Nationalgeographic.co.id—Seorang laki-laki Yahudi yang pernah bertetangga dengan Hitler mengungkapkan bagaimana rasanya hidup bersebelahan dengan Sang Diktator. Dia adalah seorang anak periang berusia lima tahun ketika Adolf Hitler, pemimpin Partai Nazi, pindah ke gedung di seberang jalan di Munich.
Pada 1929, Adolf Hitler pindah ke sebuah apartemen di seberang jalan dari rumah keluarga Feuchtwanger di Munich, Jerman. Kemudian seorang anak laki-laki, Edgar Feuchtwanger, ayahnya Ludwig dan ibunya Erna menyaksikan sekilas Hitler melalui jendela.
“Saya akan menjadi daging cincang seandainya Nazi tahu bahwa saya hidup tepat di bawah hidung mereka,” kata Edgar kepada The Times of Israel dalam sebuah wawancara di kediamannya di Winchchester, Inggris.
Dia lahir pada 1924 di distrik Munich. Keluarganya merupakan bagian dari aristokrasi budaya Jerman-Yahudi. Dia berasal dari keluarga Yahudi Munich yang mapan dan terkemuka. Ayahnya, seorang editor beken, yang belajar di bawah ekonom Gustav Schmoller di Berlin. Edgar adalah seseorang bibliofil dan pengelola rumah penerbitan Duncker & Humblot.
Rumah Edgar tidak jauh dengan flat Hitler. Dia masih ingat saat melihatnya datang dan pergi. Dia juga melihat Ernst Röhm (1887-1934), perwira Jerman dan kepala penyelenggara Sturmabteilung, pasukan andalan Hitler. Röhm ditakuti sebagai saingan oleh Hitler, namun dia dibunuh atas perintah Hitler.
Baca Juga: Surat Gandhi Kepada Hitler Tentang Perdamaian Tak Pernah Sampai
Ia juga berkisah bagaimana ia selamat dari pembantaian Nazi. Cerita ini menjadi luar biasa karena paman laki-laki adalah seorang novelis yang dianggap sebagai salah satu “musuh pribadi” Sang Fuhrer.
Edgar pertama kali melihat Hilter di jalan Munich pada 1932 ketika ia berusia delapan tahun. Itu terjadi setahun sebelum Hitler mendapatkan gelar Kanselir. Kala itu, Edgar sedang diajak jalan-jalan oleh pengasuhnya, dan dalam waktu bersamaan Hitler menatapnya dengan sangat ramah dan murah hati.
Baca Juga: Ekspedisi Rahasia Hitler ke Antartika Demi Mencari Bahan Baku Margarin
Pada tahun 1933, kehidupan mudanya hancur. Hitler telah diangkat menjadi Kanselir. Orang tua Edgar, yang kehilangan haknya sebagai warga negara, berusaha melindunginya dari perundungan. Suasana kelas Edgar semakin tidak nyaman ketika gurunya menyuruhnya menggambar swastika, dan teman-teman sekolahnya bergabung dengan Pemuda Hitler.
Pada 1934, dari jendela rumahnya, Edgar menyaksikan gejolak di sekitar The Night of the Long Knives, yakni pembersihan yang berlangsung di Jerman Nazi dari 30 Juni hingga 2 Juli. Orang-orang Yahudi ditangkap; ayahnya dipenjarakan di Dachau.
Baca Juga: Melalui Gerakan Pemuda Hitler, Nazi Mendoktrin Jutaan Anak-anak Jerman
Dia masih ingat bagaimana orang-orang di sekelilingnya berteriak, “Heil Hitler, Heil Hitler!” Jika Hitler tahu bahwa bocah yang ditatap dengan ramah itu adalah seorang Yahudi, Edgar yakin ia tidak akan pernah hidup sampai sekarang dan bisa mencerikan pengalamannya ini.
Semua mimpi buruk itu bermula pada 9-10 November 1938, ketika meletus peristiwa “Kristallnacht”, atau “Reichskristallnacht”—atau dalam bahasa Inggris disebut “Night of Broken Glass”. Itu adalah malam penyerangan brutal terhadap bangsa Yahudi di seluruh Jerman dan Austria.
Baca Juga: Tatkala Orang Indonesia Harus Prihatin Karena Hitler Kuasai Belanda
Nama itu mengacu pada gelombang pogrom (pembunuhan massal) anti-Yahudi yang terjadi di seluruh Jerman, Austria yang sudah dianeksasi, dan di daerah-daerah Sudetenland di Cekoslowakia (sekarang menjadi negara Rep. Ceska dan Slowakia) yang diduduki tentara Jerman.
Malam itu, 91 orang Yahudi dibunuh, puluhan ribu lebih ditangkap dan ribuan rumah orang Yahudi, kantor-kantor, dan sinagog hancur dibakar. Kekerasan itu terutama dipicu oleh pejabat Partai Nazi, anggota SA, dan Pemuda Hitler.
Baca Juga: Kristallnacht, Peristiwa Pembantaian Orang-orang Yahudi Pada 1938
Setelah peristiwa itu, para pejabat Jerman mengumumkan bahwa meletusnya Kristallnaght adalah reaksi spontan dari publik dalam menanggapi kematian Ernst vom Rath, seorang diplomat Nazi Jerman. Sebagai kepanjangan dari kekerasan itu, ayah Edgar, yang memiliki usaha penerbitan buku, dibawa ke kamp konsentrasi pertama Nazi di Dachau.
Sementara keluarganya takut bahwa ia tidak akan pernah kembali, ayah Edgar ternyata kembali setelah enam minggu. Dan Edgar percaya bahwa itu adalah cara Nazi menakut-nakuti orang Yahudi supaya meninggalkan Jerman.
Baca Juga: Simbol Swastika Pada Bendera Nazi, Bagaimana Sejarah dan Artinya?
Pada 1939, Edgar dikirim sendiri ke Inggris, di mana dia akan membuat kehidupan baru, memulai karir dan keluarga. Dia mencoba untuk melupakan mimpi buruk masa lalunya. Namun, masa lalu itu ternyata datang kembali ketika dia memutuskan, pada usia delapan puluh delapan, untuk menceritakan kisah masa kecilnya yang terkubur dan tetangganya yang terkenal.
Belakangan Edgar telah menjadi seorang profesor sejarah yang disegani. Ia juga telah menulis sebuah memoar dari pengalamannya, dengan judul I Was Hitler’s Neighbor, yang diterbitkan di Inggris.
Baca Juga: Studi: Ada 15 Ribu Yahudi yang Dibunuh Per Harinya Saat Holocaust
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR