Delapan tahun lalu, tepat pada 26 Desember 2004, saat dunia tengah bersiap berganti nominal tahun, tsunami dahsyat menerjang Aceh. Bencana yang kemudian didaulat sebagai salah satu yang terhebat di abad 21 ini dimulai dari gempa 9,1 SR di Samudra Hindia.
Meganya besaran gempa memicu gelombang tsunami yang menghantam Aceh, Thailand, Sri Lanka, India, Maladewa, dan pesisir timur Afrika. Tsunami menggelontorkan jutaan liter air laut ke darat dan diperkirakan memakan korban hingga 280 ribu jiwa. Aceh menjadi wilayah paling teruk dengan korban lebih dari 200 ribu jiwa.
Bahana gempa dan tsunami 2004 ini telah menjadi wake up call bagi bangsa Indonesia untuk mengerti arti penting bencana. Bahwa bencana menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia.
Tersibak juga kenyataan bahwa kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat masih sangat rendah dalam hal bencana. Oleh karena itu kemudian dibentuk UU No.27 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
"Dalam UU tersebut mengatur bagaimana kelembagaan, mekanisme, dan pendanaan, tentang penanggulangan bencana," demikian ujar Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugoroho pada National Geographic Indonesia, Rabu (26/12).
Kemudian, tambah Sutopo, lahir produk-produk hukum lainnya. Tahun 2008 dibentuk BNPB dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). "Bahkan penanggulangan bencana menjadi prioritas nasional."
Gempa dan tsunami Aceh juga menggerakkan dunia dalam satu jalur bersama keprihatinan. Sumbangan negara-negara asing deras mengalir dalam melalui Multi Donor Fund (MDF) atau pun lembaga swadaya mandiri lainnya.
Kepala Perwakilan Bank Dunia Stefan Koeberle menyampaikan, program pemulihan, pembangunan, dan ketahanan yang dilakukan masyarakat Aceh pasca tsunami, menjadi kunci pelajaran bagi negara lain."Nantinya, pelajaran ini akan menjadi titik dasar yang digunakan bangsa-bangsa lain di dunia saat bencana menerjang," kata Koeberle beberapa waktu lalu.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR