Kapal merapat di pantai kampung nelayan Oluhuta yang terkesan rapi dan bersih. Anak-anak bermain-main dekat para ayah yang sedang memperbaiki katintin. Sementara Yunis membereskan urusan pembelian bahan bakar, saya sempatkan menengok warung kelontong kecil, dan membeli kopi lokal yang dikemas dalam plastik renceng. Kampung ini merapat dengan Tanjung Kerbau, tanjung besar dengan bukit karang terjal dengan jalan raya tepat di sisinya.
Kapal meninggalkan pantai tapi tetap di muka kampung. Kami makan siang sambil telinga dibelai lagu-lagu Barat yang mengalun keras dari CD player warga yang sedang bersantai, tidur-tiduran di dipan dibuai angin pantai.
Hidup tak bisa lebih baik dari ini. Memiliki waktu luang untuk tidur siang yang terasa mewah bagi warga kota seperti saya, yang seakan terjebak untuk selalu memanfaatkan waktu untuk bekerja dan mengisi kegiatan yang ‘bermanfaat.’ Work hard play hard, bahkan play harder. Seakan melupakan bahwa enjoy doing nothing, seperti tidur siang yang bisa memulihkan tenaga untuk berkarya lebih baik juga penting, Tapi menunggu genap surface interval (istirahat sekitar 1 jam antara dua penyelaman), akhirnya kami nikmati juga kemewahan itu: tidur siang sejenak di kapal.
Di Istana Pasir muka kampung ini pula kami muck diving, menyelam di perairan berdasar pasir sambil menajamkan mata untuk mendapati makhluk-makhluk istimewa. Air terasa cukup dingin, terukur dari ‘thermometer’ alami, tangan saya yang tak mengenakan sarung selam.
Saya agak menyesal tak mengenakannya begitu melihat para ikan giru (clown fish si nemo Amphiprion ocellany), masih berjarak sekitar 10 m, sudah meninggalkan anemon kantong (Heteractis magnifica) menyongsong kami. Saya takkan pernah lupa gejala tak biasa ini. Para nemo yang biasa malu-malu menggemaskan muncul sembunyi di antara belalai anemon, kini garang mencegah kami mendekat.
Beberapa tahun lalu di Bali, tangan saya dan rekan pernah berdarah mereka patuk padahal kami melayang cukup jauh dari sarang mereka yang sedang dipenuhi telur. Kini saya melindungi tangan dengan menaruh di belakang tubuh ketika menukik ke anemon memperhatikan segumpal telur mereka yang sudah menampakkan bintik-bintik mata.
Kami tak lama-lama membuat para nemo merasa terganggu. Saya tatap pasir, berharap menemukan ikan sebelah, dan biota lain yang ahli menyamar dengan kondisi pasir. Saya hanya menemukan ikan penerjun (Trichonotus setiger) yang biasa menggali liang di pasir dan sejumlah sea pen. Rantje menunjuk satu tenggiri yang melintas. Bersambung
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR