Nationalgeographic.co.id—Upeti atau pajak sering dipakai oleh pemerintah sebagai sumber pemasukan keuangan. Pemerintah Kolonial Portugis, Belanda, Inggris, semuanya mewajibkan pajak bagi para penduduk di wilayah Nusantara yang mereka duduki. Pemerintah Kekaisaran Jepang di Nusantara pun turut memberlakukan pajak.
Pemerintahan dalam bentuk negara maupun kerajaan, semuanya memberlakukan pajak. Kadipaten Mangkunegaran yang berkuasa di wilayah Surakarta sejak 1757 ikut memberlakukan pajak bagi para penduduknya.
Pajak yang diberlakukan pun bermacam-macam, ada Pajak Tanah Dalam Kota yang diperuntukkan bagi penduduk di dalam wilayah kompleks keraton, ada juga Pajak Tanah Asing yang diperuntukkan bagi penduduk di luar komplek, seperti pedang tebu yang berjualan di dalam wilayah kekuasaan keraton.
Untuk kendaraan pun pajak yang diberlakukan ada dua macam, pajak kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Pajak kendaraan bermotor meliputi kendaraan bermesin, seperti mobil, motor, dan kereta api. Sedangkan pajak kendaraan tidak bermotor diperuntukkan bagi kendaraan tradisional seperti sepeda, dan gerobak kerbau atau kuda.
Mengutip dari jurnal Pajak Kereta di Mangkunegaran Tahun 1930-1942, Kadipaten Mangkunegaran turut meberlakukan pajak kendaraan tidak bermotor bagi para penduduknya. Pada masa Mangkunegaran VII, pajak ini dikenal masyarakat Mangkunegaran sebagai pajak kereta.
Baca Juga: Kini Jadi Tren di Masa Pandemi, Dahulu Sepeda Pernah Mengubah Dunia
Pajak kereta diberlakukan untuk kendaraan tidak bermesin yang dianggap sebagai barang mewah dan bersifat milik pribadi. Pajak ini tidak dikenakan kepada kendaraan milik pembesar Mangkunegaran ataupun milik negara. Tidak dikenakan juga bagi kendaraan pembawa mayat, mengirim surat, atau kepentingan umum lainnya.
Penulis studi ini, Afiq Chandra Susila menjelaskan bahwa sepeda-sepeda yang beredar di Nusantara, adalah sepeda buatan dari Belanda dan Inggris. Perusahaan sepeda dari kedua negara tersebut memenuhi pasar sepeda Nusantara pada pertengahan abad ke-18. Sepeda pun menjadi kendaraan yang populer pada saat itu.
Baca Juga: Demam Sepeda dan Bagaimana Itu Mengubah Dunia Pada 1890-an?
Karena populer, Kadipaten Mangkunegaran memberlakukan pajak bagi sepeda, khususnya di wilayah Mangkunegaran, Surakarta. Sepeda, becak, dan gerobak dikenakan penarikan pajak melalui razia di beberapa titik pada jalan raya di wilayah Mangkunegaran selama tahun 1925 hingga 1942.
“Dahulu, tiap-tiap rumah akan didatangi petugas hansip yang menagih pajak,” terang Afiq, Sarjana Humaniora Universitas Sebelas Maret. “Kalau sekarang kan kita harus ke kantor pusat untuk membayar pajak kendaraan.” Pembayaran pajak kereta dilakukan pada tiap awal tahun oleh para pemiliknya.
Baca Juga: Kelokan dan Keelokan Nusa Bunga
Kendaraan yang pemiliknya sudah membayar pajak, akan diberikan sebuah stiker, atau dikenal juga sebagai pres. Pemilik kendaraan akan diberikan tanda bukti berupa plombir, atau plombe (dalam Bahasa Belanda). Plombir bentuknya berupa meterai dari timah, yang dipakai sebagai tanda bukti sudah membayar pajak.
Tiap kendaraan ditempelkan plombir dengan pola yang berbeda-beda. Pola Plombir ditentukan oleh Kadipaten Mangkunegaran berdasarkan jenis kendaraannya. Plombir yang sudah ditempel berlaku hanya untuk satu tahun dan harus diganti dengan plombir yang baru.
"Pemungutan pajak seringnya dilakukan pada Hari Pasaran Jawa, yang mana lalu lintas tentunya akan lebih ramai," ujar Afiq. "Pada hari-hari tersebut, masyarakat kerap meramaikan pasar."
Baca Juga: Studi: Tarif Pajak dari Minuman Manis Bermanfaat Bagi Kesehatan Warga Indonesia
Selain Pajak Hasil Bumi, Pajak Tanah, dan Pajak Kendaraan, Kadipaten Mangkunegaran juga mengenakan Pajak Tontonan bagi para penduduk. Pajak ini diperuntukkan kepada industri hiburan, seperti pemutaran layar tancap, wayang, juga keroncong.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, kebijakan baru berupa pemboikotan atas sepeda produksi Belanda, membuat pasar sepeda di Nusantara mulai didominasi oleh sepeda produksi Cina.
Hingga kini, sepeda bukanlah kendaraan yang ketinggalan zaman dan masih banyak digunakan. Sepeda bahkan dinilai sebagai kendaraan yang ramah lingkungan dan memiliki dampak baik bagi kesehatan penggunanya.
Penulis | : | Fadhil Ramadhan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR