Dengan putus asa, saya menunjukkan kartu pers saya kepadanya. Saya bahkan menunjukkan semua surat izin saya, tetapi sia-sia saja.
Seorang wanita muda di tengah kerumunan penonton menjelaskan, "Saya guru di sekolah keraton," katanya. "Maaf, tetapi Anda harus turun. Anda duduk di tempat yang lebih tinggi daripada kepala Sultan."
"Tetapi Sultan tidak ada di sini," saya memohon.
"Saya tahu, tetapi Anda duduk di tempat yang lebih tinggi dari perwakilan beliau. Itu dianggap tidak sopan."
Merasa kalah, saya melompat turun. Gamelan sudah siap, dan para pria yang bertugas memikul gunungan-gunungan nasi telah mengambil posisi. Mau tidak mau saya menyesali kesempatan memotret yang hilang begitu saja.
Tetapi guru itu menarik lengan baju saya. "Cepat, di sana," dia menunjuk tembok tipis setinggi 4,5 meter. "Tempat itu cukup jauh, dan saya akan mengambilkanmu tangga."
Tangga tiba, saya melesat naik, dan memotret prosesi tepat pada waktunya. Pendidikan keluarga kesultanan, pikir saya kemudian, berada di tangan yang tepat!
Pada suatu malam kami menonton pertunjukan wayang kulit bersama seorang mahasiswa kedokteran, Humardani, yang memiliki hobi mempelajari tarian dan sandiwara Jawa. Diiringi alunan gamelan, nyala lampu minyak menari-nari, menghasilkan bayangan wayang di layar putih. Dalam kendali tangan lihai sang dalang, para pahlawan dari epos Hindu dalam Mahabharata dan Ramayana bertarung dan berbagi kasih dengan sangat nyata.
"Dahulu kala," Humardani menjelaskan, "bayangan dipercaya sebagai arwah orang yang sudah meninggal, dan dalang menjadi medium antara mereka dan orang-orang yang masih hidup. Dalang dianggap orang suci, bahkan hingga kini, dupa masih dinyalakan dan doa-doa dipanjatkan dalam pertunjukan penting.
Dari Yogyakarta, kami menuju Surabaya. Jalan ke timur menuju Surabaya melewati banyak pedesaan dengan pabrik gula yang hancur, dan belum diperbaiki sejak masa revolusi. Perkebunan tebu sudah berganti menjadi ladang sawah, dan ekspor gula juga turun. Kota pelabuhan Surabaya memiliki ritme yang lebih cepat dibandingkan Yogyakarta, dengan truk-truk peti kemas, kapal tanker, dan kapal perang.
Kami menyeberang ke utara, ke Pulau Madura. "Anda harus menyaksikan karapan sapi," kata seorang Madura di Jakarta. Kelihatan sekali bahwa sapi-sapi itu dirawat dengan baik.
"Mereka diberi makan telur mentah, 50 butir sehari," kata Soenarto, seorang pejabat lokal yang susah payah mengusahakan pertunjukan ini untuk kami.
Kami pun kembali ke Surabaya, untuk kemudian menyeberang ke Pulau Bali.
Debut Tortuga mencicipi air asin
Di seberang selat Bali sejauh sekitar 4,3 kilometer, terlihat puncak-puncak menghijau Pulau Bali. Kami menyeberang sambil bertempur dengan ombak dan angin monsun. Untuk menghindari arus yang kian buruk, kami melambung ke utara, menuju Laut Jawa, lalu berbelok ke timur, menuju titik sejauh 21 kilometer dari pantai utara Bali. Sampai di bibir pantai, kami menembus hutan kelapa, menghajar lintasan bergelombang, dan disambut prosesi para dewi Bali.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR