Van Gogh memulai pengerjaan The Potato Eaters saat tinggal bersama orang tuanya di Nuenen. Neunen adalah sebuah kota pedesaan di Belanda, rumah bagi banyak petani, buruh, dan penenun. Desa ini menjadi tempat yang sempurna untuk menangkap kehidupan petani, subjek yang menarik bagi van Gogh.
Van Gogh ingin membuktikan dirinya sebagai pelukis figur, tetapi dia memiliki sedikit pengalaman melukis potret penuh. Perjamuan makan adalah tema populer di kalangan seniman pada saat itu dan itu memungkinkannya untuk menggambarkan subjek dalam posisi duduk.
Tidak seperti biasanya, ia melakukan banyak pengamatan untuk The Potato Eaters. Van Gogh mengunjungi pondok de Groot berulang kali untuk mendapatkan gambar keluarga saat makan malam. Dia membuat sketsa detail-detail kecil—jam, rak sendok, sepotong roti, tangan di atas teko—untuk mempersiapkan lukisan itu.
Hasil akhir menunjukkan lima orang berkumpul di sekitar meja, makan kentang dan minum kopi. Sosok-sosok itu dilukis dengan warna tanah—“sesuatu seperti warna kentang yang benar-benar berdebu, tentu saja tidak dikupas.” Tangan mereka keriput karena kerja keras, wajah mereka kurus, mata mereka gelap dan ekspresif.
Baca Juga: Johanna, Wanita yang Membuat Pelukis Vincent van Gogh menjadi Pesohor
Tidak seperti pelukis lain dari subjek yang sama, van Gogh tidak mengidealkan kehidupan petani. Menurut Museum Van Gogh, dia ingin menyampaikan bahwa anggota keluarga "telah mengolah tanah sendiri dengan tangan yang mereka taruh di piring. Bahwa mereka dengan jujur mendapatkan makanan mereka."
Terlepas dari kerja keras dan ambisinya untuk The Potato Eaters, lukisan itu tidak ditampilkan dalam pameran selama masa hidupnya. Bahkan, lukisan ini disambut dengan penolakan dari banyak orang.
Surat dari van Rappard bahkan menunjukkan penghinaan kritis terhadap eksekusi teknis lukisan itu. Ia melontarkan beberapa pertanyaan seperti
“mengapa pria di sebelah kanan itu tidak memiliki lutut, perut, atau paru-paru?”
“Atau apakah mereka ada di belakangnya? Dan mengapa lengannya harus satu meter terlalu pendek? Dan mengapa dia harus kekurangan setengah dari hidungnya? Seni terlalu penting, menurut saya, untuk diperlakukan dengan begitu angkuh.”
Kritikan ini pasti sangat menghancurkan van Gogh karena dia berjuang dengan komposisi grup—genre yang menjadi keahlian van Rappard.
Van Gogh mengirim surat balasan ke temannya yang berisi beberapa pembelaan, di mana ia berpendapat bahwa van Rappard telah melewatkan esensi lukisan. Tulisnya, “Apa yang saya coba lukiskan adalah bukan tangan tetapi gerakannya, bukan kepala yang benar secara matematis tetapi ekspresi keseluruhan. Mengendus angin ketika seorang penggali melihat ke atas, berkata, atau berbicara. Hidup, singkatnya.”
Baca Juga: Lukisan Harimau Raden Saleh: Jejak Nestapa Satwa di Pulau Jawa
The Potato Eaters terus melekat di benak van Gogh, bahkan setelah dia pindah ke Prancis dan menyempurnakan gayanya yang sangat berbeda. Gaya melukis yang sekarang menjadi ikon, didefinisikan oleh warna-warna cerah dan sapuan kuas yang longgar.
Pada April 1889, setelah krisis kesehatan mental, van Gogh dirawat di rumah sakit jiwa di Saint-Rémy-de-Provence di selatan Prancis. Selama periode ini, dia mulai merencanakan versi baru The Potato Eaters. Van Gogh membuat sketsa persiapan untuk versi kedua, termasuk gambar tahun 1890 dari lima sosok berkerumun di sekitar meja. Karya ini, bersama dengan beberapa sketsa awal lainnya, ditampilkan dalam pameran baru.
Namun sang Artis tidak pernah menunaikan rencananya untuk lukisan kedua ini. Pada akhir Juli 1890, dengan kesehatan mentalnya yang kian memburuk, van Gogh menembak dirinya sendiri di dada. Dia meninggal dua hari kemudian.
Hari ini, The Potato Eaters dianggap sebagai salah satu karya van Gogh yang paling terkenal. Ini menjadi pembenaran atas klaimnya bahwa lukisan itu adalah "hal terbaik yang saya lakukan."
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR