Segmen yang selama ini diam, terletak 37 km di selatan Kroya, Jawa Tengah, pada Sabtu (25/1) bersuara. Gejolak segmen itu menimbulkan gempa yang mengguncang wilayah hampir seluruh Jawa dengan goncangan terkuat di Kebumen.
Menurut informasi dari United States Geological Survey (USGS), gempa berkekuatan 6,1, terjadi pada pukul 12.14 WIB, pada kedalaman 89,1 km. Gempa tidak menimbulkan tsunami tapi disusul oleh enam gempa susulan.
Terkait gempa tersebut, pakar tektonik dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, sempat mengungkapkan adanya potensi gempa Kebumen untuk tidak hanya mengakibatkan gempa susulan, tetapi juga gempa yang terpicu (triggerred earthquake).
Irwan mengatakan, gempa yang terpicu oleh gempa Kebumen itu "bisa memiliki magnitud yang lebih besar dari gempa sebelumnya."
Peringatan ini mendapatkan respon beragam dalam kotak komentar di Kompas.com maupun media sosial Twitter, salah satunya adalah ketakutan dan tuduhan bahwa informasi tentang potensi gempa yang terpicu adalah upaya menakut-nakuti masyarakat.
Haruskah panik?
Menanggapi komentar pembaca, Irwan memahami bahwa informasi potensi gempa memang bisa membuat publik panik. Tak sepenuhnya salah, sebab Indonesia memang memiliki historis gempa mematikan, seperti gempa Aceh tahun 2004 dan gempa Yogyakarta tahun 2006.
Namun, ia menegaskan bahwa tujuan pemberian informasi bukanlah untuk membuat panik. "Informasi potensi bencana memang harus diberikan untuk meningkatkan kewaspadaan kita," kata Irwan saat dihubungi Kompas.com, Minggu (26/1).
Irwan mengungkapkan, seringkali terjadi, Indonesia menganggap rendah potensi bencana. Informasi yang diberikan kepada masyarakat tidak sesuai dengan potensi yang sebenarnya. "Agar masyarakat tenang," tuturnya.
Menurutnya, bencana-bencana yang merenggut banyak nyawa dan membuat negara merugi sebenarnya adalah akumulasi dari ketidakpedulian kita pada potensi bencana. "Kalau kita meng-underestimate potensi gempa, ini juga salah satu bentuk ignorance," ungkapnya.
Informasi potensi gempa yang sebenarnya memang bisa membuat panik dan takut. Namun, bagaimanapun tetap perlu diberikan dengan cara komunikasi yang pas sehingga tumbuh kesiapsiagaan menghadapi bencana serta perubahan sikap.
Irwan menuturkan, sejarah memang mengharuskan warga yang hidup di selatan Jawa untuk mewaspadai gempa. Aktivitas lempeng lautan terbukti telah memicu gempa dan tsunami di Banyuwangi pada tahun 1994 serta gempa dan tsunami Pangandaran tahun 2006. Bersambung
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR