Mendengar nama Kepulauan Wayag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, nyaris semua pejalan di Indonesia bersorak mengenai keindahannya. Lokasi ini memanjakan mata dengan untaian karst yang dipeluk bentangan air resik, memperlihatkan keindahan alam di bawahnya.
Dari deretan foto-foto dokumentasi pelancong yang pernah singgah, menyatakan satu hal yang sama: Wayag mendebarkan hati dari beragam penjuru. Dari sisi mana pun pengambilan gambar, Wayag elok bukan kepalang.
Namun, tidak mudah mencapai lokasi ini. Anda diharuskan berkendara dengan speed boat selama empat jam dari Sorong. Jangan lupa, Anda harus lebih dulu membeli pin masuk seharga Rp250 ribu di Hotel JE Meridien, di dekat Bandara Dominik Eduard Osok, Sorong.
Dengan pin ini, Anda turut menyumbang biaya konservasi alam Raja Ampat. Pin ini berlaku selama setahun dan Anda bebas memasuki wilayah tersebut dalam waktu yang ditentukan.
Selama perjalanan menuju Wayag, variasi deburan ombak dirasa jadi tantangan terbesar. Diawali dengan ombak tenang, memudahkan pengambilan gambar hamparan alam Papua. Di sini terlihat sekali kekayaan Raja Ampat, yang menurut Atlas of Indonesia from Space yang dikeluarkan Bakorsurtanal tahun 2006, terdiri atas 44 pulau. Dengan total luas kurang lebih 43 ribu kilometer persegi.
Sesekali kami berpapasan dengan permukiman warga yang mendiami pesisir Raja Ampat. Mereka merupakan bagian dari 60.383 jiwa yang tersebar di 117 kampung dan 24 distrik setempat.
Namun, mendekati lokasi, ombak mulai mengganas dan menggoncang kami yang berkunjung di awal Oktober 2012. Menurut Adebu -nahkoda kami-, ombak tersebut masihlah teduh. "Kalau ombak besar, air sudah tabrak itu kaca di depan," ujarnya yang membuat kami termangu.
Sesampainya di Wayag, kami semua lupa akan rasa mual dan lelah selama perjalanan. Kisah itu benar adanya: kecantikan Wayag mutlak! Kami dibawa berkeliling, melewati satu per satu rencengan karst yang seolah ditempatkan secara teratur oleh Yang Maha Kuasa.
Hingga akhirnya kami berhenti di salah satu karst yang disebut sebagai Kris Point. Dari atas speed boat, kami berjingkat lalu memanjat karst tajam selama sepuluh menit. Setibanya di puncak karst, "Selamat datang di jantung Papua," ujar Abraham Gaman, petugas Conservation Internasional (CI) Indonesia yang mendampingi kami.
Ya, kami seperti dikomando mengatakan hal sama,"Wow!". Untaian karst, beralas air biru bening, dan dipadu dengan langit indah, adalah lanskap yang menyeruak di mata. Kami tak menolak dengan ungkapan "jantung Papua." Karena Wayag memang mendebarkan jantung siapa pun yang memandangnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR