Nationalgeographic.co.id - Sebuah penelitian yang dipimpin oleh St. Edward’s University mengungkapkan bahwa gaya berpikir seseorang memengaruhi preferensinya untuk melakukan operasi plastik. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan di Journal of Research in Marketing, Marketing Letters.
Seperti diketahui, operasi plastik dan prosedur kosmetik saat ini menjadi lebih terbuka dan bahkan dibanggakan di banyak program tv, postingan, hingga media sosial. Padahal sebelumnya hal itu adalah sesuatu yang disembunyikan dan lebih privat.
Prosedur tersebut bahkan juga dipasarkan sebagai cara untuk meningkatkan "Zoom Face", yaitu gagasan bahwa kita menjadi sangat sadar akan penampilan kita karena meningkatnya waktu yang kita habiskan untuk Zoom dan panggilan video. Belum pernah sebelumnya dalam sejarah begitu banyak orang menghabiskan begitu banyak waktu untuk menatap diri mereka sendiri.
Normalisasi operasi kosmetik dan biaya operasi yang sebenarnya, baik moneter maupun emosional itu telah mendorong para peneliti untuk lebih memahaminya. Tentang apa yang telah membuat seseorang lebih atau kurang mungkin untuk menjalani prosedur kosmetik.
Baca Juga: Thanaka, Kosmetik Alami Andalan Orang-Orang Myanmar
Pemasar dan pakar perilaku konsumen Sarah Mittal dari St. Edward's, psikolog Katherine Warnell dari Texas State University di San Marcos, dan pemasar David H. Silvera memutuskan untuk fokus pada bagaimana dua gaya berpikir yang berbeda, yaitu analitis dan holistik memengaruhi preferensi seseorang untuk melakukan operasi plastik. Para peniliti juga ingin melihat bagaimana pula kemungkinan mereka untuk menjalani operasi dan prosedur kosmetik.
“Saya sangat tertarik pada operasi, karena mengapa Anda melakukan operasi dan mengambil risiko itu? Apa yang mendorong orang, dengan satu atau lain cara?” kata Mittal, asisten profesor Pemasaran di Sekolah Bisnis Bill Munday di Universitas St. Edward, seperti dilansir eurekalert.
Oleh karena itu, para peneliti melakukan lima penelitian yang bertujuan untuk memeriksa kecenderungan seseorang untuk berpikir analitis atau holistik. Kemudian menemukan bahwa pemikiran analitis mengarah pada keterbukaan terhadap prosedur kosmetik.
Menurut peneliti, temuan tersebut dapat menjadi implikasi pemasaran bagi penyedia bedah kosmetik yang berharap dapat menarik lebih banyak klien. Hasil tersebut juga dapat menjadi preferensi bagi konsumen yang mungkin ingin lebih memahami motivasi diri mereka sendiri sebelum berinvestasi dalam prosedur bedah.
Di bidang psikologi konsumen, pemikiran analitis mengarah pada efek fokus yang berlebihan yang mendorong ketidakpuasan terhadap suatu produk, atau dalam hal ini, bagian tubuh tertentu. Sebaliknya, pemikiran holistik ditandai dengan fokus pada konteks secara keseluruhan, yang dapat diterjemahkan menjadi sikap yang lebih memaafkan terhadap produk, merek, atau ketidaksempurnaan diri sendiri.
“Pemikir analitis cenderung lebih mengandalkan fitur sentral dalam menilai produk, sedangkan pemikir holistik mempertimbangkan fitur sentral dan periferal dalam penilaian mereka dan mengambil pandangan yang lebih luas dalam evaluasi mereka,” kata Mittal.
Baca Juga: Operasi Plastik: Apa yang Menyebabkan Banyak Orang Ingin Melakukannya?
Source | : | eurekalert,Marketing Letters |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR