Dari jalanan berkerikil, mobil yang saya tumpangi merangkak melewati tanjakan. Terik siang itu membakar kulit penduduk pun saya yang berdiam di kursi belakang kendaraan ini. Keringat masih bercucuran membasahi baju saya. Dari rumah Lina Ribero di Ermera, kami kembali ke Bobonaro.
Jika di Indonesia, tempat ini terlalu kecil untuk menjadi sebuah kota provinsi. Tak banyak kendaran yang lalu lalang. Melewati kota ini, nostalgia saya malah bangkit akan pusat kecamatan di Flores. Kala itu beberapa hari saya tinggal di sebuah penginapan sederhana tak jauh dari pusat kesehatan masyarakat. Kota ini pun serupa, waktu berjalan lambat di Bobonaro.
Hampir satu minggu sudah perjalanan saya berkeliling Timor Leste untuk pembuatan buku warisan budaya negeri ini untuk lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO. Kali ini tempat yang saya tuju belumlah jelas. Pemandu lokal menyarankan kami untuk bergerak ke selatan menjauh dari Bobonaro untuk menemui pembuat belak.
“Sebentar, kita mau isi bensin dulu di pangkalan,” Zelia, staf lokal UNESCO yang menemani perjalanan saya saat itu. Kami berhenti dibangunan kecil seperti warung pemberhentian sederhana di jalan lintas timur Sumatra. Dindingnya dari seng, tembok yang sudah mau runtuh di depan pangkalan minyak ini dibiarkan terbengkalai. Ini salah satu stasiun pengisian minyak sederhana di kota kecil ini.
Petugas pengisian mengatakan jenis bahan bakar yang dijual disini masuk dari Atambua. Memang jarak antara tempat ini ke Atambua lebih dekat jika dibanding ke Dili. Tapi saya tak menanyakan lebih jauh bagaimana alur masuknya bahan bakar tersebut.
Kami melanjutkan perjalanan menjauh dari kota. Melewati pos pasukan keamanan, mobil kami bergerak melambat. Di tengah jalan ban-ban bekas dibiarkan menjadi penghalang guna memperlambat laju kendaraan yang lewat. Jalanan disini sangat lengang.
!break!
Saya memasuki jalanan tak beraspal. Melewati sebuah gereja, sebatang pohon dengan lonceng tergantung menghiasi halamannya. Anak-anak ramai bermain dihalaman. Tepat diseberang, suasana duka menyelimuti sebuah rumah. Peti berukir salib sudah bersiap diberangkatkan dari teras rumah duka. Kami melanjutkan perjalanan hingga ujung jalan tanah ini.
Zelia bilang, kita sudah sampai. Di depan saya, rumah berdinding kayu dan lantainya belum sepenuhnya disemen menjadi pemberhentian. Inilah rumah pembuat belak.
Perawakan lelaki Timor bernama Jose Noronha ini sungguh kekar. Dari Zelia yang fasih berbahasa lokal, saya berkenalan dan memohon izin untuk mengenal lebih dekat proses pembuatan belak.
Belak merupakan perhiasan yang digunakan saat upacara besar juga hari besar di Timor Leste, negeri yang dulu pernah menjadi bagian dari Indonesia. Selain digunakan dalam upacara adat, belak juga digunakan saat acara lamaran. Biasanya laki-laki membawa belak kepada pihak perempuan saat acara lamaran. Jika pihak laki-laki tidak membawa, maka akan dikenakan denda berupa uang. Ya, denda tersebut lumayan.
Mungkin di Indonesia, negara dengan beraneka ragam suku tentunya hal seperti sudah tak asing lagi. Ibarat keris, atau mungkin sanggul khas suku Minangkabau yang tak bisa lepas dari adat suatu daerah.
Saya datang kesini untuk mendokumentasikan proses pembuatan Belak. Pembuatan belak ini biasanya dilakukan oleh para pengarajin yang menekuni kepandaian ini dari turun-temurun. Salah satu pengerajinnya adalah Jose Noronha di Kampung Tunubibi, Desa Tapomemo, Malina, Distrik Bobonaro tempat saya mengabadikan foto ini.
“Orang tua mengajari saya membuat belak. Ini kepandaian turun temurun,” ujar Jose yang diterjemahkan oleh Zelia ke bahasa Indonesia.Alat yang digunakan dalam pembuatan belak pun masih menggunakan alat yang digunakan generasi sebelumnya.
!break!
Proses pembuatan belak ini dimulai dengan memasak perak yang dibeli dari Atambua. Ya mungkin memakan waktu lebih kurang enam jam perjalanan darat dengan angkutan umum dari pusat kota ini.
Potongan perak ini kemudian dibakar hingga mencair didalam wadah yang sudah dibuat sedemikian rupa. Dengan suhu maksimal potongan perak yang mencair kemudian dituang kedalam batu cetakan atau acnu.
Batu cetakan ini dibuat sendiri oleh Jose. Bahan pembuatan batu cetakan biasanya didapat dari daerah sekitar tempat tinggal, kemudian dengan menggunakan bahan dari besi, batu dilubangi sedemikian rupa sesuai keinginan. Cairan kepingan perak yang sudah dituangkan ke dalam cetakan tadi kemudian dibiarkan mengeras hingga kembali menjadi kepingan perak yang sudah berbentuk.
Hal selanjutnya yang dilakukan adalah memipihkan potongan perak tersebut dengan memukulnya hingga pipih dan membentuk potongan tertentu, seperti bulat atau petak.
Pada proses akhir, Belak ditambahkan motif-motif tertentu sesuai dengan kreasi dari pengerajin belak. Belak yang sudah selesai dibuat, biasanya dijual dengan harga $200-300. Pembeli biasanya datang langsung ke pengerajin belak, tak jarang juga pengerajin belak memasarkannya di pasar setempat.
Jose menjelaskan, kepandaian pembuatan belak yang dimilikinya ini akan diturunkan kepada salah satu anaknya. Jika hal ini tidak dilakukan, Jose percaya tuah akan berlaku. “Kalau tidak saya turunkan kepandaian ini, ada-ada saja yang terjadi. Biasanya keluarga akan sakit,” tuturnya.
Kerajinan Belak ini sendiri merupakan salah satu warisan budaya dari masyarakat Timor Leste yang masih bertahan dan digunakan dalam kegiatan adat hingga sekarang. Penting sekali untuk melestarikan kepandaian pembuatan belak ini bagi generasi penerus di Timor Leste.
Sore sebelum matahari tenggelam kami berpamitan lalu melanjutkan perjalanan menuju Dili. Perjalanan panjang!
Penulis | : | |
Editor | : | Prana Prayudha |
KOMENTAR