra, Jawa, Bali hingga Timor; melintasi daerah pemberontak yang berkecamuk pascakemerdekaan. Uniknya, mereka menggunakan mobil Jeep amfibi, yang mampu menjejaki daratan dan menyeberangi perairan selat di kawasan timur. Semangat mereka mengingatkan kita tentang negeri maritim, betapa pembangunan angkutan laut sama pentingnya dengan pembangunan angkutan darat.
Harapan tertuju kepada kepemimpinan baru Indonesia, yang bergemuruh di seantero negeri pada Oktober ini. Rakyat berharap, sang pemimpin mampu menggenjot berbagai potensi, juga menyelesaikan dera perkara di negeri yang telah berusia 69 tahun. Setengah abad silam, Helen dan Frank menjulukinya sebagai negeri kepulauan muda yang sarat perkara. Apakah kita masih bergelut dengan perkara yang sama tatkala mereka berjejak di negeri ini?
!break!Keriuhan lalu lintas Kota Jakarta mengepung kami; saya berbelok dengan lebih hati-hati daripada biasanya. Dor! Ledakan senapan terdengar di dekat kami, dan sekelompok prajurit muncul. Beberapa menit kemudian kami telah berdiri di kantor seorang komandan angkatan bersenjata.
Sang komandan tersenyum. Menyesal.
"Maafkan kami," katanya, "tetapi Indonesia sedang dalam keadaan darurat. Bahkan di ibu kota ini pun aparat kadang-kadang menembak dahulu sebelum bertanya."
Dia mempersilakan kami duduk. "Saya lega kalian baik-baik saja, begitu pula mobil kalian." Dia ragu-ragu. "Itu mobil, bukan?"
Helen, istri saya, tertawa. "Setengahnya iya. Ini Jeep amfibi. Kami menyebutnya Tortuga—bahasa Spanyol untuk \'kura-kura\'—karena mobil ini bisa digunakan di darat maupun air."
"Tortuga I rusak setelah digunakan menempuh perjalanan dari Arktika ke Amerika Selatan. Ini Tortuga II."
Sang komandan mengangguk-angguk. "Semoga kalian dan kura-kura kalian menikmati kepulauan kami, dan saya minta maaf atas sambutan buruk ini. Tetapi, barangkali lebih baik Anda tahu sejak awal: Indonesia adalah negeri yang sarat masalah."
Tortuga II dan pendahulunya, Tortuga I, telah membawa kami ratusan kilometer dengan selamat menyusuri pantai Amerika Tengah, menghiliri Sungai Gangga India, dan melintasi selat nan deras yang memisahkan Jawa dan Bali.
Tortuga II sepanjang 4,5 meter yang dirancang khusus untuk perjalanan kami di Indonesia ini menerapkan pelajaran yang dipetik dari semua perjalanan kami sebelumnya. Kendaraan ini memiliki mesin yang lebih kuat, sistem pendingin ganda untuk perjalanan laut, kompas yang terkalibrasi, dan meja peta untuk navigasi. Dapurnya dilengkapi kompor berbahan bakar alkohol. Lemarinya memuat makanan kaleng untuk dua bulan, tangki bahan bakarnya terisi bensin untuk 150 kilometer perjalanan laut atau 750 kilometer perjalanan darat.
Selagi berkendara melewati Lapangan Merdeka di Jakarta, saya merenungkan kata-kata sang komandan. Negerinya memang sarat masalah. Tetapi, negeri ini beruntung karena telah berdaulat. Sejarah modern Indonesia dimulai dengan berakhirnya Perang Dunia II dan masa penjajahan Jepang. Berlandaskan tekad untuk merdeka dari pengaruh asing, bekas koloni Belanda ini memproklamasikan kedaulatannya sebagai republik pada 17 Agustus 1945, dan bertahan dari usaha pendudukan ulang oleh Belanda.
Empat tahun negosiasi alot dan konflik berdarah menyusul. Tidak ada yang tahu berapa korban jiwa saat itu, namun Indonesia memperkirakan jumlahnya sekitar ratusan ribu. Akhirnya, pada Desember 1949, Belanda menarik seluruh pasukannya dari negara kepulauan itu kecuali di setengah bagian Papua Nugini.
Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, seorang veteran revolusi, negara baru ini mengambil langkah-langkah goyah pertamanya, yang nyaris menjadi langkah-langkah terakhir. Perpecahan dan kedengkian di antara pulau-pulau besar memicu perang saudara. Milisi daerah dan gerombolan pemberontak senantiasa menyibukkan tentara pemerintah.
Pemerintah baru berhasil mengatasi beberapa pemberontakan besar, tetapi yang kecil-kecilan tetap ada. Selama perjalanan lebih dari setahun mengelilingi Indonesia, kami hanya menemukan beberapa pulau yang tidak memiliki gerakan antipemerintah. Presiden-Perdana Menteri Soekarno sendiri baru-baru ini menyampaikan di depan dewan perwakilan rakyat: "Prestasi terbesar Republik Indonesia adalah bertahan."
Negara kaya dan penting
Saya dan Helen punya banyak pertanyaan tentang perjalanan kami. Bagaimana, misalnya, Tortuga II bisa menjelajahi pulau demi pulau yang tersebar di negara kepulauan seluas setengah Amerika Serikat? Sejauh apa penguasaan kami atas bahasa nasional baru, Bahasa Indonesia, akan membantu saat kami berbicara dengan penduduk dari berbagai pulau dengan 200 dialeknya?
Kendati begitu, kami tetap bersemangat memulai perjalanan—sekaligus menguji Tortuga dan kemampuan bahasa kami. Untuk banyak alasan, Indonesia menjadi daya tarik penting dunia saat ini: karena kekayaan sumber daya alamnya, karena letaknya yang strategis di antara Asia dan Australia, dan karena secara politik negara ini bersuara keras untuk blok Asia-Afrika.
Tetapi, menjelajahi pulau-pulau paling ternama di Indonesia, yakni Jawa, Sumatra, Bali, hingga ke Timor untuk National Geographic bukanlah pekerjaan mudah. Perang gerilya dan serangan pemberontak terjadi nyaris setiap hari.
Walaupun tengah giat membangun, kekurangan perumahan masih menjadi masalah di ibu kota. Dari pos perdagangan kecil bernama Batavia milik Perusahaan Perdagangan Hindia Timur Belanda, kota ini telah berkembang dan semakin akrab dengan kemacetan: sepeda, mobil, dan becak memadati jalanan.
Batasan yang cair di pertemuan sosial
Pada pekan-pekan berikutnya, kami melihat setiap sudut kota. Dari daerah pecinan yang padat di Glodok hingga area perumahan Kebayoran Baru, tempat banyak keluarga Kedutaan Amerika tinggal. Ketika itu Agustus, bulan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, dan aplikasi permohonan izin perjalanan dan foto kami tidak mengalami banyak kemajuan. Tetapi begitu bendera-bendera dan spanduk-spanduk dicopot, kami melanjutkan pengembaraan ke sejumlah kantor pemerintahan.
Akhirnya kami mendiskusikan masalah ini dengan seorang teman, Kol. Ray Cole, atase Angkatan Bersenjata AS. Jawabannya santai:
"Coba kita selesaikan masalah ini dalam satu atau dua pesta." Setiap malam, kami menemui pejabat yang berbeda-beda; dalam waktu singkat, kami sudah memperoleh semua izin.
Sawah menunjukkan siklus hidup padi
Sawah yang subur tampak di mana-mana—di lembah dalam bentuk hamparan permata hijau, di lereng bukit dalam bentuk teras-teras curam yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Sepanjang perjalanan kami melihat keseluruhan siklus: kerbau yang terengah-engah menarik bajak di lumpur berkedalaman sebetis; para wanita petani bertopi lebar yang menyerupai bunga teratai di permukaan air keruh; dan tanaman sehijau zamrud itu sendiri.
Dengan sigap, para wanita itu mengayunkan ani-ani, sabit mungil untuk memotong padi, seraya tetap menyembunyikannya untuk menjaga perasaan dewi padi. Mereka selalu bersenda gurau karena padi adalah kehidupan di Jawa.
Selama ribuan tahun, orang Jawa bergantung pada sistem irigasi untuk mengairi sawah, namun kini kebutuhan pangan di pulau ini telah jauh melampaui kemampuan produksinya.
Di beberapa area, populasi penduduk Jawa mencapai lebih dari 1.000 jiwa per kilometer persegi. Setiap tahun, pulau ini mengimpor ribuan ton beras, dan menghabiskan sebagian besar devisa yang berharga.
Irigasi mengakhiri defisit pangan
Untuk menebusnya, pemerintah tengah membuka lahan baru di Sumatra dan Kalimantan, dan mulai mewujudkan rancangan sistem irigasi besar. Bangunan air yang terpenting adalah Waduk Jatiluhur di Jawa Barat. Kami mengunjungi situs pembangunan waduk ini bersama Bapak Soerodjo, yang telah menjabat asisten direktur proyek walaupun masih berusia dua puluhan.
"Sesudah pembangunan Jatiluhur rampung," kata Soerodjo, "kami akan bisa mengairi 243 ribu hektare sawah dan memanen padi dua kali dalam setahun. Selain itu, Jatiluhur juga akan menjadi pembangkit listrik, tempat pembudidayaan ikan, pengendali banjir, sanitasi untuk Jakarta, dan area untuk rekreasi."
Terkesan akan kejujuran pria muda ini, saya bertanya tentang latar belakangnya.
"Salah satu kebutuhan terbesar Indonesia," jawabnya serius, "adalah insinyur berpengalaman. Saya baru lulus dari Institut Teknologi Bandung [ITB] tiga tahun yang lalu." ITB, didirikan pada 1920, merupakan perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia. Presiden Soekarno, seorang insinyur sipil, adalah salah seorang lulusan pertamanya.
Bandung terletak di area paling bermasalah di jantung Pulau Jawa.
Kelompok pemberontak Darul Islam, yang ingin mendirikan negara Islam, tengah menjarah pinggiran kota sehingga kami harus mengalihkan tujuan ke utara, yakni Laut Jawa. Di Subang, kami mengunjungi perkebunan yang dioperasikan oleh salah satu produsen teh dan karet terbesar di Jawa, P&T Lands. Perusahaan milik Inggris ini mengelola lahan seluas 22.300 hektare. Dr. John G. Churchward, penasihat pertanian di sana, mengundang kami untuk bermalam di rumahnya. Paginya, seorang pelayan mengetuk pintu kami.
"Anda mau teh atau kopi pagi ini?" tanyanya.
"Kopi saja," gumam saya dengan mengantuk.
Saat sarapan saya menyadari kesalahan saya. Dr. Churchward memegang seteko teh panas.
"Kalian tidak boleh meninggalkan Subang tanpa mencicipi teh kami," dia meringis. "Kami sangat membanggakannya."
Berkat keanekaragaman ketinggian lahan, perkebunan P&T dapat menghasilkan teh, karet, sisal, tapioka, kapuk, kina, beras, jati, kakao, merica—dan tentunya kopi. "Eksport kami menghasilkan lebih dari sebelas juta dolar per tahun," ungkapnya. Walaupun rempah Indonesialah yang mendatangkan orang Eropa pertama, para pendatang baru itu pulalah yang mengimpor aneka tanaman perkebunan yang kini mendatangkan kekayaan bagi negeri ini: teh dari Assam, karet dari Brasilia, kina dari Bolivia, kopi dari Kongo.
Kaisar meminta badak
Kami menuju Yogyakarta, metropolis Jawa Tengah. Sembari menikmati perjalanan, kami mencoba merangkai apa saja yang telah kami ketahui mengenai masa lalu rumit Indonesia.
Para pelaut Tiongkok berlayar ke kepulauan ini 2.000 tahun silam, menurut sebuah catatan kuno, untuk mencari mutiara dan batu-batu permata berharga lainnya. Pada abad pertama Masehi, seorang kaisar mengutus sebuah delegasi ke Sumatra untuk menangkap badak yang akan dipamerkan di kebun binatang kekaisaran.
Baru pada abad kelima, sejarah tertulis Indonesia dimulai: awal kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam; sekuel penjajahan Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda; dan akhirnya masa pendudukan Jepang dan revolusi pascaperang.
Di gerbang Keraton Yogyakarta, kami ditemui oleh kepala penjaga (abdi dalem), yang memegang jabatan sangat bergengsi ini secara turun-temurun. Pria lanjut usia itu mengenakan busana tradisional keraton: batik indigo-cokelat; jas pas-badan berkerah tinggi; dan blangkon, serban khas Jawa dengan konde di belakang. Di ikat pinggangnya tergantung sebilah keris, yang konon mengandung kekuatan sihir.
Terlahir dalam tradisi kesucian Sultan, pria itu menatap kami dengan curiga. Kami melewati ruangan persenjataan sakral, kamar pengantin, singgasana, dan Paviliun Emas, dengan langit-langit tinggi berlapis emasnya, tanpa bisa mengambil satu pun foto.
Sekelompok wanita tengah menjalankan prosesi menyeberangi halaman istana. Para abdi istri-istri Sultan itu mengenakan kain bercorak meriah, dengan bahu telanjang dan payudara berbalut kemben kuning. Salah seorangnya membawa sebuah poci teh di bawah naungan payung kebesaran. Saya mengangkat kamera. Si penjaga sontak maju—dilarang memotret!
Saya mengerang, "Seandainya Sultan yang progresif itu ada di sini."
Tabu masih menghantui juru kamera
Keesokan paginya, perayaan Sekaten digelar. Perayaan ini melibatkan kepercayaan animisme, Hinduisme, dan Islam, dan kami tiba lebih awal di keraton untuk menyaksikan prosesinya.
Hari masih gelap di balik lindungan tembok keraton, namun gunungan-gunungan nasi, tumpeng besar berangka bambu yang dilapisi bungkusan-bungkusan nasi, sudah diletakkan di paviliun. Nantinya gunungan-gunungan itu akan diangkut ke masjid, tempat orang-orang yang percaya bahwa benda itu membawa nasib baik, akan memperebutkannya.
Mencari dudukan kamera dan agar dapat melihat ke semua penjuru, saya memanjat pendopo yang sepi di atas tembok halaman.
Pada pukul delapan, gerbang dibuka dan para wanita pengawal keraton keluar. Wanita-wanita tegap dengan keris panjang terselip di ikat pinggang itu melakukan pemeriksaan terakhir terhadap gunungan-gunungan nasi. Para pedagang asongan menjajakan manisan, balon, dan gasing kepada para penonton.
Satu jam berlalu, dan satu jam lagi. Gerbang dibuka lagi, dan para pejabat keraton, mengenakan serban putih dan jubah putih panjang yang biasa dikenakan haji, berbaris keluar dan duduk dengan nyaman di bantal-bantal empuk.
Kira-kira pada waktu yang sama, seorang polisi menghampiri saya. "Turun," perintahnya.
Gamelan dimainkan, dan prosesi dimulai. "Tapi mengapa?" tanya saya. "Saya tidak menghalangi siapa-siapa."
Dia hanya mengangkat bahu. "Turun."
Dengan putus asa, saya menunjukkan kartu pers saya kepadanya. Saya bahkan menunjukkan semua surat izin saya, tetapi sia-sia saja.
Seorang wanita muda di tengah kerumunan penonton menjelaskan, "Saya guru di sekolah keraton," katanya. "Maaf, tetapi Anda harus turun. Anda duduk di tempat yang lebih tinggi daripada kepala Sultan."
"Tetapi Sultan tidak ada di sini," saya memohon.
"Saya tahu, tetapi Anda duduk di tempat yang lebih tinggi dari perwakilan beliau. Itu dianggap tidak sopan."
Merasa kalah, saya melompat turun. Gamelan sudah siap, dan para pria yang bertugas memikul gunungan-gunungan nasi telah mengambil posisi. Mau tidak mau saya menyesali kesempatan memotret yang hilang begitu saja.
Tetapi guru itu menarik lengan baju saya. "Cepat, di sana," dia menunjuk tembok tipis setinggi 4,5 meter. "Tempat itu cukup jauh, dan saya akan mengambilkanmu tangga."
Tangga tiba, saya melesat naik, dan memotret prosesi tepat pada waktunya. Pendidikan keluarga kesultanan, pikir saya kemudian, berada di tangan yang tepat!
Pada suatu malam kami menonton pertunjukan wayang kulit bersama seorang mahasiswa kedokteran, Humardani, yang memiliki hobi mempelajari tarian dan sandiwara Jawa. Diiringi alunan gamelan, nyala lampu minyak menari-nari, menghasilkan bayangan wayang di layar putih. Dalam kendali tangan lihai sang dalang, para pahlawan dari epos Hindu dalam Mahabharata dan Ramayana bertarung dan berbagi kasih dengan sangat nyata.
"Dahulu kala," Humardani menjelaskan, "bayangan dipercaya sebagai arwah orang yang sudah meninggal, dan dalang menjadi medium antara mereka dan orang-orang yang masih hidup. Dalang dianggap orang suci, bahkan hingga kini, dupa masih dinyalakan dan doa-doa dipanjatkan dalam pertunjukan penting.
Dari Yogyakarta, kami menuju Surabaya. Jalan ke timur menuju Surabaya melewati banyak pedesaan dengan pabrik gula yang hancur, dan belum diperbaiki sejak masa revolusi. Perkebunan tebu sudah berganti menjadi ladang sawah, dan ekspor gula juga turun. Kota pelabuhan Surabaya memiliki ritme yang lebih cepat dibandingkan Yogyakarta, dengan truk-truk peti kemas, kapal tanker, dan kapal perang.
Kami menyeberang ke utara, ke Pulau Madura. "Anda harus menyaksikan karapan sapi," kata seorang Madura di Jakarta. Kelihatan sekali bahwa sapi-sapi itu dirawat dengan baik.
"Mereka diberi makan telur mentah, 50 butir sehari," kata Soenarto, seorang pejabat lokal yang susah payah mengusahakan pertunjukan ini untuk kami.
Kami pun kembali ke Surabaya, untuk kemudian menyeberang ke Pulau Bali.
Debut Tortuga mencicipi air asin
Di seberang selat Bali sejauh sekitar 4,3 kilometer, terlihat puncak-puncak menghijau Pulau Bali. Kami menyeberang sambil bertempur dengan ombak dan angin monsun. Untuk menghindari arus yang kian buruk, kami melambung ke utara, menuju Laut Jawa, lalu berbelok ke timur, menuju titik sejauh 21 kilometer dari pantai utara Bali. Sampai di bibir pantai, kami menembus hutan kelapa, menghajar lintasan bergelombang, dan disambut prosesi para dewi Bali.
Saya tidak tahu siapa yang lebih terkejut; para dewi yang melihat Tortuga muncul dari laut, atau kami yang kini tengah berada di tengah-tengah para wanita dewata, berhias bunga emas di rambut, sambil menyandang setumpuk buah-buahan sesaji di kepala mereka.
Tarian pembawa ketegangan
Pada suatu malam, Nyoman membawa kami berjoget. Di sini tidak ada tatapan malu-malu, bahasa tubuh tersamar seperti yang kami lihat di pertunjukan legong, tarian yang dibawakan oleh gadis-gadis muda belia Bali.
Kali ini, seorang gadis bermahkota emas berusia akhir remaja dengan luwes menari di antara para lelaki yang menatap penuh kekaguman, menggoyang-goyangkan pinggul berhias renda dengan genit mengikuti tabuhan drum dan gong.
Dari tempat saya di depan, saya dapat melihat Helen di seberang lingkaran bersama para wanita lainnya, berdiri di tumpukan bata. Tiba-tiba, si penari dengan lincah menghampiri saya. Tempo gamelan seketika naik, dan si penari mulai menggoda saya.
Gemuruh terdengar, dan tumpukan bata Helen ambruk. Gadis itu melewati saya, dan saya mengembuskan napas lega—atau kecewa—saat dia memilih pemuda Bali di belakang saya.
Dari bali ke Timor
Kami meninggalkan Bali tak lama setelah fajar. Tortuga II turun dengan mudah ke ombak panjang yang tenang. Di sekitar kami, perahu jukung para nelayan Bali meluncur di laut bak laba-laba air.
Tujuan kami adalah Timor, di ujung Kepulauan Sunda Kecil. Seratus tahun sebelumnya, naturalis besar Inggris, Alfred Russel Wallace juga menyeberangi selat ini. Dia mencari data untuk mengonfirmasi teorinya bahwa Selat Lombok adalah garis pemisah antara dunia flora-fauna Asia dan Australia. Dia meyakini bahwa wilayah dari Bali ke barat dihuni oleh tumbuhan tropis; gajah, harimau, ternak liar, dan monyet Asia. Tetapi, di sebelah timur Bali terdapat tumbuhan kering berduri, kakaktua, nuri, dan kadal raksasa khas Australia.
Selain ini, kami tidak tahu banyak tentang apa yang akan kami temukan di Nusa Tenggara, demikian sebutan orang Indonesia untuk Sunda Kecil. Selama tetirah panjang di Jawa, kami hanya bertemu tiga orang Indonesia yang pernah ke sebelah timur Bali. Tempat ini hampir seperti terra incognita; bangsa Belanda, sepanjang masa kekuasaannya selama 350 tahun, baru menundukkan suku pribumi kepulauan ini pada awal 1900-an.
Membentang sekitar 5.000 kilometer, dari daratan Asia ke selatan dan timur hingga Australia dan Papua Nugini, kepulauan Indonesia bagaikan tanggul besar di antara Samudra Pasifik dan Samudra India. Sebagaimana pintu air, jalur laut di antara pulau menyamakan tekanan saat laut naik dan surut seiring pasang; arusnya mengalir dari laut ke laut dengan kecepatan yang kadang mencapai sepuluh knot.
Sekarang kami akan menempuh penyeberangan nonstop terpanjang yang pernah kami hadapi. Sekitar 90 kilometer di timur, tampak sayup pegunungan Lombok yang berselimut kabut. Di suatu tempat di kaki pegunungan itu terdapat pelabuhan kecil Ampenan yang kami tuju hari ini.
Pada tengah hari, jalur perjalanan kami merentang mulus ke tengah selat. Tetapi, posisi kami pada jam satu sudah bergeser jauh ke selatan. Arus berubah arah seiring pasang. Kami dihanyutkan air surut ke arah Samudra Hindia.
Saya menaikkan kecepatan menjadi enam knot, mendekati maksimum Tortuga, dan mengubah arah. Jauh di utara, Ampenan sudah tak terjangkau. Sambil mengharapkan bantuan dari arus, kami menuju teluk kecil yang terlindung di sebelah selatan.
Menjelang sore arus masih menguat, dan ketika angin membelok ke utara, terbentuk ombak besar. Haluan Tortuga menukik saat menuruni ombak dan mendongak liar saat naik. Air menciprat tinggi dan mencambuk buritan bersama angin, sampai kami basah kuyup.
Tak lama sebelum petang, dengan mesin bekerja keras, kami mendarat di pantai karang di dekat desa kecil. Arus telah mendorong kami 29 kilometer ke selatan Ampenan.
Daerah yang kering dan bersemak duri itu tampaknya jarang penduduk, tetapi dalam hitungan menit kami sudah mendapat tamu berbondong-bondong. Dengan ramah mereka mengerubungi jip, sementara Helen menyiapkan makan malam, berseru melihat keajaiban kompor kami dan air yang mengalir dari pipa.
Selama di Jawa dan Bali kami melatih bahasa Indonesia, bahasa nasional baru bagi republik kepulauan yang luas itu. Tetapi, ketika menyapa penduduk desa, kami hanya mendapat tatapan hampa. Tidak seyakin semula, saya mengulangi kata-kata itu, menambahkan bahwa kami tidak terlalu pandai berbahasa Indonesia.
Mendengar kata "bahasa Indonesia," seorang remaja lelaki angkat suara: "Saya juga, tuan." Orang Lombok punya bahasa sendiri, bahasa Sasak. Seorang nenek tua, keriput dan beruban tetapi ramping seperti anak gadis, berseru, "Minta lihat."
Tetapi, hari sudah gelap dan kami berjanji menunjukkan bagian dalam jip kepadanya besok pagi. Sebelum fajar dia sudah kembali—membawa segenggam telur yang berharga sebagai hadiah.
Sultan peninggalan masa lampau
Di Sumbawa Besar, persinggahan kami berikutnya, ada seorang sultan. Kini sultan tak lagi punya kuasa. Mereka merupakan pejabat yang ditunjuk pemerintah; lama-kelamaan mereka akan digantikan pejabat terpilih. Di Dompu, bekas kesultanan juga, kami bertamu ke "istana", yang tidak dapat dibedakan dengan rumah lain yang berbentuk kotak dan beratap genting, kecuali bahwa ukurannya agak lebih besar.
Kami sudah mendengar tentang kain tenun perak khas Dompu yang halus dan buatan tangan, juga tentang tariannya yang unik. Tetapi, ketika kami menyinggung hal-hal ini kepada sang sultan, dia tersenyum sedih dan berkata:
"Pemerintah tidak mendukung impor benang perak, untuk menghemat devisa. Kain buatan mesin dari Jawa lebih murah."
Komodo mendekam di sarang
Matahari sangat terik saat kami tiba di pantai suram dan jalan setapak samar ke pedalaman pulau. Seraya kami berbaris menembus alang-alang setinggi kepala yang berdesah, seekor babi liar mendengus dan menyeruak dari semak. Sulaiman, pemimpin rombongan, menunjuk sungai kering yang dinaungi dahan-dahan.
"Komodo merayap di sana mencari makanan," katanya. Dia menyuruh agar sepotong daging digantung satu-dua meter dari tanah.
"Sekarang kita menunggu," dia menguap, dan berbaring di tanah, langsung tidur.
Saat tengah hari, kami sudah mulai percaya bahwa makhluk Pulau Komodo ini hanya legenda seperti naga suci di Tiongkok. "Sulaiman," kata saya, mengguncangnya hingga bangun, "kau yakin tempatnya di sini?"
"Ya, tuan," gumamnya sambil mengantuk. "Sabar saja. Kadang orang menunggu berminggu-minggu." Sorenya, kami mendengar gemerisik daun kering dari dalam jurang. Kami melihat kepala sebesar ular sanca berayun perlahan, lidah kuningnya keluar-keluar.
Dengan panjang sekitar 1,5 meter, makhluk itu menakjubkan, tetapi bukan dinosaurus garang seperti yang kami bayangkan.
Saya memberi isyarat kepada Sulaiman agar menurunkan umpan itu sedikit. Dalam sekejap daging itu lenyap. Setelah itu, lebih mudah dipercaya bahwa komodo yang lebih besar dapat menelan rusa, kambing, atau babi liar, mengoyaknya dengan gigi setajam gergaji dan melahapnya, sampai tulang-tulangnya.
Kalau mau menunggu, kata si kepala desa, kami bisa melihat komodo yang besar. Tetapi, kami masih harus menempuh 800 kilometer ke Timor. Kami pun bersiap-siap berangkat ke Flores, pulau besar berikutnya ke arah timur.
"Tetapi di Labuanbajo tidak ada jalan," kata kepala desa, menunjuk peta Flores kami, ke kota di seberang selat. Peta itu jelas-jelas menunjukkan ada jalan. Kami mengandalkan jalan itu untuk mencapai pasokan bahan bakar kami berikutnya di Ende, pelabuhan utama di Flores.
"Tidak ada jalan," si kepala desa bersikeras. "Jalannya dimulai di sini, di Reo."
Timor masih menampakkan luka perang
Dili masih membangun kembali kotanya dari kerusakan akibat Perang Dunia II. Meskipun Portugal mengambil posisi netral, Timor diduduki bangsa Jepang dan menanggung bombardir berat. Pada akhir perang, kayu cendananya lenyap, kebun-kebun kopi terbengkalai, kawanan ternak habis. Sebagian besar penduduk Portugis kulit putih mati akibat kelaparan, sakit, atau serangan balasan. Hanya area permukiman, klinik, gereja, dan gedung pemerintah yang baru dibangun kembali yang memberi gambaran tentang rupa Dili kelak.
Di Timor, perburuan kepala baru-baru ini dilarang lagi. Di dekat Vila Nova di Malaca, pada rumah-rumah tinggi berhias, terdapat pajangan yang mengingatkan kita pada adat kebiasaan ini, berupa cangkang nautilus putih yang menghias atap. Cangkang yang dilubangi untuk membentuk mata sehingga sangat mirip tengkorak.
Di Atapupu, setelah melapor kepada pihak berwajib, kami mendapat informasi bahwa sudah tiga bulan tidak ada kapal yang berkunjung ke sini. Namun, ada kapal Karawutu yang akan berangkat ke Jawa dalam minggu ini.
Kembali ke Jakarta
Sekembalinya kami di Jakarta, kami memutuskan untuk mengakhiri tugas Tortuga di Indonesia. Dihajar terus-menerus oleh jalanan berbatu-batu dan laut yang ganas, ia sudah tidak layak lagi dipakai menyeberang ke Sumatra, pulau tujuan kami selanjutnya. Kami pun menaikkannya ke sebuah kapal di Tanjungpriok.
Pagi keberangkatan kami dipenuhi ketidakpastian. Jakarta masih dalam kondisi darurat, dan patroli bersenjata mondar-mandir di dermaga. Tortuga, dengan bentuknya yang mirip tank, menarik banyak tatapan curiga dari para tentara. Tetapi, ia harus membiasakan diri, karena kami akan mendatangi pulau paling sarat masalah.
Gerilyawan di dataran tinggi Sumatra
Prahara di Sumatra dimulai pada 1956, ketika sekelompok prajurit memberontak. "Dengan minyak bumi, karet, minyak kelapa sawit, rempah-rempah, dan tembakau kami," mereka mengumumkan, "Sumatra menyumbangkan hampir 50 persen devisa Indonesia. Jawa menghabiskan sebagian besarnya."
Revolusi telah dibasmi, tetapi Sumatra masih diresahkan oleh para gerilyawan. Ketika kami ke sana, sebagian besar lereng pegunungan terjalnya masih dikuasai pemberontak. Sumatra Selatan dan sebagian besar kota di pulau itu, bagaimanapun, masih dipegang oleh pemerintah.
Setibanya kami di Palembang, kami sudah tahu banyak tentang berbagai takhayul yang menyertai satwa liar, namun belum melihat satwa-satwa itu sendiri. Palembang, pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya dan kini menjadi pelabuhan penting di Sumatra Selatan, dilahirkan oleh lada, dibesarkan oleh timah, dan dibuat kaya oleh minyak. Ladang-ladang minyak milik Standard-Vacuum Oil Company, Shell, dan Caltex memasok hampir dua persen suplai minyak dunia.
Menghindari wilayah gerilyawan di Sumatra Tengah, kami meninggalkan Tortuga, lalu menempuh jalur udara dari Palembang. Di dekat Bukit Barisan, yang sebagian besarnya telah diduduki pemberontak, kami menembus lapisan awan selembut kapas yang menyamarkan puncak-puncak pegunungan.
Di Medan, Ibrahim, yang menemani kami di Nias, mengantar kami ke bandara. Kami bertemu banyak orang sepertinya di Indonesia, negeri muda yang dijalankan oleh orang-orang muda, yang memperoleh pengalaman dengan cara sulit.
Sepertinya sekarang kami mengerti mengapa Indonesia bisa bertahan selama satu setengah dekade pertamanya. Senyum Ibrahim dan lambaian tangannyalah yang mengingatkan kami: Dengan segala masalahnya, Indonesia masih ingat cara tersenyum.
---
Artikel ini merupakan ringkasan kisah Helen dan Frank Schreider di National Geographic: "Indonesia Young and Troubled Nation" (Mei 1961) dan "East From Bali by Seagoing Jeep to Timor" (Agustus 1962). Frank wafat dalam usia 70 tahun pada 1994.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR